
Krisis Politik Prancis: Investor Ramai-Ramai Obral Saham & Obligasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Prancis kembali dilanda krisis politik setelah Perdana Menteri Francois Bayrou menghadapi peluang kehilangan dukungan dari parlemen dalam mosi percaya pada 8 September mendatang.
Oposisi dari berbagai partai, mulai dari sayap kiri hingga sayap kanan, sudah menegaskan tidak akan mendukung pemerintahan minoritas Bayrou yang tengah mendorong rencana penghematan fiskal.
Bayrou berupaya meloloskan anggaran 2026 dengan paket pengetatan fiskal sekitar €44 miliar atau setara Rp835,56 triliun (kurs:Rp18.990/€). Rencana ini mencakup pembekuan belanja kesejahteraan dan pensiun, serta pemangkasan dua hari libur nasional. Hal ini menjadi langkah yang sangat tidak populer di mata masyarkat Prancis.
"Negara kita dalam bahaya, karena kita menghadapi risiko terlilit utang berlebih," kata Bayrou kepada pers, dikutip dari CNBC International.
Namun, perlawanan politik tampak kian solid. Sekretaris Jenderal Partai Sosialis, Pierre Jouvet, menegaskan partainya akan menolak rencana Bayrou karena pemerintah tidak memiliki kepercayaan parlemen maupun rakyat Prancis.
Sementara Presiden Partai National Rally, Jordan Bardella, menyebut partainya tidak akan pernah memberikan kepercayaan pada pemerintahan yang membuat rakyat menderita.
Kondisi ini mengingatkan pasar pada kejatuhan pemerintahan Michel Barnier tahun lalu, yang hanya bertahan 90 hari akibat kebuntuan anggaran.
Deutsche Bank menilai, jika Bayrou kalah dalam mosi percaya, Presiden Emmanuel Macron mungkin menunjuk perdana menteri baru atau bahkan membubarkan parlemen untuk menggelar pemilu kilat. Namun, jajak pendapat terbaru justru menunjukkan potensi hasil yang tetap terfragmentasi, dengan National Rally unggul dalam survei.
Ketidakpastian politik ini membuat stabilitas fiskal Prancis semakin dipertanyakan, terutama dengan defisit anggaran 2024 yang mencapai €169,6 miliar atau setara dengan 5,8% dari PDB sekaligus menjadi yang terburuk di kawasan Eropa. Angka ini jauh di atas ambang batas defisit 3% PDB yang ditetapkan Uni Eropa, menempatkan Prancis dalam sorotan pasar dan lembaga internasional.
Gejolak politik tersebut langsung mengguncang pasar keuangan Prancis.
Indeks Saham Prancis Terjun
Gejolak politik yang terjadi di Prancsi langsung mengguncang pasar keuangan Prancis. Indeks saham acuan CAC 40 dilansir dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan Selasa (26/8/2025), ditutup koreksi tajam hingga 1,70%. CAC 40 bahkan sempat terjun hingga 2,20% secara intra day.
Sektor keuangan menjadi yang paling terpukul karena langsung mencerminkan kekhawatiran investor terhadap stabilitas dalam negeri.
Analis Wells Fargo, Erik Nelson, menyebut outlook aset Prancis tidak baik dan menilai momentum perdagangan saham Eropa berisiko terus terkoreksi akibat faktor politik.
"Ada banyak risiko di pasar Eropa saat ini, terutama dengan posisi investor yang sudah sangat padat," katanya kepada CNBC International.
Yield Obligasi 10 Tahun Naik
Di pasar obligasi, tekanan terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield) utang Prancis. dilihat dari Refinitiv, yield obligasi 10 tahun naik 2 basis poin, sementara tenor 30 tahun melonjak 4 basis poin. Spread yield antara obligasi Prancis dan Italia bahkan menyempit ke posisi terendah sejak 1999, menandakan investor kini memberikan premi risiko serupa bagi kedua negara.
UBS menilai langkah Bayrou untuk mengajukan mosi percaya menjadi kejutan bagi pasar. "Saya pikir ini belum dihargai sama sekali oleh pasar, dan bisa jadi isu besar dalam beberapa minggu mendatang," kata Reinout de Bock, Head of European Rates Strategy UBS, kepada CNBC International.
Dengan yield Prancis yang sudah menembus negara-negara pinggiran zona euro, investor semakin khawatir bahwa krisis politik akan mengikis status Prancis sebagai salah satu pasar inti di Eropa. "Ketidakstabilan politik jelas mengikis posisi obligasi Prancis," kata tim analis Bloomberg yang dikutip CNBC International.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)