Pertumbuhan Ekonomi Tinggi Tapi Kok Emiten Ritel Babak Belur?

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
08 August 2025 10:10
Suasana toko ritel Lulu Hypermarket di kawasan Cakung, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Sejak beberapa waktu lalu terdengar kabar Lulu Hypermarket segera tutup. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana toko ritel Lulu Hypermarket di kawasan Cakung, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Sejak beberapa waktu lalu terdengar kabar Lulu Hypermarket segera tutup. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi tinggi di kuartal II-2025 belum tercermin sepenuhnya kepada perusahaan ritel Tanah Air. Kinerja keuangan mereka banyak yang babak belur.

Ekonomi Indonesia tumbuh 5,12% (year on year/yoy) dan menyentuh 4,04%% dibandingkan kuartal sebelumnya (quartal to quartal/qtqt) pada kuartal II-2025.

Pertumbuhan (yoy) ini adalah yang tertinggi sejak kuartal II-2023 atau delapan kuartal atau dua tahun. Pada periode tersebut ekonomi tumbuh 5,17% (yoy).

Di sisi per kuartal, pertumbuhan kuartal II-2025 yang mencapai 4,04% (qtq) Adalah yang tertinggi sejak kuartal III-2020 (5,03%).

Jika diakumulasi, ekonomi Indonesia tumbuh 4,99%.

Ekonomi Tinggi, Ritel Belum Bangkit

Ekonomi yang tumbuh tinggi pada semester I-2025 nyatanya belum tercermin ke penjualan ritel.

Di sepanjang semester I 2025 ini bukanlah periode yang baik bagi sektor ritel. Menurunnya daya beli masyarakat yang tercermin dari penurunan penjualan ritel hingga indeks keyakinan konsumen di sepanjang semester tersebut, akhirnya mendorong penurunan performa kinerja keuangan di sektor ritel.

Kinerja penjualan eceran diprakirakan meningkat pada Juni 2025. Indeks Penjualan Riil (IPR) Juni 2025 diprakirakan tumbuh sebesar 2,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada bulan sebelumnya, sehingga mencapai level 233,7.

Peningkatan tersebut terutama bersumber dari Kelompok Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Suku Cadang dan Aksesori, serta Subkelompok Sandang.

Jika melihat kinerja penjualan eceran sejak awal tahun juga melemah. Pada Januari 2025 hingga ke Maret 2025, kinerja penjualan eceran mengalami kenaikan.

Bulan Maret mencatatkan kinerja penjualan eceran tertinggi di tahun ini hingga 5,5% karena ditopang oleh peningkatan konsumsi karena momen Ramadhan dan juga lebaran. April justru penjualan eceran minus pasca Ramadhan dan Lebaran. Usai Maret, hingga Juni kinerja penjualan eceran justru mengalami penurunan.

Sementara itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia pada Juni 2025 tercatat sebesar 117,8, hanya naik tipis dari bulan sebelumnya yang berada di level 117,5.

Meskipun secara teknikal masih berada di zona optimis (di atas 100), level ini mencerminkan bahwa kepercayaan konsumen masih lemah, bahkan mendekati posisi terendah sejak September 2022, ketika ekonomi masih dalam masa pemulihan pasca Covid-19.

Yang menjadi perhatian, periode Juni-Juli biasanya didorong oleh momentum libur sekolah, yang kerap meningkatkan konsumsi rumah tangga. Namun, data IKK justru menunjukkan pesimisme konsumen, terutama terhadap prospek penghasilan ke depan. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat lebih cenderung menahan belanja dan memilih menabung atau menunda konsumsi.

Melemahnya kepercayaan konsumen berpotensi menjadi beban serius bagi perekonomian Indonesia, mengingat konsumsi domestik menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB. Jika tren ini terus berlanjut, daya dorong utama pertumbuhan ekonomi bisa kehilangan momentum, terutama di tengah tekanan eksternal dan pelambatan sektor riil.

Hal tersebut terjadi usai melonjaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Lonjakan PHK selama semester I-2025 menjadi sinyal keras bahwa tekanan terhadap perekonomian nasional semakin memburuk.

Berdasarkan data Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 42.385 pekerja mengalami PHK dari Januari hingga Juni 2025, melonjak tajam 32,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jawa Tengah mencatat jumlah PHK terbanyak dengan 10.995 orang, diikuti oleh Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Fenomena ini menggambarkan mulai rapuhnya ketahanan sektor usaha, terutama di industri padat karya.

Dampak dari gelombang PHK ini tidak bisa dianggap sepele. Kenaikan jumlah pengangguran secara langsung menekan daya beli masyarakat, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi domestik.

Ketika masyarakat kehilangan pendapatan, konsumsi barang dan jasa ikut menurun, menyeret turun kinerja sektor ritel, manufaktur, hingga jasa. Ini menciptakan efek domino yang semakin memperdalam perlambatan ekonomi.

Kondisi ini menambah tekanan bagi perekonomian nasional yang tengah terhimpit berbagai indikator negatif lainnya.

Alhasil sejumlah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) terutama di sektor ritel mengalami penurunan kinerja keuangan, bahkan ada yang rugi bersihnya makin membengkak di semester I 2025.

Buruknya kinerja keuangan beberapa emiten di sektor ritel pada semester I 2025, mendorong kejatuhan harga saham-sahamnya secara year to date (ytd).


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation