Fenomena Langka 12 Tahun: Manufaktur Tumbuh Tinggi, Rezeki Atau Ilusi?

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
06 August 2025 15:50
Digugat PKPU Hingga Terancam Bangkrut, Industri TPT Sunset?
Foto: CNBC Indonesia TV

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri pengolahan atau manufaktur Indonesia tengah menjadi sorotan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonnjakan pertumbuhan.

Sektor ini mampu tumbuh 5,68% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal II-2025. Kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat sebesar 18,67%.

Capaian tersebut mencerminkan akselerasi signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,55%, serta jauh lebih tinggi dari kuartal II-2024 yang hanya mencatatkan pertumbuhan 3,95%.

Menariknya, percepatan pertumbuhan industri pengolahan versi BPS ini justru bertolak belakang dengan data Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur, yang selama periode kuartal II-2025 berada di zona kontraksi.

Industri Manufaktur Bangkit, Tapi Kontribusi ke PDB Terus Tergerus

Pertumbuhan industri manufaktur di kuartal II-2025 menjadi yang terkuat sejak kuartal II-2021.

Menariknya, jika mengecualikan lonjakan pertumbuhan pada kuartal II-2021 yang saat itu terdorong oleh efek rebound dari pandemi Covid-19, maka pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,68% (yoy) pada kuartal II-2025 menjadi yang tertinggi sejak kuartal IV-2012 atau 12 tahun bahkan hampir lebih dari 13 tahun. Artinya, pertumbuhan sebesar itu terakhir kali terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Berdasarkan data BPS, pada kuartal II-2025 pertumbuhan terbesar terjadi pada industri mesin dan perlengkapan yang mencatatkan pertumbuhan 18,75% (yoy) walaupun hanya berkontribusi 0,28% terhadap pertumbuhan industri manufaktur.


Industri makanan dan minuman tumbuh sebesar 6,15% (yoy) pada kuartal II-2025, sedikit meningkat dari 6,04% pada kuartal sebelumnya. Lonjakan industri makanan di kuartal II-2025 terbilang luar biasa mengingat periode tersebut sudah melewati Ramadan dan Idul Fitri.

Biasanya industri tersebut akan mencapai puncak pada Ramadan. Sebagai catatan, Ramadan berlangsung pada 1 -30 Maret 2025.

Industri pengolahan tembakau mencatat akselerasi pertumbuhan yang signifikan, dari kontraksi -3,77% di kuartal I menjadi ekspansi 4,59% di kuartal II-2025. Yang menarik, produksi rokok pada kuartal II-2025 mencapai 74,2 miliar batang atau terkontraksi 0,75% (yoy).

Sementara itu, industri tekstil dan pakaian jadi justru mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan melambat dari 4,64% menjadi 4,35% pada periode yang sama.

Ketiga subsektor ini merupakan tulang punggung penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia, sehingga arah pertumbuhan mereka menjadi krusial bagi ketahanan ekonomi nasional.

Mengutip dari Macro Brief Office of Chief Economist Bank Mandiri, lonjakan pertumbuhan sektor manufaktur pada periode ini didorong oleh kinerja ekspor besi dan baja yang melesat hingga 12,8% (yoy) atau jauh lebih tinggi dari 6,4% (yoy) pada kuartal sebelumnya.

Produk logam ini kini menyumbang sekitar 10% dari total ekspor nasional, sehingga memberi dorongan langsung terhadap output industri dalam negeri.

Sementara itu, menurut riset dari Economic, Banking, and Industry Research BCA,menyoroti peran subsektor makanan dan minuman terutama produk turunan sawit (CPO) yang tumbuh stabil di level 6,15% (yoy).

Selain itu, subsektor logam dasar mencatatkan pertumbuhan tertinggi sebesar 14,91% (yoy), seiring meningkatnya permintaan global dan nilai tambah dari proses hilirisasi.

Namun, ke depan, risiko pelemahan permintaan eksternal dan meningkatnya proteksionisme perdagangan global dapat menjadi hambatan. Oleh karena itu, stimulus fiskal dan insentif sektor riil disebut sebagai opsi strategis untuk menjaga momentum ekspansi manufaktur.

Dari sisi properti industri, laporan Cushman& Wakefield menunjukkan bahwa sektor manufaktur tetap menjadi pendorong utama permintaan lahan industri di Indonesia. Pada kuartal II-2025, sektor ini menyumbang 41,3% dari total permintaan lahan, diikuti sektor otomotif sebesar 24,1%. Kendati demikian, total transaksi lahan industri anjlok 63,7% (yoy) menjadi hanya 66,34 hektar, akibat tingginya basis pada tahun sebelumnya yang dipicu oleh proyek-proyek besar kendaraan listrik (EV).

Namun, di balik capaian yang impresif ini, terdapat catatan penting. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru mengalami penyusutan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi sektor ini hanya sebesar 18,67% pada kuartal II-2025, turun dari 19,25% pada kuartal sebelumnya. Ini mencerminkan masih adanya tantangan dalam memperkuat daya saing manufaktur domestik secara menyeluruh.

Keraguan Terhadap Pertumbuhan Industri Manufaktur

Di tengah lonjakan pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur Indonesia, sejumlah ekonom menyuarakan keraguan terhadap keabsahan data tersebut. Beberapa analis dari lembaga think tank menilai ada kejanggalan dalam data ekonomi kuartal II-2025, salah satunya disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira.

Bhima menilai lonjakan pertumbuhan industri manufaktur tidak sejalan dengan kondisi riil yang tercermin dalam data Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur, yang justru menunjukkan tren pelemahan.

Berdasarkan data S&P Global, PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar 49,2-berada di bawah ambang batas ekspansi 50,0. Angka tersebut menandakan bahwa aktivitas industri masih dalam fase kontraksi. Ini juga menjadi bulan keempat berturut-turut PMI manufaktur berada di zona negatif, yang mencerminkan pelemahan konsisten dalam aktivitas sektor tersebut.

Adapun PMI manufaktur sebelumnya berada di level 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, dan 46,9 pada Juni 2025. Meskipun ada sedikit perbaikan pada Juli, posisi yang masih di bawah 50 menunjukkan bahwa pelaku industri tetap menghadapi tekanan, terutama dari sisi permintaan dan produksi.

"Pertumbuhan industri pengolahan tidak sinkron dengan data PMI manufaktur. Ini ada yang janggal," ujar Bhima.

Keraguan serupa juga disampaikan Kepala Ekonom BCA, David Sumual.

David mengaku heran dengan tingginya angka pertumbuhan industri manufaktur di kuartal II-2025, mengingat sektor tersebut masih menunjukkan tanda-tanda kontraksi dan harga sejumlah komoditas seperti batu bara juga melemah dibanding tahun sebelumnya.

"Investasi juga angkanya sangat akseleratif, angka pertumbuhan kuartal I juga banyak revisi. Meski memang saya juga ekspektasi ada akselerasi, tapi tidak setajam angka BPS. Manufaktur juga melompat tinggi ke 5,68%," kata David.

Di sisi lain, Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Pipit Helly Sorayan, menegaskan bahwa pertumbuhan industri manufaktur kuartal II-2025 bersumber dari Survei Industri Besar dan Sedang (IBS) Bulanan yang dilakukan langsung oleh BPS. Ia menyebut pertumbuhan ini sejalan dengan kinerja ekspor yang meningkat 10,67% dan berkontribusi 22,28% terhadap PDB, lebih tinggi dibanding 8,13% pada kuartal II-2024.

"Data kami berasal dari survei industri bulanan, dan sejalan dengan ekspor barang yang tumbuh 10,62%, serta nonmigas 12,56%," ujarnya.

BPS juga mengacu pada Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia yang berada di zona ekspansi, yakni 50,89 pada kuartal II-2025.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation