
Kabar Baik dari Trump & Pemerintah, Bisakah Jadi Booster IHSG-Rupiah?

Pasar keuangan Indonesia hari ini akan bergerak mengikuti kombinasi sentimen fiskal, energi, dan aksi korporasi yang sudan mewarnai perdagangan kemarin.
Pemerintah mulai menyiapkan fondasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 di tengah tekanan fiskal yang membengkak di tahun berjalan. Di sisi lain, pasar juga menanti gebrakan IPO jumbo yang bisa menyuntik likuiditas ke dalam IHSG. Namun, arah tetap tak pasti, sebab bayang-bayang global masih menyelimuti psikologi pelaku pasar.
Kesepakatan dagang AS dan Vietnam diharapkan juga menjadi kabar baik bagi dunia dan Indonesia sehingga menjadi katalis positif bagi pasar. Sinyal restu DPR RI atas penggunaan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk APBN juga menjadi kabar baik karena pemerintah bisa memiliki bantalan penutup defisit jika defisit dan utang membengkak.
Berikut beberapa informasi dan data yang bisa jadi sentimen pasar hari ini:
SAL untuk Tutup Defisit, DPR Restui Langkah Pemerintah
Rapat Panja Banggar DPR dan Kementerian Keuangan kemarin mengindikasikan restu atas rencana pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) tahun 2024 sebesar Rp85,6 triliun guna menutup potensi pelebaran defisit APBN 2025 yang diperkirakan mencapai Rp662 triliun atau 2,78% dari PDB. Dengan langkah ini, pemerintah berharap bisa menghindari penerbitan utang tambahan di tengah situasi pasar keuangan yang penuh ketidakpastian.
Keputusan untuk mengandalkan SAL dianggap sebagai jalan tengah yang lebih stabil dalam menjaga kepercayaan fiskal.
Wakil Ketua Banggar menyebut bahwa opsi ini tidak menjadi masalah selama digunakan untuk mengurangi defisit, bukan konsumsi. Pemerintah juga diminta meningkatkan efisiensi dan optimalisasi penerimaan negara, seiring tren positif dalam penerimaan pajak yang mulai terlihat pada Juni lalu. Kombinasi antara pengendalian pembiayaan dan peningkatan pendapatan menjadi harapan baru dalam memperbaiki postur APBN 2025.
Parade IPO Jumbo: Optimisme Baru untuk IHSG?
Delapan emiten baru akan resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada 8-10 Juli 2025.
Total kapitalisasi awal dari IPO ini diperkirakan mencapai Rp29,62 triliun, dan dalam skenario ekstrem jika seluruh saham mencetak Auto Rejection Atas (ARA) selama tiga hari berturut-turut market cap gabungannya bisa melonjak hingga lebih dari Rp70 triliun.
Meski kontribusinya ke kapitalisasi IHSG masih tergolong kecil, potensi pergerakan harga yang tinggi membuat investor menjadikan aksi korporasi ini sebagai salah satu magnet utama pekan ini.
Analis memandang kehadiran IPO jumbo ini sebagai angin segar di tengah lesunya pasar primer dalam beberapa bulan terakhir.
Nama-nama seperti CDIA dan COIN menarik perhatian karena berada di kisaran harga yang memungkinkan kenaikan maksimal ARA hingga 35%, memberikan efek compounding yang signifikan terhadap kapitalisasi mereka. Selain itu, kembalinya minat terhadap IPO juga mencerminkan mulai pulihnya kepercayaan pasar terhadap valuasi dan prospek bisnis jangka menengah, terutama bila disertai fundamental yang solid.
Namun perlu dicatat, volatilitas tinggi juga mengintai. Tak semua saham IPO pasti melesat. Dalam banyak kasus sebelumnya, euforia awal tidak selalu diikuti kinerja berkelanjutan. Investor perlu mewaspadai fenomena "pump and dump" serta menghindari herd mentality.
Dalam konteks makro yang masih diliputi ketidakpastian, selektivitas dan disiplin dalam analisis tetap menjadi kunci. Jika IPO ini berhasil menggairahkan kembali partisipasi investor ritel dan menarik dana segar ke pasar modal, maka dampaknya bisa jauh lebih besar dari sekadar hitungan kapitalisasi.
ESDM Usulkan ICP 2026 US$ 60-80, Risiko Minyak Masih Mengintai
Kementerian ESDM mengusulkan harga Indonesian Crude Price (ICP) dalam RAPBN 2026 berada di kisaran US$ 60-80 per barel. Usulan ini disampaikan dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, dengan pertimbangan fluktuasi geopolitik dan tren penurunan harga pada Mei-Juni 2025 yang sempat menyentuh US$ 62,75 per barel. Sebagai catatan, ICP dalam APBN 2025 dipatok di level US$ 82 per barel.
Pemerintah juga mempertimbangkan proyeksi global, termasuk dari AS dan Timur Tengah, yang memperkirakan harga minyak di tahun depan berkisar US$ 55-67 per barel.
Dengan 30% suplai minyak dunia berasal dari kawasan Timur Tengah, ketegangan di wilayah tersebut masih jadi variabel kunci.
Rentang proyeksi yang lebar ini mencerminkan betapa rentannya pasar energi terhadap guncangan politik dan ketidakseimbangan suplai-permintaan. Dampaknya bisa menjalar ke APBN dan nilai tukar, terutama jika realisasi ICP jatuh di bawah asumsi.
Pasar Wait and See, Sentimen Campuran Bayangi
Di luar sentimen domestik yang konstruktif, pelaku pasar masih berhati-hati menyikapi perkembangan eksternal, termasuk tenggat tarif dagang Donald Trump yang jatuh pada 8 Juli dan pengesahan RUU fiskal jumbo AS senilai US$3,3 triliun.
RUU ini diperkirakan menambah beban utang dan memperbesar defisit AS, memicu kekhawatiran akan stabilitas fiskal global.
Kombinasi tekanan global dan harapan pemulihan dari dalam negeri menciptakan lanskap pasar yang ambigu. Investor berpotensi melakukan aksi wait and see menjelang kepastian realisasi kebijakan fiskal dan data ekonomi berikutnya. Dalam situasi seperti ini, pergerakan IHSG dan rupiah kemungkinan akan terbatas dengan volatilitas tinggi dalam jangka pendek.
AS-Vietnam Sepakat Soal Dagang
Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan dagang baru dengan Vietnam yang secara signifikan menurunkan tarif impor menjadi 20%, lebih rendah dari yang dijanjikan sebelumnya, dalam upaya meredakan ketegangan menjelang tenggat kebijakan tarif besar-besaran yang dijadwalkan berlaku pada 9 Juli mendatang.
Presiden Donald Trump pada Rabu (2/7/2025) waktu setempat menyampaikan bahwa kesepakatan tersebut merupakan hasil dari pembicaraan langsungnya dengan pemimpin tertinggi Vietnam, To Lam.
"Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk mengumumkan bahwa saya baru saja membuat kesepakatan dagang dengan Republik Sosialis Vietnam," tulis Trump di platform Truth Social.
Menurut Trump, barang-barang ekspor dari Vietnam kini akan dikenai tarif 20%, jauh lebih rendah dibandingkan rencana tarif 46% yang diumumkan pada April lalu. Namun, barang-barang yang dikirim ulang dari negara ketiga, seperti China melalui Vietnam, akan tetap dikenai tarif lebih tinggi sebesar 40%.
Trump juga menambahkan bahwa Vietnam akan menerima barang-barang asal AS tanpa bea masuk alias tarif 0%.
Sementara itu, pemerintah Vietnam dalam pernyataannya membenarkan telah menyepakati sebuah kerangka kerja perdagangan bersama dengan AS, namun tidak merinci angka-angka tarif seperti yang disebutkan oleh Trump.
Sejak Trump memberlakukan tarif terhadap ratusan miliar dolar barang asal China pada masa jabatan pertamanya (2017-2021), perdagangan AS dengan Vietnam melonjak drastis.
Data dari Biro Sensus AS menunjukkan ekspor Vietnam ke AS meningkat hampir tiga kali lipat dari kurang dari US$50 miliar pada 2018 menjadi sekitar US$137 miliar pada 2024. Namun, ekspor AS ke Vietnam hanya naik sekitar 30% dalam periode yang sama.
Data Tenaga Kerja AS
Perusahaan swasta di AS mengurangi 33.000 pekerjaan pada Juni 2025, penurunan pertama sejak Maret 2023, dibandingkan dengan revisi penurunan 29.000 pekerjaan pada Mei dan jauh di bawah perkiraan yang mengharapkan kenaikan pekerjaan sebesar 95.000.
Sektor jasa kehilangan 66.000 pekerjaan, terutama di layanan profesional/bisnis (-56.000), pendidikan/kesehatan (-52.000), dan kegiatan keuangan (-14.000). Di sisi lain, sektor lain justru mencatatkan penambahan pekerjaan, antara lain: sektor hiburan/perhotelan (32.000), perdagangan/transportasi/utilitas (14.000), dan informasi (5.000).
Sektor barang-barang juga mencatatkan penambahan pekerjaan sebanyak 32.000: 15.000 di sektor manufaktur, 9.000 di sektor konstruksi, dan 8.000 di sektor sumber daya alam/pertambangan.
Sementara itu, pertumbuhan upah tahunan bagi pekerja yang tetap mengalami penurunan tipis menjadi 4,4% pada Juni, turun dari 4,5% pada Mei. Pertumbuhan upah bagi pekerja yang berpindah pekerjaan tercatat 6,8% pada Juni, sedikit turun dari 7%.
"Meskipun pemutusan hubungan kerja masih jarang, ketidakpastian dalam perekrutan dan ketidakmauan untuk menggantikan pekerja yang keluar menyebabkan hilangnya pekerjaan bulan lalu. Meskipun demikian, pelambatan dalam perekrutan belum mengganggu pertumbuhan upah," kata Dr. Nela Richardson, kepala ekonom ADP.
Perlu dicatat, laporan ADP sering kali tidak akurat dalam memprediksi laporan pekerjaan non-pertanian resmi dari pemerintah, yang akan dirilis Kamis. Para ekonom memperkirakan akan ada pertumbuhan 110.000 pekerjaan di Juni.
Namun, jika data pekerjaan resmi nanti ternyata juga meleset dari ekspektasi seperti laporan ADP, maka pemangkasan suku bunga oleh The Fed mungkin akan menjadi pertimbangan saat pertemuan mereka akhir bulan ini.
(emb/emb)