Tiba-tiba Dunia Krisis Matcha, Ada Apa?

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
17 July 2025 18:40
Matcha. (Dok. Pixabay)
Foto: Matcha. (Dok. Pixabay)

Jakarta, CNBC Indonesia- Matcha, bubuk teh hijau dari daun tencha Jepang, telah mendunia berkat generasi milenial dan Gen Z. Permintaan matcha global meningkat tajam, didorong oleh tren kesehatan, kafe premium, dan makanan fungsional.

Menjadi trending baik dari kafe-kafe di SCBD hingga ledakan permintaan di Australia. Kafe Moon & Back di Sydney menjual 20.000 gelas matcha per tahun lebih banyak dari kopi. Namun popularitas ini menekan rantai pasok.

Global Japanese Tea Association mencatat permintaan matcha melonjak hingga menciptakan kekurangan stok pertama dalam sejarah modern.

Di saat yang sama, FAO Food Outlook 2024 memperingatkan lonjakan harga teh global sekitar 15% di atas rata-rata jangka panjang. Bersama kakao dan kopi, teh menjadi penyumbang terbesar kenaikan tagihan impor pangan dunia menyentuh US$2 triliun.

Penyebabnya? Cuaca ekstrem, gangguan logistik, dan booming pariwisata Jepang pascapandemi yang mendorong wisatawan memborong matcha sebagai suvenir. Bahkan, harga daun tencha di lelang Kyoto melonjak dua kali lipat menjadi lebih dari ¥8.000/kg, tertinggi sepanjang sejarah.

Namun meningkatkan pasokan matcha bukan perkara mudah. Profesor Daniel Tan, ahli agronomi dari University of Sydney, keypad ABC menjelaskan bahwa matcha berkualitas tinggi hanya dipanen sekali setahun, melalui proses rumit mulai dari pembayangan tanaman selama tiga minggu, pengukusan daun dalam 10 detik, hingga penggilingan batu yang hanya menghasilkan 40 gram per jam.

Ditambah cuaca buruk seperti embun beku yang memotong produksi hingga 30% di beberapa wilayah Jepang, skala produksi tak bisa sekadar "digenjot".

Ketidakstabilan ini turut mengguncang industri teh secara lebih luas. FAO mencatat, negara-negara seperti Sri Lanka yang mengandalkan ekspor teh untuk menutup impor pangan kini tertekan oleh volatilitas harga. Sementara di pasar premium, merek ternama seperti Ippodo Tea harus membatasi pembelian satu produk per orang, dan distributor di Australia mulai "berburu" pemasok baru demi memenuhi permintaan kafe.

Ironisnya, tren minuman berbasis teh justru semakin dibakar oleh perang diskon di China. Raksasa e-commerce seperti Alibaba dan Meituan menggelontorkan kupon untuk bubble tea demi merebut pasar "instant retail".

Meski ini mendongkrak penjualan sesaat, banyak analis memperingatkan gelembung konsumsi yang rapuh. Semua diskon milk tea tak akan menyelamatkan ekonomi jika fondasi pasokan teh terus terguncang oleh cuaca dan permintaan yang tak terkendali.

Lalu, kapan krisis matcha akan berakhir? Pemerintah Kyoto mengakui sulit mengejar permintaan ekspor yang sudah melampaui target 15.000 ton per tahun hingga 2030.

Artinya, kelangkaan ini mungkin menjadi "new normal", memaksa konsumen membayar lebih mahal atau beralih ke teh hijau alternatif dari China atau Taiwan yang kualitasnya sering diperdebatkan di kalangan pecinta matcha sejati.

Produsen matcha terbesar di dunia saat ini masih didominasi oleh Jepang, baik dari sisi volume produksi, kualitas, maupun ekspor global. Berikut ini daftar negara dan wilayah yang berperan penting dalam produksi matcha dunia:

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation