
The Fed Siap Pangkas Suku Bunga, Saatnya RI Berpesta Pora

Pekan terakhir Agustus 2025 dibuka tanpa agenda dan rilis data ekonomi yang besar sepanjang pekan ini. Fokus utama masih bertumpu pada The Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat yang semakin dekat dengan keputusan pemangkasan bunga di September, sembari investor mencerna rangkaian data ekonomi penting dari AS, Eropa, hingga Asia.
The Fed Isyaratkan Pangkas Suku Bunga
Chairman bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell memberi isyarat jika The Fed akan segera memangkas suku bunga. Namun, ia tidak memberi petunjuk kapan kebijakan itu akan diambil.
Bagi Indonesia, isyarat pemangkasan ini menjadi kabar gembira. Jika The Fed memangkas suku bunga maka ada potensi aliran dana dari AS sehingga IHSG dan rupiah akan menguat.
Pemangkasan The Fed juga menurunkan ketidakpastian global sehingga ekonomi dunia bisa tumbuh lebih cepat. Pemangkasan The Fed juga akan memberi ruang lebih bagi BI untuk memangkas suku bunga lebih lanjut.
Dalam pidato yang sangat ditunggu-tunggu di pertemuan tahunan The Fed di Jackson Hole, Wyoming pada Jumat waktu AS, Powell juga masih menekankan jika The Fed akan bertindak hati-hati dan terus mengevaluasi dampak tarif serta kebijakan lain terhadap perekonomian.
Meskipun komentarnya tidak sejelas pernyataan pada konferensi Jackson Hole tahun lalu yang langsung memberi isyarat pemangkasan suku bunga, investor meyakini The Fed akan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada pertemuan 16-17 September mendatang.
"Kebijakan saat ini berada di wilayah restriktif, prospek dasar dan pergeseran keseimbangan risiko mungkin memerlukan penyesuaian sikap kebijakan kami," ujar Powell, dikutip dari website resmi The Fed.
The Fed masih memiliki tiga pertemuan lagi tahun ini yakni bulan depan, akhir Oktober, dan Desember dan belum jelas apakah pemangkasan bunga akan dilakukan di semua pertemuan tersebut.
Sebagai catatan, The Fed terakhir kali memangkas suku bunga pada Desember 2024 dan menahannya di level 4,25-4,50% sejak Januari tahun ini. Artinya, Powell belum sekalipun menurunkan suku bunga sejak Presiden AS Donald Trump menduduki kembali Gedung Putih pada Januari 2025.
Powell juga menyinggung bahaya baru yang datang dari kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump, mulai dari tarif impor yang berpotensi memicu inflasi, pembatasan imigrasi yang menekan suplai tenaga kerja, hingga kebijakan fiskal agresif yang bisa memicu defisit.
Powell mengingatkan, risiko-risiko tersebut bisa membuat jalur inflasi kembali bergejolak meski saat ini sedang melandai.
Di sisi lain, tekanan politik ikut memperkeruh arah kebijakan. Trump mendesak agar Fed menurunkan bunga lebih cepat, bahkan sempat melontarkan ancaman terkait independensi Powell. Namun Powell menegaskan keputusan FOMC murni berbasis data, bukan tekanan politik. Tarik-menarik inilah yang menambah ketidakpastian pasar, Fed ingin bertindak hati-hati, di sisi lain Trump menuntut langkah lebih agresif.
Powell juga merujuk pada review kebijakan lima tahunan yang baru diselesaikan. Hasilnya, Fed kembali menegaskan target inflasi 2% sebagai acuan tunggal.
Strategi lama yang memberi ruang inflasi lebih tinggi seperti average inflation targeting pasca-pandemi dianggap keliru dan diakui sebagai pelajaran pahit dari lonjakan inflasi 2021-2022.
Indeks Dolar & Imbal Hasil US Treasury Melemah
Indeks dolar terjun bebas setelah The Fed mengisyaratkan pemangkasan suku bunga. Indeks ditutup di posisi 97,716 atau terendah sejak 25 Juli 2025. Jika dilihat dari levelnya yakni 97 maka level ini menjadi yang terendah April 2022 atau tiga tahun terakhir.
Indeks dolar diperkirakan akan terus melemah sejalan dengan keyakinan pasar jika The Fed akan memangkas suku bunga. Keputusan pemangkasan akan membuat investasi di AS kurang menarik sehingga investor menjual dolarnya da mengalihkan ke instrumen lain. Rupiah bisa menjadi alternatif bagi investor sehingga kondisi tersebut akan membuat rupiah menguat.
Imbal hasil US Treasury AS juga melandai ke 4,25% atau terendahnya sejak 12 Agustus. Imbal hasil US Treasury yang melandai ini akan mengurangi tekanan pada obligasi di negara lain termasuk Indonesia.
Data PDB Amerika Serikat
Sepanjang pekan ini, investor menunggu rilis GDP kuartal II estimasi kedua (28/8) yang diperkirakan lebih lemah dari proyeksi awal. Sehari setelahnya, giliran Core PCE Price Index Juli (29/8) yang keluar - ukuran inflasi favorit The Fed. Jika angka ini melandai lebih jauh, peluang pemangkasan September makin terbuka. Namun bila inflasi terbukti masih "lengket", Fed bisa saja menunda.
Selain itu, pasar juga menanti Pending Home Sales, Chicago PMI, dan Michigan Consumer Sentiment. Rangkaian data ini akan memberi gambaran apakah ekonomi AS masih dalam jalur soft landing atau justru mulai mendekati resesi.
Pergerakan di Eropa & Asia
Dari Eropa, sorotan jatuh pada notulen ECB dan inflasi awal Italia. Asia pun tak kalah ramai di mana Jepang akan merilis data inflasi sementara bank sentral Jepang akan memutuskan suku bunga. Sementara itu, India merilis GDP kuartal II pada Jumat. Penutup pekan datang dari China dengan PMI manufaktur dan jasa, indikator vital rantai pasok global.
Pasar memperkirakan sektor manufaktur China masih tertahan di bawah level 50 (kontraksi), sementara jasa bertahan tipis di area ekspansi. Angka ini penting karena berpengaruh langsung terhadap permintaan komoditas global, mulai dari batubara, minyak, hingga CPO - yang vital bagi Indonesia.
Meski relatif tenang di awal pekan, Indonesia akan menyoroti Rakornas Pengendalian Inflasi dan Ketahanan Pangan pada Kamis (28/8). Agenda ini menjadi panggung penting bagi pemerintah dan BI untuk menjaga kestabilan harga pangan di tengah ketidakpastian global.
DPR dan Pemerintah Sepakati Asumsi Makro
Pemerintah dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) menyepakati Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026.
Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggelar rapat kerja bersama dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani membahas ancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026.
Dalam rapat yang digelar hari ini, Jumat (22/8/2025) dan dihadiri oleh Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, ditetapkan pertumbuhan ekonomi tahun depan di angka 5,4%.
Berikut asumsi dasar ekonomi makro dalam RAPBN 2026:
Pertumbuhan Ekonomi: 5,4%
Inflasi: 2,5%
Nilai Tukar Rupiah: 16.500
Harga minyak mentah atau ICP: US$ 70 per barel
Lifting minyak: 610 (ribu barel per hari)
Lifing gas bumi: 984 (ribu barel setara minyak bumi per hari)
Adapun target pembangunan pada RAPBN 2026:
Suku Bunga SBN 10 Tahun: 6,9%
Tingkat Pengangguran Terbuka: 4,44% - 4,96%
Tingkat Kemiskinan: 6,5%-7,5%
Gini Rasio: 0,377-0,380
Indeks Modal Manusia: 0,57
Indikator Kesejahteraan Petani: 0,7731
Proporsi Penciptaan Lapangan Kerja Formal: 37,95
GNI per Capita: 5.520 US$
