
Dolar Kini Terburuk Setengah Abad, AS Terjebak dalam Lingkaran Setan

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) tengah menghadapi tekanan besar. Mata uang Greenback bahkan mencatat kinerja terburuk dalam setengah abad.
Dilansir dari Refinitiv, sepanjang semester I- 2025, indeks dolar AS (DXY) telah anjlok lebih dari 10%. Jika dilihat kinerja semester I, pelemahan sebesar 10% pada Januari-Juni 2025 adalah yang terbesar sejak semester I-1973.
Ini menjadi pukulan telak bagi strategi ekonomi Presiden AS Donald Trump yang ingin meningkatkan ekspor dan menurunkan impor melalui kebijakan tarif. Pelemahan dolar AS juga menjadi bukti jika keyakinan investor terhadap dolar AS tengah jeblok.
Seperti kita ketahui, sejak kembali ke gedung putih pada Januari 2025, Trump langsung menghidupkan kembali agenda proteksionisme ekonomi yang telah dia lakukan sejak masa jabatan pertamanya (2017-2021). Kebijakan tarif kembali menjadi senjata utama Trump untuk menekan mitra dagang utama mereka dan mendorong produksi dalam negeri AS.
Puncaknya Terjadi pada Rabu (2/4/2025), Trump mengumumkan AS akan memberlakukan tarif resiprokal atau timbal balik kepada mitra dagangnya minimal 10%, tergantung dari kondisi surplus/defisit.
Langkah ini bertujuan untuk melindungi bisnis lokal, menjaga lapangan kerja, dan memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan. Namun, tarif timbal balik juga bisa memicu perang dagang, yaitu saling balas menaikkan hambatan perdagangan yang pada akhirnya dapat merugikan kedua pihak.
Strategi ekonomi yang dimainkan Trump ini justru memicu pelemahan dolar AS seiring dengan meningkatnya kekhawatiran investor global karena kondisi ini dinilai bisa mengganggu rantai pasok, menaikkan harga bagi konsumen, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat itu sendiri.
Dampak Dolar Melemah Mulai Dari Inflasi Hingga Modal Asing Lari
Melemahnya dolar AS memiliki dampak langsung terhadap harga barang impor yang cenderung naik. Ketika nilai tukar dolar melemah terhadap mata uang utama dunia seperti euro, yen, atau yuan, maka biaya untuk membeli barang impor akan menjadi jauh lebih mahal.
Hal ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan AS harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk melakukan impor barang, yang mana ini akan membebankan biaya tambahan kepada konsumen.
Selain itu, sektor pariwisata dan mobilitas warga AS ke luar negeri ikut terdampak. Biaya perjalanan ke destinasi populer seperti Eropa, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya menjadi lebih mahal karena nilai tukar dolar yang lebih lemah. Warga AS kini harus merogoh kocek lebih dalam hanya untuk berlibur atau melakukan perjalanan bisnis.
Pelemahan dolar juga menggerus kepercayaan investor asing terhadap pasar keuangan AS. Saat nilai dolar turun, return investasi dalam mata uang dolar otomatis menjadi kurang menarik, apalagi di tengah ketidakpastian kebijakan proteksionis dan defisit fiskal yang terus melebar.
Laporan dari Bank of America juga mengungkap bahwa kini semakin banyak investor asing yang memilih merotasi dananya keluar dari AS, menuju pasar-pasar dengan kebijakan yang lebih stabil seperti Eropa.
Menurut Bob Elliot, Chief Investment Officer di Unlimited Funds, AS sangat bergantung pada investasi asing untuk menjaga stabilitas keuangan, baik melalui pasar saham maupun surat utang. Elliot menambahkan "Pelemahan dolar dapat mengurangi daya tarik investasi di AS."
![]() Investor menarik uang tunai dari dana ekuitas AS dalam tujuh dari dua belas bulan terakhir, sementara rekan-rekan mereka di Eropa menunjukkan arus masuk yang konsisten selama periode yang sama. |
Akankah AS Bangkit atau Terjebak "Lingkaran Setan"?
Meski banyak analis khawatir, namun sebagian lainnya menilai kekhawatiran terhadap pelemahan dolar terlalu dibesar besarkan. Mereka percaya bahwa AS tetap memiliki keunggulan dalam pasar yang dinamis, regulasi yang pro terhadap bisnis, serta didukung oleh program pemangkasan pajak besar-besaran dalam RUU Trump.
Data pasar tenaga kerja yang tetap kuat pada bulan Juni juga memberi sedikit angin segar. Bahkan sempat mendorong indeks dolar kembali naik di pekan ini.
Namun, jika pelemahan ekonomi benar-benar terjadi dan The Fed memutuskan memangkas suku bunga, maka minat investor terhadap aset-aset keuangan AS bisa semakin menurun. Ini akan membuat nilai dolar semakin tertekan, dan berdampak langsung pada harga barang impor dan inflasi.
"Ini bisa menjadi lingkaran setan," kata Danny Dayan, mantan manajer dana lindung nilai, dikutip dari NBC News.
Danny menambahkan, Pelemahan dolar memangkas daya beli dan bisa mempercepat inflasi, apalagi di tengah tarif impor yang tinggi.
Berdasarkan data di atas IMF mencatat bahwa nilai cadangan devisa global masih berdenominasi dolar AS. Nilai share dolar AS masih saja terbilang sangat besar dibandingkan negara lain.
Kendati demikian, jika dibandingkan, posisi pada Q4-2024 tercatat mengalami penurunan mencapai 0,88% dibandingkan periode yang sama tahun 2023.
Sebagai informasi, data IMF per akhir 2024 menunjukkan cadangan devisa di seluruh dunia menyentuh US$11,46 triliun. Dari jumlah tersebut, mata uang berdemoniasi dolar AS mencapai US$6,63 triliun atau sekitar 57,8%. Sementara posisi kedua ditempati oleh Euro dengan dominasi 19,83%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)