Pasar keuangan RI sumringah pada perdagangan pekan lalu, IHSG balik ke level 7000, rupiah stabil, dan obligasi diburu investor.
Wall Street mulai kontraksi dari level ATH akibat huru-hara tarif trump dimulai lagi sampai isu Jerome Powell resign.
Pasar pekan ini sibuk dengan data eksternal, terutama perkembangan tarif, inflasi AS, pertumbuhan ekonomi China, sampai RDG BI.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pekan lalu mayoritas hijau. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat lebih dari 2%, rupiah stabil, dan obligasi diburu investor.
IHSG pada perdagangan Jumat (11/7/2024) berakhir menguat 0,60% ke posisi 7.0747,43. Penguatan ini mengakumulasi tren positif sepanjang pekan sebesar 2,65% dan mencatat kenaikan selama lima hari beruntun.
Pasar saham pekan lalu terbilang ramai dengan turnover lebih dari Rp12 triliun, melibatkan 24,71 miliar lembar saham yang ditransaksikan lebih dari 1,46 juta kali.
Parade IPO masih berlanjut di akhir pekan lalu dengan sederet saham mencetak Auto Reject Atas (ARA) diantaranya PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN) yang naik 34,1%, PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) melesat 25%, PT Trimitra Trans Persada Tbk (BLOG) terbang 25%, PT Pancaran Samudera Transport Tbk (PSAT) naik 24,8%..
Saham PT Merry Riana Edukasi Tbk (MERI) juga bergerak moncer kemarin Jumat sampai 32%.
Akhir pekan lalu, asing juga terpantau mulai masuk lagi ke pasar saham RI dengan net buy di seluruh pasar senilai Rp459,14 miliar pada Jumat.
Tiga saham BUMN di posisi teratas menjadi buruan asing, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) diperingkat pertama dengan net buy asing senilai Rp436,3 miliar, diikuti PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) Rp73,6 miliar, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp71,6 miliar.
Beralih ke pasar nilai tukar, pergerakan rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) terbilang relatif stabil, dua hari jelang akhir pekan terpantau menguat, tetapi dalam mingguan masih melemah tipis
Merujuk data Refinitiv, pada Jumat kemarin rupiah berada di Rp16.205/US$. Dalam sepekan menyusut tipis 0,15% terhadap dolar AS.
Pergerakan rupiah masih cenderung stabil meskipun huru-hara tarif dimulai lagi.
Hal ini dimulai sejak Senin (7/7/2025) setelah Presiden AS Donald Trump mengirimkan surat ke 14 negara yang berisikan tarif ekspor ke AS terbaru. Banyak negara yang tidak mengalami perubahan dari sisi tarif atau bisa dikatakan sama seperti tarif yang diumumkan pada awal April 2025.
Termasuk Indonesia, yang tetap dikenakan tarif sebesar 32% untuk ekspor barang ke AS. Hal ini menjadikan 90 hari negosiasi kita sia-sia. Meskipun sampai saat ini pemerintah masih terus berusaha untuk melobi Trump mengenai kemungkinan diturunkannya tarif ini, Trump menegaskan bahwa tarif terbaru yang sudah dikirimkan ke banyak negara akan mulai berlaku per 1 Agustus 2025.
Di sisi lain, dari pasar obligasi RI terpantau tetap diburu investor tercermin dari imbal hasil surat utang tenor 10 tahun terus turun.
Melansir data Refinitiv, sampai Jumat kemarin, Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun berada di 6,57%, menandai tiga pekan beruntun penurunan dan mencapai level terendah sejak awal tahun.
Patut dipahami yield dan harga dari obligasi itu berlawanan arah. Jadi, ketika yield turun, harga obligasi artinya sedang naik atau investor banyak yang memburu instrumen konservatif ini.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) menutup pekan lalu dengan catatan kurang sedap. Setelah sempat mencetak rekor tertinggi baru sehari sebelumnya, ketiga indeks utama Wall Street kompak melemah pada penutupan perdagangan Jumat (11/7/2025) waktu setempat.
Tekanan utama datang dari pernyataan Presiden AS Donald Trump yang kembali melontarkan ancaman tarif dagang, kali ini menyasar Kanada. Trump mengumumkan kebijakan tarif impor sebesar 35% untuk produk dari Negeri Daun Maple, seraya memperingatkan tarif serupa berpotensi diberlakukan ke negara mitra dagang lainnya.
Mengutip laporan CNBC, Dow Jones Industrial Average ditutup turun 279 poin atau 0,63% ke level 44.371. Indeks S&P 500 melemah 0,33% menjadi 6.259,75, sementara Nasdaq Composite turun 0,22% dan berakhir di 20.585,53.
Menurut para analis, pelemahan ini seolah menjadi "titik balik" setelah seminggu penuh pasar saham sempat menguat, bahkan sempat mencetak rekor tertinggi baru pada Kamis. Namun komentar Trump di platform Truth Social langsung mengguncang sentimen. Dalam unggahan tersebut, Trump menyebut masalah fentanil sebagai alasan di balik kebijakan tarif terhadap Kanada.
"Kalau Kanada mau kerja sama bantu stop aliran fentanil, mungkin kami bisa pikir-pikir lagi soal tarif ini," tulis Trump.
Tidak hanya itu, dalam wawancara dengan NBC News, Trump juga mengungkap rencana lebih besar: menaikkan tarif umum menjadi 15% sampai 20% bagi semua negara yang belum mencapai kesepakatan dagang dengan AS. Sebagai perbandingan, tarif standar saat ini berkisar di 10%.
Akibat tekanan ini, performa Wall Street selama sepekan ikut tertekan. Dow Jones mencatat penurunan mingguan sebesar 1%, sementara S&P 500 dan Nasdaq masing-masing turun 0,3% dan 0,1%.
Menurut Art Hogan, analis dari B. Riley Wealth Management, investor mulai menyadari bahwa risiko perang dagang bukan sekadar retorika. "Sepanjang minggu ini pasar masih cukup tahan banting, tapi dengan munculnya tarif untuk Kanada yang tiba-tiba, situasi berubah drastis," katanya.
Menariknya, sehari sebelum pengumuman tarif Kanada, pasar saham justru sempat meroket. S&P 500 menorehkan rekor baru dengan kenaikan 0,3% pada Kamis, sementara Nasdaq menguat tipis 0,1%. Saat itu, investor tampaknya masih cukup cuek dengan kabar soal tarif AS yang mencapai 50% untuk tembaga impor dan produk asal Brasil.
Pasar keuangan Indonesia diharapkan kembali kencang pekan ini, ada banyak data eksternal yang akan rilis seperti inflasi AS, perkembangan tarif Trump terbaru, kabar Chairman The Fed, Jerome Powell mau resign, sampai pertemuan RDG BI.
Tantangan eksternal masih patut diantisipasi meskipun dari internal masih ada parade IPO dan saham-saham bank murah.
Berikut beberapa sentimen yang akan mempengaruhi pergerakan pasar pekan ini :
Pengumuman Seputar Tarif Trump
Presiden AS Donald Trump kembali bikin pasar global waspada. Sabtu malam waktu AS (12/7/2025), Trump secara resmi mengumumkan pengenaan tarif impor sebesar 30% terhadap produk dari Uni Eropa (UE) dan Meksiko. Dalam pernyataannya, Trump juga menegaskan bahwa jika kedua pihak membalas dengan tarif balasan, maka AS siap menaikkan tarif tambahan dengan besaran yang sama.
Menariknya, pengumuman ini dilakukan saat pasar sudah tutup untuk akhir pekan. Banyak yang menilai Trump sengaja menunggu hingga bursa Wall Street libur agar tidak langsung memicu kepanikan di pasar.
Namun, menurut pantauan dari beberapa analis dan media seperti CNBC serta Politico, reaksi pasar terhadap pengumuman ini diprediksi tidak akan terlalu besar pada awal pekan.
Sentimen di kalangan pelaku pasar saat ini cenderung menganggap langkah Trump sebagai bagian dari strategi negosiasi dagang semata, bukan kebijakan yang benar-benar akan diterapkan secara permanen.
"Pasar kemungkinan besar akan santai saja menghadapi pengumuman ini, bahkan bukan tidak mungkin Wall Street malah ditutup di zona hijau pada hari Senin," tulis salah satu analis dalam laporan yang dikutip CNBC International.
Hal ini didukung oleh kabar terbaru dari pejabat Uni Eropa (UE) yang mengonfirmasi bahwa pemerintah AS sudah lebih dulu memberi pemberitahuan resmi sebelum pengumuman tarif tersebut dipublikasikan. Artinya, langkah ini memang lebih bersifat sebagai sinyal negosiasi ketimbang tindakan sepihak yang agresif.
Lebih lanjut, menurut sumber dari Politico, Kanada bahkan menunda rencana balasan tarif mereka terhadap AS, khususnya untuk produk baja dan aluminium. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwa ketegangan dagang saat ini masih berada dalam kerangka diplomasi, bukan benar-benar berubah menjadi perang dagang penuh.
Tarif terhadap UE dan Meksiko ini sebenarnya bukan kejutan total bagi pasar. Sejak pertengahan minggu lalu, spekulasi soal pengumuman tarif memang sudah santer terdengar. Bahkan indeks saham AS seperti S&P 500 dan Nasdaq tetap mampu mencetak rekor tertinggi baru sebelum akhirnya ditutup melemah pada Jumat, setelah Trump mengumumkan tarif 35% terhadap Kanada terlebih dahulu.
Kabar Jerome Powell Mau Resign dari The Fed
Ketua Federal Reserve Jerome Powell dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk mundur dari jabatannya. Informasi ini disampaikan langsung oleh Bill Pulte, Direktur Federal Housing Finance Agency (FHFA), melalui keterangan resminya yang dirilis Sabtu (12/7/2025).
"Saya mendukung laporan yang menyebutkan Jerome Powell sedang memikirkan untuk mengundurkan diri. Menurut saya, itu akan menjadi langkah yang baik bagi Amerika Serikat dan bisa membawa pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat," ujar Pulte, seperti dikutip dari situs resmi FHFA.
Bill Pulte dikenal sebagai salah satu pengkritik keras Powell, sekaligus pendukung kebijakan Presiden Donald Trump yang mendorong bank sentral AS memangkas suku bunga secara signifikan.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Powell maupun pejabat Federal Reserve lainnya mengenai kabar tersebut. Situasi ini memicu spekulasi di kalangan pasar keuangan terkait kemungkinan adanya ketegangan internal di tubuh bank sentral AS, terlebih di tengah tekanan politik dari Trump.
Sebagai catatan, masa jabatan Powell sebagai Ketua The Fed seharusnya masih berlaku hingga 15 Mei 2026. Sementara itu, posisinya sebagai anggota dewan gubernur Federal Reserve sebenarnya masih bisa berlanjut sampai 31 Januari 2028, kecuali jika ada keputusan lain.
Menanti Data Inflasi AS
Dari negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS) akan merilis data inflasi periode Juni 2025 pada Selasa (15/7/2025) waktu AS. Setelah berbulan-bulan mengalami inflasi yang sangat rendah, indeks harga konsumen (IHK), alat pengukur inflasi AS kemungkinan mengalami pertumbuhan harga yang sedikit lebih cepat pada bulan Juni karena perusahaan mulai meneruskan biaya barang impor yang lebih tinggi terkait tarif.
Harga barang dan jasa, tidak termasuk biaya makanan dan energi yang fluktuatif, akan naik 0,3% pada bulan Juni, tertinggi dalam lima bulan, menurut survei Bloomberg terhadap para ekonom. Pada bulan Mei, indeks harga konsumen inti naik tipis 0,1%.
Indeks ini, yang dianggap sebagai indikator inflasi dasar yang lebih baik, diperkirakan akan meningkat secara tahunan untuk pertama kalinya sejak Januari, menjadi 2,9%.
Meskipun laporan hari Selasa kemungkinan hanya menunjukkan sedikit lebih banyak pengalihan bea masuk AS yang lebih tinggi, banyak ekonom memperkirakan inflasi akan meningkat secara bertahap seiring berjalannya tahun.
Di saat yang sama, banyak pedagang ragu untuk menaikkan harga bagi konsumen Amerika yang menerapkan disiplin belanja yang lebih tinggi di tengah pasar tenaga kerja yang melemah. Ini adalah tindakan penyeimbangan yang rumit.
Angka penjualan ritel pada Kamis kemarin, diperkirakan hanya menunjukkan sedikit peningkatan diJuni setelah dua bulan mengalami penurunan.
Detail data tersebut, yang terutama mencerminkan pengeluaran untuk barang dagangan, akan membantu para ekonom memperkuat estimasi mereka untuk pertumbuhan ekonomi kuartal kedua.
Meskipun permintaan konsumen telah menurun seiring dengan pasar tenaga kerja, para pejabat The Federal Reserve telah menunda penurunan suku bunga karena kekhawatiran bahwa tarif yang lebih tinggi pada akhirnya akan mempercepat inflasi. Para pembuat kebijakan akan bertemu pada 29-30 Juli.
Harga Produsen AS
Indeks Harga Produsen (IHP) AS untuk periode Juni 2025, akan dirilis pada Rabu (16/7/2025) waktu AS. Sebelumnya, IHP AS pada periode Mei 2025 mengalami peningkatan sebesar 0,1%, setelah penurunan sebesar 0,2% yang direvisi pada bulan April, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja.
Hal ini berarti peningkatan sebesar 2,6% sepanjang tahun, dengan harga barang naik sebesar 1,3% dan harga jasa naik sebesar 3,2%, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja.
Neraca Dagang China
Beralih ke kawasan regional, pada Senin hari ini (14/7/2025), dari negeri tirai bambu, China akan merilis data neraca dagang beserta ekspor dan impor periode Juni 2025. Sebelumnya, China mencatat surplus perdagangan dengan meningkat 25% dari tahun sebelumnya menjadi US$103,2 miliar pada bulan Mei.
Namun, pertumbuhan ekspor pada bulan Mei melambat secara signifikan dari lonjakan 8,1% pada bulan April ketika lonjakan pengiriman ke negara-negara Asia Tenggara mengimbangi penurunan tajam barang keluar ke AS. Pengiriman China ke AS anjlok lebih dari 21% pada bulan April, karena tarif yang sangat tinggi mulai berlaku.
Sementara secara tahunan, ekspor China ke AS anjlok 34,5% dibandingkan tahun lalu, menandai penurunan tertajam sejak Februari 2020, menurut Wind Information, ketika pandemi Covid-19 mengganggu perdagangan. Impor dari AS turun lebih dari 18%, dan surplus perdagangan China dengan Amerika menyusut 41,55% secara tahunan menjadi US$18 miliar.
Ekspor secara keseluruhan naik 4,8% bulan lalu dalam dolar AS dibandingkan tahun sebelumnya, data bea cukai menunjukkan pada hari Senin, lebih rendah dari perkiraan jajak pendapat Reuters sebesar 5%.
Impor anjlok 3,4% pada bulan Mei dibandingkan tahun sebelumnya, penurunan drastis dibandingkan dengan ekspektasi para ekonom sebesar 0,9%. Impor telah menurun tahun ini, sebagian besar disebabkan oleh lesunya permintaan domestik.
Hal ini sebagian besar diimbangi oleh pengirimannya ke blok Asia Tenggara, yang melonjak hampir 15% dari tahun sebelumnya, dan pengiriman ke negara-negara Uni Eropa dan Afrika, yang masing-masing naik 12% dan lebih dari 33%.
Pertumbuhan Ekonomi China
Berlanjut pada Selasa (15/7/2025), China akan merilis data pertumbuhan domestic bruto (PDB) periode kuartal II 2025.
Pertumbuhan PDB China pada kuartal II 2025 diperkirakan sekitar 5,1% (yoy), melambat dari pertumbuhan 5,4% pada Q1. Perlambatan ini diperkirakan disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dampak ketegangan perdagangan dengan AS, lemahnya permintaan konsumen, dan penurunan harga properti yang terus berlanjut. Meskipun diperkirakan terjadi perlambatan, proyeksi pertumbuhan 5,1% masih melampaui proyeksi 4,7% pada bulan April dan sejalan dengan target resmi untuk setahun penuh sekitar 5%.
Suku Bunga BI
Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan suku bunga RI pada Rabu (16/7/ 2025). Sebelumnya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia periode 17-18 Juni 2025, BI memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 5,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,25%.
Keputusan ini sejalan dengan tetap terjaganya prakiraan inflasi 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1%, kestabilan nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, serta perlunya untuk tetap turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan BI-Rate guna mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan tetap mempertahankan inflasi sesuai dengan sasarannya dan stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial akomodatif terus dioptimalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan berbagai strategi untuk mendorong pertumbuhan kredit dan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan.
Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk turut menopang pertumbuhan ekonomi melalui perluasan akseptasi pembayaran digital, serta penguatan infrastruktur dan konsolidasi struktur industri sistem pembayaran.
Musim Laporan Keuangan Semester I/2025 Tiba
Beralih ke korporasi Tanah Air, memasuki pekan ketiga Juli biasanya akan mulai berdatangan rilis laporan keuangan untuk periode selama paruh pertama tahun ini.
Biasanya, akan dimulai dari sektor perbankan yang memang sudah rutin merilis laporan keuangan per bulan. Sektor ini patut dicermati karena memiliki bobot terbesar terhadap indeks.
Setelah itu, emiten di sektor barang konsumsi dan ritel juga diperkirakan akan lebih cepat merilis laporan keuangan, terutama perusahaan-perusahaan dengan kapitalisasi besar yang menjadi perhatian investor.
Periode ini kerap disebut sebagai musim laporan keuangan (earning season), di mana investor dan pelaku pasar akan mencermati angka-angka pertumbuhan laba, pendapatan, hingga rasio keuangan lainnya yang bisa memengaruhi arah pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Selain itu, laporan keuangan semester I/2025 ini juga menjadi salah satu indikator penting untuk membaca arah perekonomian Indonesia secara umum, apakah terjadi perbaikan, stagnasi, atau justru perlambatan.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
Neraca dagang China, termasuk kinerja ekspor-impor periode Juni 2025
Inflasi India periode Juni 2025
Webinar Goes to Rakernas PERHEPI 2025: "Harga Beras Naik, Siapa yang Diuntungkan? Meninjau Ulang Arsitektur Kebijakan Perberasan" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI).
Badan Anggaran Rapat Panja Kebijakan Transfer ke Daerah Pendahuluan RAPBN TA 2026 dan RKP Tahun 2026
Badan Anggaran Rapat Panja Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat Pendahuluan RAPBN TA 2026 dan RKP Tahun 2026
RDP Komisi XI dengan Dirjen Pajak. Dirjen Bea Cukai, Dirjen Anggaran, DJSEF, DJSPSK, Dirjen Kekayaan Negara, Lembaga Manajemen Aset Negara
RDP Komisi XI dengan Eseslon I Kemenkeu DJPPR, DJPB, DJPK, SETJEN, BPPK, BTIIK, ITJEN, dan LNSW
CNBC Indonesia Insurance Forum "Strategi Menghadapi Lonjakan Klaim Asuransi Nasional" di Amanaia Satrio, Jakarta Selatan. Turut hadir antara lain Ketua Komisi XI DPR, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian OJK, dan Ketua Umum DAI.
Public Expose Pengelolaan Program dan Keuangan BPJS Kesehatan tahun 2024 yang akan diselenggarakan di Ballroom BPJS Kesehatan, Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Turut hadir direksi dan dewan pengawas.
Prodia Meet The Press with ProSTEM
dengan topik "Langkah Strategis Prodia di Bidang Terapi Regeneratif: Mendorong Pengembangan Terapi Sel Punca bersama ProSTEM" di Prodia Stem Cell Indonesia, Senen, Jakarta Pusat. Turut hadir founder dan direksi Prodia.
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
Cum date stock split CUAN 1 : 10
Hari perdagangan dimulai untuk right issue MINA dan TOWR