
Puluhan Emiten Delisting dalam 5 Tahun Terakhir, Ini Daftarnya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham yang dihapus dari perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) atau yang disebut saham delisting, sering dianggap kabar buruk bagi investor.
Saham delisting selalu di cap buruk oleh investor karena saham menjadi sulit dijual, nilai saham bisa jatuh drastis, menandakan perusahaan bermasalah, investor berpotensi kehilangan modal, serta memukul kepercayaan investor.
Setelah delisting, saham tersebut tidak lagi tercatat di BEI. Artinya investor tidak bisa lagi jual beli di pasar reguler. Likuiditas pun hilang, jika ingin menjual, investor harus melalui pasar negosiasi dengan harga yang sering jauh lebih rendah.
Delisting saham umumnya terjadi karena kinerja keuangan emiten tersebut buruk selama bertahun-tahun dan berakhir pada kebangkrutan alias pailit. Perusahaan juga tidak memenuhi kewajiban pelaporan seperti laporan keuangan hingga keterbukaan informasi. Bahkan sebagian emiten delisting terlibat dalam masalah hukum serius hingga tidak memenuhi ketentuan BEI.
Setelah delisting, transparansi jauh berkurang. Investor makin sulit dapat info kinerja atau kondisi perusahaan. Hal ini dapat mengakibatkan investor menjadi trauma untuk membeli saham lain. Kepercayaan terhadap perusahaan, manajemen, dan pasar modal pun dapat menurun, apalagi jika delisting terjadi secara paksa.
Kabar terbaru, BEI resmi menghapus pencatatan atau delisting terhadap 10 saham emiten pada hari kemarin, Senin (21/7/2025). Mereka adalah PT Mas Murni Indonesia Tbk. (MAMI), PT Forza Land Indonesia Tbk. (FORZ), PT Hanson International Tbk. (MYRX), PT Grand Kartech Tbk. (KRAH), PT Cottonindo Ariesta Tbk. (KPAS), PT Steadfest Marine Tbk. (KPAL), PT Prima Alloy Steel Universal Tbk. (PRAS), dan PT Nipress Tbk. (NIPS), PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk. (JKSW), dan PT Panasia Indo Resources Tbk. (HDTX).
Kesepuluh saham itu "didepak" karena telah memenuhi kriteria pembatalan pencatatan saham atau delisting menurut Pengumuman Bursa nomor Peng DEL 00009/BEI.PP2/12-2024 dan Peng-DEL00001/BEI.PP3/12-2024 tanggal 19 Desember 2024 perihal Pembatalan Pencatatan Efek (Delisting).
Kriterianya antara lain, perusahaan tercatat mengalami kondisi atau peristwa signifikan yang berpengaruh negatif secara finansial atau hukum, dan tidak menunjukkan indikasi pemulihan memadai. Selanjutnya, perusahaan tidak memenuhi persyaratan tercatat di bursa dan telah mengalami suspensi setidaknya selama 24 bulan terakhir.
Berdasarkan data BEI, sudah terdapat 21 emiten yang didepak dari bursa saham Tanah Air. Lalu pada tahun sebelumnya di 2021, 2023 dan 2024 terdapat masing-masing 1 emiten yang dihapuskan dari perdagangan saham Tanah Air. Sementara pada 2022 tidak terdapat emiten yang terdelisting.
Sehingga total dalam 5 tahun ini sudah tercatat 24 emiten ditendang dari BEI.
Lantas, bagaimana nasib para pemegang saham dari emiten yang telah delisted? Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan bahwa para emiten delisted harus melakukan pembelian kembali atau buyback saham.
Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) no. 13 tahun 2023, yang mewajibkan para emiten yang dibatalkan pencatatan efeknya itu utuk melaksanakan buyback paling lambat 30 hari setelah pengumuman BEI mengenai keputusan delisting.
Para perusahaan yang delisted harus memberikan keterbukaan informasi mengenai rencana buyback dalam situs web BEI.
Informasi yang disampaikan harus memuat sedikitnya, jadwal pelaksanaan buyback saham, harganya, jangka waktu buyback, metode buyback, nama dan identitas perusahaan efek yang ditunjuk, jika pembelian kembali saham dilakukan melalui Bursa Efek, dan tujuan buyback agar jumlah pemegang saham kurang dari 50 pihak.
Pelaksanaan buyback saham para emiten yang delisted harus diselesaikan paling lambat 6 bulan setelah tanggal keterbukaan informasi. Aksi buyback saham itu dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham.
Buyback saham yang delisted juga dapat dilakukan sampai jumlah melebihi 10% dari modal disetor Perusahaan Terbuka, sehingga jumlah pemegang saham kurang dari 50 pihak atau jumlah lain yang ditentukan OJK. Pelaksanaan buyback ini dapat dilakukan melalui Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek.
Harga buyback saham atau harga penawaran tender mengacu pada harga rata-rata perdagangan saham Perusahaan Terbuka di Bursa Efek dalam jangka waktu 30 hari terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya. Selain itu, harga buyback juga bisa mengacu nilai buku per saham berdasarkan laporan keuangan terakhir, digunakan yang lebih tinggi.
Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa OJK berhak melayangkan perintah tertulis, memohonkan pembubaran, atau memohonkan pailit pada perusahaan terbuka yang tidak memenuhi kewajiban delisted.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)