Dunia Terguncang: Krisis Mentega Datang Tanpa Diduga

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
07 July 2025 16:15
Mentega/Butter. Pixabay
Foto: Mentega/Butter. Pixabay

Jakarta, CNBC Indonesia- Dunia dikejutkan dengan lonjakan harga butter. Kenaikan harga bahkan dikhawatirkan bakal berlanjut hingga menyeret persoalan besar di industri makanan.

Croissant di Paris, roti sobek di Tokyo, sampai nantinya mungkin bolu kukus di Bandung akan berbagi nasib sama-sama terancam naik harga karena butter tak lagi mudah dicari. Angkanya resmi, tren naiknya tajam, dan implikasinya mengganggu dapur-dapur dari rumah tangga hingga restoran kelas dunia.

Harga butter di pasar global saat ini berada di kisaran US$ 7.500 per metrik ton Namun, sepanjang tahun ini, harga butter sudah terbang 10,82%.

Badan Pangan Dunia (FAO) mencatat indeks harga butter global pada Juni 2025 menembus rekor 225 poin. Angka itu merupakan kenaikan bulanan tertinggi di seluruh kategori pangan, naik 2,8 persen dari Mei dan melesat lebih dari 20 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebagai konsekuensinya, indeks harga susu global juga ikut naik menjadi 154,4 poin.

Seperti diketahui, butter mengacu pada mentega dari susu sapi sementara margarin adalah produk dari minyak nabati.

Uni Eropa, jumlah sapi per peternak menyusut akibat tekanan regulasi lingkungan. Beberapa wilayah barat bahkan harus menghadapi penyebaran virus bluetongue yang merusak produktivitas susu.

Di saat yang sama, produksi butter di Oceania belum pulih sejak pandemi. Di Amerika Serikat (AS), jumlah stok turun di bawah level tahun lalu, mempersempit ruang pasok global.

Melansir dari NoticiasFinancieras produsen susu saat ini lebih memilih memproses susu menjadi keju.

Keju dinilai lebih menguntungkan karena seluruh volume susu bisa dimonetisasi, termasuk whey yang banyak dipakai di industri makanan dan suplemen. Butter justru menghasilkan buttermilk, bahan dengan nilai tambah terbatas. Konversi produksi ini menekan suplai butter secara global.

FAO Food Commodity Price IndicesFoto: FAO
FAO Food Commodity Price Indices

Di sisi permintaan, lonjakan datang bukan dari Barat, melainkan dari Timur. China dan kawasan Timur Tengah semakin gemar mengonsumsi butter untuk kebutuhan bakery modern.

Di Hong Kong, satu jaringan bakery besar kini mengonsumsi lebih dari 180 ton butter per tahun, hampir dua kali lipat dari sebelumnya. Taiwan dan India juga menunjukkan tren konsumsi yang serupa.

Sementara itu, dunia logistik ikut terseret. Bakehouse di Hong Kong harus berganti supplier tiga kali dalam beberapa bulan, dari Australia ke Selandia Baru, lalu ke Belgia. Perusahaan roti Mamiche di Paris harus membayar butter 30 persen lebih mahal demi mempertahankan standar croissant mereka.

 

Bahkan dengan fluktuasi kurs, tekanan biaya pakan, dan kompetisi dari produk substitusi, banyak pelaku usaha yang tak melihat adanya pelemahan harga dalam waktu dekat. Produksi masih tertahan, permintaan tetap melejit, dan penyimpanan makin mahal.

Trennya jelas. Selain soal kelangkaan susu, atau urusan peternak krisis ini juga tentang bagaimana peta konsumsi berubah, bagaimana produksi dialihkan, dan bagaimana komoditas butter menjadi simbol baru dari tekanan pangan modern yang tak terduga.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation