
Jepang Dihantam Krisis Obligasi, RI Bisa Kena Imbas

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual besar-besaran sedang dialami pasar obligasi Jepang, ini membuat imbal hasil melonjak ke level tertinggi sepanjang masa.
Pada perdagangan Selasa hari ini (15/7/2025) sampai pukul 14.30 WIB, yield obligasi negeri bunga Sakura untuk tenor 10 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun sama-sama mencetak rekor tertinggi dalam sejarah.
Terlihat pada grafik di atas, obligasi 10 tahun Jepang mengalami kenaikan sekitar 2,5 basis poin (bps) ke posisi 1,59%. Paling parah, untuk obligasi super long dengan tenor 20 tahun naik 3,5 bps jadi 2,64% dan tenor 30 tahun menguat 4 bps ke posisi 3,19%.
Imbal hasil yang naik ini terjadi di tengah kekhawatiran belanja pemerintah kemungkinan akan meningkat setelah pemilu majelis tinggi pada 20 Juli mendatang.
Survei opini menunjukkan blok penguasa yang dipimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang mungkin kesulitan meraih mayoritas. LDP sendiri mempertimbangkan pemberian bantuan tunai untuk menarik pemilih, sementara partai oposisi mengusung wacana pemotongan pajak.
Mengutip CNBC, Yuichi Kodama, ekonom di Meiji Yasuda Research Institute, mengatakan imbal hasil obligasi 10 tahun penting karena menjadi acuan bagi suku bunga KPR tetap dan akan berdampak signifikan terhadap perekonomian riil.
Atsushi Takeda, kepala ekonom di Itochu Research Institute, mengatakan bahwa secara umum bisnis tidak banyak mengambil utang di tenor super-long, sehingga dampaknya terhadap ekonomi riil terbatas.
"Tapi sekarang kita mulai melihat kenaikan imbal hasil obligasi 10 tahun karena kekhawatiran atas kesehatan fiskal, dan itu hal yang harus kita perhatikan dengan saksama," ujar Takeda.
Meski hasil pemilu majelis tinggi sulit diprediksi, "partai oposisi menyerukan pemotongan pajak penjualan, jadi kalau mereka menang, kecemasan fiskal akan tetap ada. Jika LDP yang dipimpin Ishiba menang, investor mungkin akan kembali membeli obligasi."
Kenaikan biaya pinjaman di Jepang terjadi meski Kementerian Keuangan sudah memangkas penerbitan obligasi super-long. Beberapa perusahaan asuransi jiwa besar juga mulai menghindari obligasi super-long, meninggalkan celah permintaan saat bank sentral Jepang perlahan mengurangi pembelian obligasinya.
Obligasi pemerintah tenor panjang juga mengalami tekanan secara global di tengah kekhawatiran bahwa pemerintah di berbagai negara membelanjakan lebih dari kemampuan mereka.
Takahiro Otsuka, ahli strategi pendapatan tetap senior di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities Co. mengatakan "Imbal hasil 10 tahun didorong oleh ketidakstabilan di obligasi super-long karena kekhawatiran permintaan dan menurunnya likuiditas,"
Ia melanjutkan "Tidak bisa dipastikan bahwa imbal hasil 10 tahun akan berhenti naik di sekitar level 1,6%."
Gubernur Bank of Japan Kazuo Ueda telah mengatakan bahwa imbal hasil super-long punya dampak terbatas terhadap ekonomi riil dibandingkan dengan utang jangka lebih pendek. Namun, ia juga menegaskan akan memantau perkembangan dengan cermat.
Waspada Dampaknya ke Indonesia
Jepang sebagai negara maju menjadi negara yang sangat dicermati pelaku pasar, khususnya perihal kebijakan suku bunga maupun obligasi.
Sebagai negara maju, rating yang tinggi, dan risiko yang kecil menyebabkan setiap kenaikan yield obligasi akan menarik pelaku pasar dan berdampak kepada minat investor Jepang dalam membeli obligasi negara lain, termasuk Surat Berharga Negara (SBN). Pasalnya, Jepang adalah salah satu investor terbesar bagi SBN atau kreditur pinjaman luar negeri Indonesia.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan Jepang menjadi salah satu kreditur terbesar bahkan sejak 2013 hingga sekarang.
Pemerintah juga menerbitkan obligasi khusus berdenominasi yen atau Samurai bond. Pemerintah pertama kali menerbitkan Samurai Bonds pada17 Juli 2009.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal juga menunjukkan Jepang masih menjadi salah satu investor terbesar.
Dengan besarnya peran Jepang di pasar SBN serta investasi langsung Indonesia maka kebijakan BoJ perlu dicermati. Bila imbal hasil di Jepang makin menarik maka ada risiko penarikan dana investor Jepang dari Indonesia ke Negeri Sakura.
Jepang juga akan mampu menarik lebih banyak investor dengan imbal hasil tinggi sehingga investor bisa beralih ke Negeri Sakura dan meninggalkan investasi di negara lain, seperti Indonesia.
Bagaimana posisi pasar obligasi RI saat ini?
Merujuk data Refinitiv sampai perdagangan hari ini pukul 14.45 WIB, yield obligasi acuan RI untuk tenor 10 tahun masih di 6,63%, naik 2,4 bps dari pembukaan.
Jika hari ini ditutup menguat, akan menandai dua hari obligasi RI mulai dijual investor. Namun, jika melihat secara tren obligasi tenor 10 tahun ini masih cenderung stabil.
Sebagai catatan, yield dan harga dalam obligasi itu berlawanan arah.
Secara tren yield obligasi RI sudah tiga minggu turun terus, menunjukkan harga sedang naik, artinya investor masih memburu obligasi.
Menariknya, saat ini posisi imbal hasil surat utang acuan RI tersebut masih di bawah rata-rata semester I/2025 sebesar 6,93% dan juga di bawah asumsi makro pemerintah.
Pada Selasa (1/7/2025), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan rincian asumsi ekonomi makro tahun 2025 dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR RI. Salah satu yang disorot adalah asumsi suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) untuk semester II/2025 yang ditetapkan di kisaran 6,8%-7,3%.
Jika posisi saat ini bisa bertahan lebih lama. pemerintah akan mendapat keuntungan karena bunga yang dibayarkan kepada investor akan lebih kecil. Semakin rendah yield obligasi, semakin ringan pula beban bunga utang negara.
CNBC INDONESIA RESEARCH
