
Siapkan Mental! Neraca RI Berdarah-darah Jelang Simposium "Maut" Fed

Perdagangan hari ini, Jumat (22/8/2025), pelaku pasar akan mencermati sejumlah sentimen penting yang bisa mempengaruhi arah IHSG hingga rupiah.
Dari dalam negeri, fokus pasar tertuju pada data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2025 yang kembali mencatat defisit besar, serta rilis uang beredar (M2) Juli 2025 yang akan menjadi petunjuk arah likuiditas perekonomian.
Sementara dari global, perhatian investor global akan tertuju ke Jackson Hole Economic Symposium, terutama pidato Ketua The Fed Jerome Powell yang dinilai bisa menjadi penentu arah kebijakan moneter Amerika Serikat ke depan.
Berikut rangkuman sentimen utama yang akan membentuk arah IHSG hingga rupiah hari ini:
Defisit Neraca Pembayaran Indonesia Hingga Defisit Transaksi Berjalan
Bank Indonesia Pada Kamis (21/8/2025) kemarin mencatat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) Kembali mengalami defisit pada kuartal II-2025. Defisit dipicuderasnya arus keluar modal asing di saham dan obligasi. Kondisi ini membuat defisit neraca transaksi finansial membengkak.
Data Bank Indonesia mencatat defisit NPI pada kuartal II-2025 tercatat mencapai US$6,74 miliar,sekaligus menjadi defisit yang tertinggi sejak kuartal II-2023.
Bila dibandingkan dengan periode kuartal pertama tahun ini, terjadi kenaikan defisit yang sangat besar, dimana pada kuartal I-2025 defisit NPI tercatat sebesar US$800 juta. Artinya terjadi kenaikan deficit NPI sebesar US$5,94 miliar.
Peningkatan defisit pada NPI disebabkan makin besarnya defisit transaksi berjalan serta transaksi finansial.
Bank Indonesia juga mencatat transaksi berjalan yang membukukan defisit sebesar US$3,01 miliar pada kuartal II-2025 atau 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut adalah yang tertinggi sejak kuartal I-2020 yang tercatat sebesar US$3,36 miliar.
Defisit pada transaksi berjalan ditengarai oleh meningkatnya defisit pada pendapatan primer, yang tercatat defisit sebesar US$35,87 miliar di kuartal II-2025, naik dari defisit di periode sebelumnya yakni US$9,04 miliar.
Kondisi ni diperparah dengan menurunnya surplus pada neraca perdagangan barang. Pada kuartal II-2025, tercatat surplus US$10,6 miliar turun dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat surplus US$13 miliar.
"Perkembangan ini dipengaruhi oleh penurunan surplus neraca perdagangan nonmigas, di tengah defisit neraca perdagangan migas yang lebih kecil. Surplus neraca perdagangan nonmigas menurun dipengaruhi oleh peningkatan impor yang melampaui peningkatan ekspor," ujar Bank Indonesia.
Perlu diingat, pada awal kuartal II-2025 ada berita penting dari Amerika Serikat (AS), dimana Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal terhadap banyak negara yang menciptakan ketidakpastiaan secara global.
Trump mengumumkan tarif resiprokal pada Liberation Day pada 2 April 2025 atau dua hari setelah masuk kuartal II. Kebijakan Trump ini memicu gelombang runtuhnya pasar keuangan global, baik saham ataupun obligasi. Indonesia tak luput dari korban.
Asing ramai-ramai kabur dari Emerging Markets menghindari risiko dan kerugian. Hal ini tercermin pada transaksi finansial pada kuartal II-2025 yang tercatat mengalami defisit sebesar US$5,11 miliar menjadikan defisit kali ini sebagai yang terbesar sejak defisit di kuartal III-2022.
Pada bagian transaksi finansial, investasi portofolio mencatat defisit sebesar US$8,07 miliar pada kuartal II-2025. Defisit adalah rekor tertinggi defisit pada investasi portofolio sepanjang sejarah, setidaknya sejak data yang terekam di rilis BI sejak 2004.
Sebagai catatan, investasi portofolio adalah investasi yang keuntungannya didapatkan dari investasi di surat-surat berharga seperti saham dan obligasi.
Uang Beredar RI
Bank Indonesia (BI) dijadwalkan akan merilis data uang beredar (M2) periode Juli 2025 pada hari ini. Data tersebut akan menjadi perhatian pelaku pasar untuk melihat arah likuiditas perekonomian di tengah dinamika global dan kebijakan moneter domestik.
Pada periode sebelumnya, likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) tercatat tumbuh 6,5% (yoy) pada Juni 2025, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Mei 2025 yang sebesar 4,9% (yoy). Dengan demikian, total M2 mencapai Rp9.597,7 triliun.
Kenaikan ini terutama ditopang oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 8,0% (yoy) serta uang kuasi yang meningkat 4,7% (yoy). Dari sisi pendorong, perkembangan M2 dipengaruhi oleh penyaluran kredit yang tumbuh 7,6% (yoy), meskipun lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 8,1% (yoy). Selain itu, aktiva luar negeri bersih juga tumbuh 3,9%, relatif stabil dibandingkan Mei 2025.
Sementara itu, tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus) masih mengalami kontraksi, yakni turun 8,2% (yoy) pada Juni 2025, setelah sebelumnya terkontraksi lebih dalam hingga 25,7% (yoy) pada Mei 2025.
Pasar Menanti Sinyal Besar Powell di Jackson Hole
Perhatian pasar global hari ini akan tertuju ke Jackson Hole Economic Symposium yang digelar di Wyoming, Amerika Serikat. Acara tahunan yang diselenggarakan oleh The Kansas City Fed di Jackson Lake Lodge, Grand Teton National Park, kerap menjadi ajang penting bagi bank sentral AS untuk memberikan sinyal arah kebijakan moneter.
Sorotan utama tahun ini adalah pidato Ketua Federal Reserve Jerome Powell pada Jumat mendatang, yang diperkirakan menjadi pernyataan terpenting sepanjang 2025, bahkan kemungkinan besar menjadi pidato terakhirnya sebagai pimpinan The Fed.
Setiap kata Powell dinantikan investor, karena dapat memberikan petunjuk mengenai kecepatan dan kedalaman siklus pemangkasan suku bunga yang akan ditempuh bank sentral AS.
Menjelang pidato tersebut, pasar menilai peluang The Fed menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan depan mencapai sekitar 85%. Dengan bobotnya yang besar, arah kebijakan Powell di Jackson Hole diperkirakan menjadi katalis utama yang menggerakkan pasar keuangan global sepanjang pekan ini, termasuk pasar Indonesia.
Klaim Pengangguran AS
Klaim awal tunjangan pengangguran di AS naik sebanyak 11.000 dari pekan sebelumnya menjadi 235.000 pada pekan kedua Agustus atau 15 Agustus, jauh di atas ekspektasi pasar sebesar 225.000, sekaligus mencatat lonjakan mingguan tertajam dalam delapan minggu terakhir.
Sementara itu, klaim lanjutan meningkat 30.000 menjadi 1.972.000 pada pekan pertama Agustus, lebih tinggi dari perkiraan 1.960.000 dan menandai level tertinggi sejak akhir 2021.
Hasil ini menjadi bagian dari sejumlah data yang mencerminkan perlambatan pasar tenaga kerja AS, yang diperburuk oleh lesunya aktivitas perekrutan seiring meningkatnya klaim lanjutan.
(evw/evw)