Merdeka Pangan

Kasus Oplosan Dibongkar, Ekonomi Beras Konglomerat Kembali ke Rakyat

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
22 August 2025 10:25
Petugas menata beras di pertokoan kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Rabu, (22/5). Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengeluarkan kebijakan relaksasi Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras premium sebesar Rp 1.000 per kilogram (kg). Relaksasi HET beras premium ini diberlakukan sementara mulai 10 Maret sampai 23 Maret, menyasar 8 wilayah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menata beras di pertokoan kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Rabu, (22/5). Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengeluarkan kebijakan relaksasi Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras premium sebesar Rp 1.000 per kilogram (kg). Relaksasi HET beras premium ini diberlakukan sementara mulai 10 Maret sampai 23 Maret, menyasar 8 wilayah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia- Beras selalu menjadi cermin kondisi bangsa, simbol denyut nadi ekonomi sekaligus kedaulatanpangan. Kasus beras oplosan yang menyeruak pada Agustus 2025 telah menjadi titik balik dalam lanskap pangan Indonesia.

Berawal dari temuan Kementerian Pertanian (Kementan) mengenai beras premium tak sesuai mutu, aparat penegak hukum bergerak cepat.

Satgas Pangan Polri menetapkan sejumlah direksi perusahaan besar sebagai tersangka, dengan dugaan praktik pencampuran beras murah dan pelabelan palsu yang merugikan konsumen hingga triliunan rupiah. Gonjang-ganjing ini langsung mengguncang industri penggilingan padi, dari skala besar hingga kecil, yang banyak menghentikan produksi sementara.

Miss Labelisasi terjadi, premium di kemasan, namun murahan di kualitas. Rakyat dirugikan triliunan rupiah, sementara konglomerat menuai laba.

Dampaknya langsung terasa di lapangan. Ratusan penggilingan padi, baik besar maupun kecil, terpaksa menghentikan operasional.

Penggilingan Padi di Indonesia

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia sebanyak 169.789 usaha. 
Sebanyak 161.401 penggilingan tersebut atau 95,06% berskala kecil.

Penggilingan padiFoto: BPS
Penggilingan padi

Skala usaha penggilingan padi ditentukan berdasarkan kapasitas produksi terpasang atau kondisi kemampuan mesin penggilingan padi yang digunakan oleh usaha/perusahaan.

Dari 169.789 usaha penggilingan padi di Indonesia pada 2020, sebanyak 161.401 usaha atau sekitar 95,06% adalah penggilingan padi skala kecil. Mereka memproduksi beras kurang dari 1,5 ton per jam.

Sebanyak 7.332 usaha atau sekitar 4,32% merupakan usaha penggilingan padi skala menengah, yang umumnya memiliki mesin dengan kapasitas besar, terintegrasi dan modern. Biasanya merupakan perusahaan yang mempunyai bahan baku dan tujuan pemasaran yang tetap. Kemampuan produksi beras mencapai 1,5 sampai 3 ton per jam.

Selebihnya, dalam jumlah relatif sangat kecil, yaitu sebanyak 1.056 usaha atau 0,62% adalah penggilingan padi skala besar. Penggilingan skala besar umumnya adalah usaha berbadan hukum dan mempunyai jangkauan pemasaran yang luas.

Hasil survei BPS pada pendataan 2012 dan 2020 menunjukkan adanya penurunan 6,81% dibandingkan pada 2012 sebanyak 182.199 usaha atau berkurang lebih dari 12.000 usaha penggilingan padi.

Selain berkurangnya lahan pertanian, persaingan antar pengusaha penggilingan padi juga menjadi penyebab berkurangnya jumlah usaha penggilingan padi. Usaha penggilingan padi skala kecil harus mengalah dan tutup karena terbatasnya modal usaha terutama untuk memperoleh gabah dari daerah lain sehingga hanya mengandalkan produksi gabah di daerahnya.

Selain itu, penerapan Harga Eceran tertinggi (HET) juga membuat penggilingan padi di sejumlah daerah berhenti beroperasi karena menghindari kerugian akibat makin tipisnya selisih harga gabah di pasaran dan HET.

Ketua Perpadi, Sutarto Alimoeso, mengakui banyak pengusaha berhenti menggiling karena tak sanggup menjual sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, sementara harga gabah terus menanjak.

"Dengan Rp6.500 saja sudah tidak masuk HET. Apalagi gabah naik," keluhnya. Kondisi ini menegaskan betapa rapuhnya struktur industri beras: mayoritas dikerjakan pelaku kecil, tetapi harga ditentukan permainan segelintir.

Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan hanya pelaku curang yang akan ditindak, sementara petani dan penggilingan yang bekerja sesuai aturan dijamin aman.

Pesan ini penting untuk meredam kepanikan pelaku usaha kecil yang takut jadi korban salah tangkap. Namun, keresahan sudah telanjur merebak. Mesin penggilingan berhenti, stok di pasar modern seret, dan masyarakat kehilangan kepercayaan pada merek besar.

Akibatnya, pola belanja bergeser. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengamati, konsumen kini lebih memilih pasar tradisional dibanding ritel modern.

Angin segarnya, pergeseran ini, walau lahir dari krisis, justru menghidupkan kembali denyut ekonomi rakyat.

Pasar basah, yang lama tersisih, kembali jadi tumpuan karena dianggap lebih jujur dan dekat dengan konsumen. Ironisnya, di saat pasar rakyat menemukan momentumnya, jaringan ritel modern yang memiliki lebih dari 54 ribu gerai justru terjepit ada desakan pemerintah pusat untuk tetap menjual merek yang terseret kasus, sementara sebagian pemerintah daerah meminta produk itu ditarik.

Di tengah kekacauan distribusi itu, publik mendapati anomali lain yakni stok cadangan nasional sebenarnya berlimpah.

Bulog mencatat persediaan lebih dari 4,2 juta ton, level tertinggi dalam sejarah. Namun harga tetap melambung hingga Rp17.000/kg, meski kualitas beras di pasaran rendah dengan kadar patah 30-59%.

"Ini penipuan terhadap konsumen sebesar Rp5.000/kg. Jika dijual 2 juta ton, kerugian mencapai Rp10 triliun," tegas Debi Syahputra dari Aliansi Masyarakat Penyelamat Pertanian Indonesia (AMPPI). Ia menuding kartel pangan sengaja menahan pasokan dan membeli gabah di atas harga pasar untuk mematikan penggilingan kecil.

Presiden Prabowo Subianto melihat masalah ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan ekonomi.

Dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR/DPR 2025, Prabowo melontarkan ultimatum keras tak ada lagi orang kaya atau konglomerat yang boleh bertindak seenaknya di sektor pangan. Dengan mengutip Pasal 33 UUD 1945, Prabowo memastikan cabang produksi vital harus berada di bawah kendali negara.

Ia bahkan mengumumkan kebijakan baru, penggilingan beras skala besar wajib mendapat izin khusus dari pemerintah atau diserahkan ke BUMN/BUMD.

Langkah ini menandai perubahan arah. Setelah puluhan tahun Indonesia berkutat dengan defisit beras dan impor, kini negeri ini justru surplus. Cadangan beras nasional lebih dari 4 juta ton, bahkan ekspor kembali dilakukan.

Sejarah panjang produksi padi Indonesia sebenarnya menunjukkan pola naik-turun yang kontras dengan kondisi lapangan saat ini.

Pada era Revolusi Hijau awal 1980-an, produksi melonjak dari 29,65 juta ton GKG (1980) menjadi 37,46 juta ton pada 1984, tonggak swasembada pertama di bawah Soeharto.

Tren terus membaik hingga puncak 2017 yang mencatat 81,15 juta ton tertinggi sepanjang sejarah. Namun koreksi data BPS dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA) pada 2018 menurunkan angka riil menjadi 59,20 juta ton, memperlihatkan kapasitas yang jauh lebih moderat.

Dalam lima tahun terakhir, tren makin mengkhawatirkan. Produksi padi yang pada 2019 mencapai 55,60 juta ton terus merosot menjadi 53,14 juta ton di 2024, turun 838 ribu ton hanya dalam setahun.

Penyebab utamanya adalah hilangnya 167 ribu hektare lahan panen akibat alih fungsi dan dampak iklim. Ironisnya, di tengah penurunan produksi dan kerentanan pasokan inilah, kartel justru bermain harga, sehingga surplus stok tidak otomatis menenangkan pasar.

Kartel inilah yang tengah diburu aparat hukum.  Bareskrim Polri tengah melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan perdagangan beras premium tak sesuai mutu. Berawal dari hasil survei lapangan Kementerian Pertanian (Kementan) dan lembaga terkait lainnya, yang menemukan 212 merek beras yang beredar tak sesuai ketentuan ditetapkan pemerintah.

Ada empat perusahaan yang tersandung kasus ini, yaitu PT FS, PT PIM, Toko SJ, dan PT SR. Polri telah menetapkan tiga tersangka dari PT FS dan tengah mempercepat penyidikan atas tiga perusahaan lainnya.
Seperti diketahui, Satgas Pangan, Badan Pangan Nasional, Kepolisian, dan Kejaksaan bersama Kementerian Pertanian (Kementan) sebelumnya melakukan pemeriksaan atas anomali kenaikan harga beras.

Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengungkapkan, dari hasil pemeriksaan melibatkan 268 sampel beras dari 212 merek di 10 provinsi, sebanyak 85,56% beras premium tidak sesuai standar mutu, 59,78% dijual di atas HET, dan 21,66% tidak sesuai berat kemasan. Untuk beras medium, 88,24% tidak memenuhi mutu, 95,12% melebihi HET, dan 9,38% memiliki berat kurang dari klaim kemasan.

"Ini sangat merugikan konsumen. Kalau dibiarkan, kerugian bisa mencapai Rp 99 triliun per tahun. Karena itu, kita minta Satgas Pangan turun, dan dalam dua minggu ke depan, semua produsen dan pedagang wajib lakukan penyesuaian," kata Amran dalam keterangan tertulis, 27 Juni 2025.

Bagi sebagian pihak, krisis ini adalah tragedi. Namun bagi petani kecil dan pasar tradisional, ia justru membuka peluang. Dengan masyarakat beralih ke jalur distribusi rakyat, keuntungan tak lagi sepenuhnya tersedot ke korporasi besar. 

Warga Sambut Positif

Di tengah proses hukum itu, pedagang beras di pasar tradisional ternyata mendukung langkah pemerintah dan Polri tersebut. Karena justru membawa berkah tersendiri bagi sejumlah pedagang beras di pasar tradisional.

Alih-alih mengeluh dirugikan, pedagang beras justru mengaku penjualan meningkat karena masyarakat kini lebih percaya membeli langsung di pasar dibanding di ritel modern.

Setidaknya demikian dari hasil pantauan CNBC Indonesia di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Senin (4/8/2025).

Tampak geliat pembeli di lapak-lapak beras tradisional makin ramai. Konsumen disebut mulai beralih dari beras kemasan bermerek yang biasa dibeli di ritel modern, ke beras yang dijual di pasar tradisional, lantaran ingin memastikan langsung kualitas barang yang dibeli.

"Saya sih agak diuntungkan ya. Konsumen yang biasanya beli beras-beras merek Sania, yang punya Wilmar, atau merek-merek yang kemarin ditangkepin itu, sekarang jadinya lari ke pedagang beras tradisional, kayak saya di pasar," kata Yanto, salah satu pedagang beras di Pasar Rumput.

Menurutnya, pembeli kini lebih hati-hati dan memilih melihat sendiri kualitas beras sebelum membayar. "Kalau mereka beli di sini kan bisa dilihat tuh berasnya bagus atau enggak. Kalau beli beras yang merek-merek itu kan jadi kayak beli kucing dalam karung... eh beras dalam karung ya, hahaha," ujarnya sambil tertawa.

Prabowo Tegaskan Pemberantasan Mafia Beras

Presiden Prabowo menegaskan akan menyita penggilingan-penggilingan padi nakal yang tak patuh pada ketentuan pembelian harga gabah dari petani. Pemerintah sudah menetapkan harga harga gabah kering giling Rp 6.500/Kg.

"Jadi berapa bulan lalu 2,5 bulan lalu saya dapat laporan, pak harga dasar gabah kering giling sudah bagus Rp 6.500, ada yang bandel-bandel, ada yang bandel-bandel tapi kita tertibkan. Kita tertibkan. Kita tertibkan dengan apa kita tertibkan dengan UUD 1945 khususnya pasal 33," kata Prabowosaat peresmian koperasi desa merah putih di Klaten, Jawa Tengah, Senin (21/7/2025).

Prabowo mengatakan sudah bertanya kepada para ahli hukum bahwa berdasarkan UUD pasal 33 cabang produksi penting negara dan menguasai hidup orang banyak dikuasai negara

Prabowojuga sempat bertanya soal pasal 33, dalam konteks apakah penggiling padi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, apakah beras itu mempengaruhi hajat hirup orang banyak, dan disimpulkan bahwa penggilingan padi bagian dari alat produksi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

"Kalau penggiling padi tidak mau tertib tidak mau patuh kepentingan negara ya saya gunakan sumber hukum ini saya katakan, saya akan sita penggilingan-penggilingan padi itu, saya akan sita, dan akan saya serahkan kepada koperasi untuk dijalankan, dan saya tidak salah saya bener karena mereka mencari keuntungan yang luar biasa," kata Prabowo.

Jika pemerintah benar-benar konsisten menindak mafia pangan, memperkuat Bulog sebagai penyeimbang, dan memberi ruang bagi penggilingan kecil, maka Ia bisa menjadi koreksi sejarah.

Ekonomi beras tak lagi berputar di lingkaran konglomerat, melainkan kembali ke pangkuan rakyat yang menanam, menggiling, dan membeli.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation