
Jadi Sengketa RI - Malaysia, Segini Isi Perut Dasar Laut Blok Ambalat

Jakarta, CNBC Indonesia - Blok Ambalat yang menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia ternyata memiliki harta karun yang berada di dasar laut.
Berdasarkan informasi dari laman Kementerian energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) pada 2009. lapangan Aster Blok Ambalat memiliki potensi cadangan minyak yang cukup besar.
"Blok yang saat ini di kelola perusahaan minyak dan gas bumi asal Italia ENI tersebut, produksinya diperkirakan sekitar 30.000-40.000 barel per hari," seperti dikutip pada Sabtu (9/8/2025).
Jumlah tersebut setara dengan satu per empat Blok Rokan yang menjadi salah satu blok minyak terbesar di Indonesia. Di mana, produksi Blok Rokan saat ini di angka 159 ribu bph, dan nantinya blok tersebut akan meningkatkan produksi mencapai 160-an ribu bph.
"Sekarang ini (Blok Rokan) posisinya di 159 (ribu bph), mungkin dia akan back di atas 160-an (ribu bph)," ungkap SKK Migas ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip Sabtu (9/8/2024).
Sengketa mengenai blok Ambalat tersebut saat ini terus didiskusikan guna mencapai kesepakatan. Presiden Prabowo Subianto menilai perlu ada penyelesaian secara damai terkait sengketa tersebut. Adapun menurutnya, niat tersebut sudah terlihat dari kedua negara.
"Ada itikad baik dari dua pihak. Intinya kita mau punya penyelesaian baik," ujarnya, di Gedung Sasana Budaya Ganesa, Bandung, seperti dikutip pada Sabtu (9/8/2025).
Sebelumnya, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menegaskan komitmennya untuk mempertahankan kedaulatan Sabah dalam sengketa wilayah maritim dengan Indonesia tersebut.
"Kami akan melindungi setiap jengkal Sabah. Saya akan mempertahankan prinsip ini. Kami akan merundingkannya dengan benar, tanpa menyerah. Ini semua ada dalam pertemuan, bukan hanya pembicaraan rahasia," ujar Anwar dalam kunjungannya ke Kota Kinabalu pekan lalu, seperti dilaporkan Malay Mail seperti dikutip pada Sabtu (9/8/2025).
Sengketa ini mencakup klaim tumpang tindih atas dua blok laut, ND6 dan ND7, yang disebut Malaysia sebagai bagian dari Laut Sulawesi, sementara Indonesia menyebutnya Ambalat. Wilayah ini telah lama dikaitkan dengan cadangan minyak dan gas yang melimpah.
Pada 27 Juni lalu, Anwar bertemu Prabowo di Jakarta. Keduanya sepakat untuk mengeksplorasi opsi pengembangan bersama atas wilayah sengketa tersebut, meski belum ada kesepakatan final.
"Diskusi kami dengan Indonesia mengenai Ambalat adalah pertanda persahabatan yang baik. Presiden Prabowo adalah sahabat pribadi dan sahabat keluarga. Saya ingin hubungan ini tetap baik," ungkap Anwar.
Kendati ada sinyal positif, sejumlah analis yang dikutip Channel news Asia menilai penyelesaian sengketa ini masih jauh dari rampung. Pakar geopolitik dari Viewfinder Global Affairs, Adib Zalkapli, mengatakan pengembangan bersama Ambalat belum dimasukkan dalam pernyataan resmi karena masih banyak detail teknis yang harus dinegosiasikan.
"Salah satu kemungkinannya adalah karena kedua belah pihak masih merundingkan aspek teknis perjanjian tersebut, sehingga pernyataan publik dari para pemimpin bisa kontraproduktif," ujar Adib dikutip pada Sabtu (9/8/2025).
Ahli geostrategi Azmi Hassan dari Akademi Riset Strategis Nusantara juga menggarisbawahi bahwa status quo masih berlaku di wilayah tersebut. Menurutnya, negosiasi akan lebih fokus pada aspek teknis dan komersial ketimbang politik domestik.
"Jika tidak dapat diselesaikan soal batas wilayah, maka setidaknya saya pikir usaha patungan akan diberikan antara Petronas dan Pertamina," ujarnya.
Azmi menilai hubungan pribadi antara Anwar dan Prabowo bisa mempercepat proses penyelesaian. "Perselisihan ini memang sudah berlarut-larut, tapi hubungan yang sangat dekat antara keduanya akan mempermudah keadaan."
Ambalat merupakan wilayah strategis yang telah menjadi sumber ketegangan sejak awal 2000-an. Meski Mahkamah Internasional memutuskan pada 2002 bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia, batas maritim di sekitarnya belum pernah ditentukan secara resmi.
Konflik sempat memanas pada 2004 ketika Malaysia memberikan konsesi eksplorasi ke Shell, padahal Indonesia sudah memberi hak serupa kepada perusahaan energi Italia, Eni. Bahkan, pada 2010, kapal angkatan laut kedua negara nyaris terlibat konfrontasi di wilayah itu.
Meski begitu, Adib optimistis pertemuan tingkat tinggi baru-baru ini bisa membawa kemajuan. "Ketika keuntungan finansial bagi kedua negara sudah jelas, negosiasi kemungkinan besar akan segera selesai."
(ras/ras)