Fenomena Harga Teh Turun Saat Bisnis Bubble Tea China Kian "Menjajah"

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
18 August 2025 16:00
Hari yang cerah para petani mulai bekerja memetik daun teh di kawasan Pasir Jambu, Bandung, Jawa Barat. Teh merupakan satu dari 15 komoditas utama dan unggulan perkebunan Indonesia.



Jawa Barat merupakan produsen teh terbesar di Indonesia. Sekitar 70% produksi teh nasional berasal dari provinsi ini.


Jawa Barat menjadi lokasi pengembangan perkebunan teh karena daerahnya yang subur, udaranya sejuk, dan topografinya yang bergunung-gunung yang sangat cocok untuk tanaman teh.



Kebun teh dikawasan ini tak hanya dikelola badan usahan namun terdapat juga kebun teh rakyat. Kebun teh rakyat merupakan budidaya yang diusahakan secara mandiri oleh masyarakat tanpa berbentuk badan usaha. 


Setiap pagi para petani sudah sibuk beraktivitas untuk memetik dan dikumpulkan di wadah yang  dipikul sambil menggunting daun-daun teh terbaik di perkebunan tersebut.


Menurut mereka dalam sehari mereka dapat memetik sebanyak 1 kwintal dari perkebunan teh rakyat ini dan dibawa ke pabrik untuk diolah



Disela sela aktivitas memetiknya, para petani tersebut berkumpul untuk beristirahat diselingi canda gurau untuk menghilangkan letihnya.


Produksi teh dalam negeri beberapa tahun terakhir cenderung melandai karena penyusutan areal perkebunan. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi daun teh kering dalam negeri bergerak fluktuatif dalam 5 tahun terakhir. Produksi tertinggi daun teh kering sebanyak 154.369 ton yang terjadi pada 2014.

Dalam kurun 18 tahun terakhir, jumlah ekspor teh berkurang lebih dari separuh. Dari 105.581 ton pada 2000 menjadi 49.038 ton pada 2018.



Peringkat Indonesia sebagai negara pengekspor teh turun cukup banyak dari urutan ke-5 di dunia pada 2004 menjadi peringkat ke-12 pada 2018.

(CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Foto: Perkebunan teh di Kawasan Pasir Jambu, Bandung, Jawa Barat (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga teh global tengah berada dalam tren menurun. Per 2 Agustus 2025, melansir Trading Economics, harga teh turun ke 199,68 INR/Kgs, melemah 2,06% dalam sehari.

Jika ditarik lebih panjang, harga terkoreksi 3,04% dalam sebulan dan bahkan 6,14% dibanding tahun lalu. Menunjukkan tekanan nyata pada pasar teh, komoditas klasik yang selama berabad-abad jadi bagian dari budaya Asia.

Di sisi lain, pasar minuman berbasis teh justru sedang mengalami "renaissance" versi modern lewat fenomena bubble tea alias teh boba. CNBC International mencatat, industri bubble tea global diperkirakan tumbuh dari US$2,83 miliar pada 2025 menjadi hampir US$4,78 miliar pada 2032.

China menjadi episentrum tren ini. Tiga nama besar Mixue Group, Guming Holdings, dan Auntea Jenny bahkan berhasil mengantongi lebih dari US$700 juta lewat IPO di Hong Kong tahun ini, mencerminkan keyakinan investor pada daya tahan selera konsumen muda.

Mixue menjadi wajah paling mencolok dari fenomena ini. Dengan lebih dari 46.000 gerai di seluruh dunia per akhir 2024, Mixue telah melampaui McDonald's, Starbucks, bahkan Subway dari sisi jumlah outlet. Model bisnisnya sederhana: harga super murah, ekspansi super cepat, dan franchise yang didorong secara agresif. Hanya dalam setahun, pertumbuhan gerai mencapai 22%, angka yang sulit ditandingi oleh jaringan F&B mana pun.

Biarpun pertumbuhannya pesat, ada sisi rapuh yang tak bisa diabaikan.

Franchise masif membuat kontrol kualitas jadi tantangan besar. Tingkat penutupan gerai diperkirakan mencapai 20%, dan persaingan harga di pasar domestik semakin sengit.

Harga teh yang sedang turun memang bisa sedikit meredakan tekanan biaya bahan baku, tetapi itu tidak serta-merta menyembuhkan masalah margin tipis yang dihadapi pelaku industri.

Investor memandang sektor ini relatif aman dibanding industri lain yang lebih sensitif terhadap guncangan eksternal, seperti tarif Amerika Serikat.

Bubble tea dilihat sebagai cerminan konsumsi domestik yang lebih stabil, digerakkan oleh generasi muda urban yang menjadikan minuman ini bagian dari gaya hidup. Namun, seiring pasar China makin jenuh, ekspansi ke luar negeri bukan perkara mudah.

Perbedaan selera konsumen, kompleksitas rantai pasok, hingga adaptasi resep lokal membuat ekspansi global ternyata penuh risiko.

Di titik ini, turunnya harga teh bisa dilihat sebagai paradoks. Di satu sisi, ia membuka peluang efisiensi biaya produksi bagi para raksasa bubble tea. Tetapi di sisi lain, harga teh yang lesu juga mencerminkan permintaan global yang melemah, tanda industri minuman berbasis teh klasik mungkin tak sekuat dulu.

Bubble tea seolah hadir sebagai wajah baru konsumsi teh, tapi masih perlu membuktikan dirinya bukan sekadar tren musiman.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation