The Fed & BI Tahan Suku Bunga, Perang Membara: IHSG - Rupiah Tertekan?

Pada perdagangan hari ini, pasar keuangan akan kembali merespon hasil dari keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI) dan The Federal Reserve (The Fed). Namun, bukan yang diharapkan oleh para investor, dimana BI maupun The Fed justru tidak kembali menurunkan suku bunga. Sehingga kemungkinan respon pasar tidak akan begitu sumringah.
Konflik geopolitik antara Israel dengan Iran yang semakin meluas juga masih menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan. Kabar terbaru G7 pun ikut membela Israel, sehingga perang kini belum mereda.
BI Tahan Suku Bunga
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Juni 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 5,50%.
Sejalan dengan keputusan ini BI juga menahan suku bunga Deposit Facility pada level 4,75%, dan suku bunga Lending Facility tetap di level 6,25%.
Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi tahun 2025 dan 2026 yang rendah dan terkendali dalam sasaran 2,5±1%, upaya mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya, serta untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Keputusan ini juga sesuai dengan proyeksi dari berbagai lembaga/institusi. Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 13 lembaga/institusi menunjukkan pasar berekspektasi menahan suku bunga d ke level 5,50%.
Sebanyak 11 lembaga sudah memperkirakan BI akan menahan suku bunga sementara dua institusi lainnya memproyeksi akan memangkas suku bunga.
Adapun, perekonomian Indonesia akan terpengaruh oleh situasi global yang kini masih penuh ketidakpastian Sederet ketidakpastian tersebut dipicu oleh dinamika perang dagang pasca Presiden AS Donald Trump mengeluarkan kebijakan impor tarif. Di samping itu ketegangan geopolitik semakin panas, terutama karena perang Israel dan Iran.
Tekanan inflasi AS menurun sejalan dengan perlambatan ekonomi meskipun ada kenaikan pada beberapa kelompok barang akibat kebijakan tarif impor. Ini nantinya akan berpengaruh kepada kebijakan suku bunga acuan AS atau Fed Fund Rate.
BI memperkirakan ekonomi nasional akan membaik pada semester II-2025. Keseluruhan tahun, BI memproyeksikan ekonomi akan tumbuh 4,6-5,4%.
Ke depan BI akan terus mencermati ruang penurunan BI rate guna dorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap pertahankan inflasi sesuai sasarannya dan stabilisasi rupiah sesuai fundamentalnya.
The Fed Juga Tahan Suku Bunga
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) kembali menahan suku bunganya di level 4,25-4,50% bulan ini. The Fed masih memberikan sinyal pemangkasan dua kali hingga Desember 2025.
The Fed mengumumkan suku bunga pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia (19/6/2025). Ini merupakan kali keempat The Fed menahan suku bunganya setelah terakhir kali menurunkan suku bunganya pada pertemuan Desember 2024.
Seperti diketahui, The Fed telah mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Mereka kemudian menahan suku bunga di level 5,25-5,50% pada September 2023-Agustus 2024 atau lebih dari setahun sebelum memangkasnya pada September 2024 dan dilanjutkan pada November serta Desember 2024 dengan total 100 basis poin (bps) di tahun kemarin.
The Fed dalam pernyataannya memperkirakan inflasi akan tetap tinggi dan pertumbuhan ekonomi akan melambat. Namun, berdasarkan proyeksi yang ditampilkan dalam "dot plot" Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) masih memperkirakan akan ada dua kali penurunan suku bunga pada tahun ini.
Tujuh dari 12 anggota FOMC kini memperkirakan tidak akan ada pemangkasan suku bunga sama sekali. Jumlah yang memperkirakan tidak ada kenaikan bertambah dari empat orang pada Maret lalu.
Artinya, ada pergeseran sikap sebagian anggota FOMC yang mulai melihat bahwa kondisi ekonomi mungkin tidak mendukung kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Chairman Federal Reserve Jerome Powell dalam konferensi pers setelah pertemuan FOMC mengatakan dia memperkirakan tarif yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump pada akhirnya akan berdampak pada inflasi yang lebih tinggi. Namun, sejauh ini dampaknya masih belum jelas. Powell menyatakan bahwa hal tersebut harus terlihat terlebih dahulu sebelum The Fed dapat memangkas biaya pinjaman lagi.
"Kita harus mempelajari lebih banyak soal dampak tarif. Kami belum tahu cara yang tepat untuk merespons. Sulit untuk tahu dengan penuh keyakinan bagaimana sebaiknya bereaksi sebelum kita melihat seberapa besar dampaknya," tutur Powell, dikutip dari CNBC International.
Powell menambahkan inflasi yang mungkin muncul akibat tarif bisa jadi hanya bersifat "sementara", tetapi juga bisa lebih bertahan lama. Ia menyebutkan bahwa tarif sudah mulai berdampak ke seluruh perekonomian.
G7 Bela Israel dan Mengecam Iran
Pergerakan pasar keuangan Tanah Air juga masih diperberat oleh memanasnya eskalasi perang antara Israel dengan Iran yang semakin meluas.
Para pemimpin negara-negara maju dalam kelompok G7 menyampaikan dukungan penuh terhadap Israel dan mengecam Iran atas ketegangan yang terus meningkat di kawasan Timur Tengah. Dalam pernyataan bersama, G7 menegaskan posisi tegas mereka terhadap krisis yang melibatkan Tel Aviv dan Teheran, serta konflik yang terus membara di Gaza.
"Kami menegaskan bahwa Israel memiliki hak untuk membela diri. Kami ulangi dukungan kami terhadap keamanan Israel," demikian bunyi pernyataan bersama yang dirilis oleh para pemimpin G7, yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (17/6/2025).
Dalam pernyataan tersebut, Iran disebut sebagai "sumber utama ketidakstabilan dan teror di kawasan." Para pemimpin G7 juga kembali menyatakan bahwa Iran "tidak boleh memiliki senjata nuklir dalam kondisi apapun."
Pernyataan ini muncul di tengah memanasnya pertukaran serangan militer antara Israel dan Iran. Ketegangan meningkat secara drastis setelah sejumlah serangan lintas wilayah dilakukan oleh kedua negara, memicu kekhawatiran akan pecahnya konflik regional yang lebih luas.
G7 juga menyerukan penyelesaian terhadap apa yang mereka sebut sebagai "krisis Iran" dan mendorong "deeskalasi yang lebih luas di Timur Tengah, termasuk gencatan senjata di Gaza." Konflik di Gaza, yang sudah berlangsung berbulan-bulan, menjadi salah satu perhatian utama dalam KTT tahun ini.
Namun, kehadiran Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada pertemuan itu tidak berlangsung penuh. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengatakan bahwa Trump tidak akan menghadiri hari kedua KTT G7 "karena situasi yang tengah berlangsung di Timur Tengah."
Sikap G7 terhadap Iran dan Israel juga menunjukkan kontras yang tajam dengan posisi China. Beijing, melalui Menteri Luar Negeri Wang Yi, mengecam keras serangan Israel terhadap Iran dan menyatakan kesiapannya untuk menjadi penengah perdamaian di kawasan tersebut.
Wang Yi telah berbicara langsung dengan para pemimpin Israel dan Iran, menyampaikan bahwa China siap "berperan konstruktif dalam meredakan situasi."
Langkah ini mencerminkan strategi jangka panjang Beijing untuk meningkatkan pengaruh diplomatiknya di Timur Tengah, sekaligus menyeimbangkan dominasi diplomatik Barat di wilayah itu.
Ekonomi RI Yakin Tumbuh 8%
Ekonom kenamaan Amerika Serikat (AS) Arthur Laffer mengatakan Indonesia punya kekuatan untuk tumbuh tinggi 8%. Laffer juga memberikan nasihat kepada Indonesia untuk memuluskan jalan perundingan dagang dengan Presiden AS Donald Trump.
Laffer menyatakan pendapatnya dalam acara CNBC Indonesia menggelar acara CNBC Economic Update 2025: Striving for Economic Growth Despite Global Uncertainty yang digelar di Hotel Borobudur, hari ini, Rabu (18/6/2025). Sebagai catatan, Laffer pernah menjabat sebagai penasihat ekonomi Presiden Ronald Reagan dan Presiden Donald Trump era 1.
Dalam acara ini, CNBC Indonesia turut menghadirkan tokoh-tokoh ekonomi penting, seperti Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani dan ekonom legendaris AS, Arthur Laffer.
Dalam paparannya, Dr. Arthur Laffer percaya bahwa Indonesia punya modal lengkap untuk melesatkan ekonominya hingga tumbuh 8% per tahun. Namun menurutnya, kunci utama bukan pada jumlah sumber daya, melainkan arah kebijakan pemerintah dan bagaimana pemerintah mengambil peran sebagai wasit, bukan pemain.
Lebih lanjut, Laffer menegaskan bahwa keberhasilan suatu negara bukan ditentukan oleh banyaknya proteksi, melainkan insentif dan kebijakan yang memungkinkan sektor swasta berkembang.
Ia menyebut prinsip lima kebijakan makroekonomi yang harus dijaga: pajak rendah dan luas, pengeluaran pemerintah yang efisien, stabilitas moneter, regulasi minimal, dan perdagangan bebas. "Setelah itu, biarkan rakyat yang bekerja. Pemerintah bukan aktor ekonomi, hanya wasit," tegasnya.
Sri Mulyani Wanti-Wanti Ketidakpastian Global Bisa Permanen
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sambutan dalam CNBC Indonesia Econmic Update 2025, Rabu (18/6/2025). Sri Mulyani melihat banyak negara besar dunia yang kini tak mempercayai lembaga keuangan multilateral.
Lembaga multilateral yang dimaksud seperti World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF), dan Bank Dunia. Menurutnya, ketidakpercayaan ini disebabkan kepentingan negara maju yang dianggap tidak mampu diwadahi oleh lembaga multilateral ini. Padahal institusi global ini sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan sengketa hingga permasalahan yang terjadi antar negara.
"Sehingga negara-negara kuat merasa that I have to solve my own problem without using those multilateral institution, ini lah yang disebut, unilateralism, atau dispute diselesaikan secara bilateral, " kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, ketidakpastian global yang terjadi saat ini bukan disebabkan permasalahan bencana alam, atau persoalan lainnya yang bersifat temporer. Melainkan yang terjadi saat ini adalah ketidakpastian yang disebabkan unilateralism."Kita menyaksikan ketidakpastian ini akan lebih permanen, karena nature dari ketidakpastian ini bukan sesuatu yang sifatnya temporer tapi yang sifatnya shifting yang sifatnya kemungkinan jangkanya menengah panjang," kata Sri Mulyani.
"Kalau AS melakukan unilateral tariff policy terhadap semua partner dagang, itu membentuk global governance yang baru," sambungnya.
Khamenei Tolak Permintaan Gencatan Senjata Tanpa Syarat
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menolak permintaan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menyerah tanpa syarat pada Rabu, sementara warga Iran memadati jalan raya keluar dari Teheran melarikan diri dari serangan udara Israel yang semakin intensif.
Dalam pidato rekaman yang disiarkan di televisi, penampilan pertamanya sejak Jumat lalu, Khamenei, 86 tahun, mengatakan bahwa orang-orang Amerika "harus tahu bahwa setiap intervensi militer AS sudah pasti akan disertai dengan kerusakan yang tak dapat diperbaiki."
"Orang-orang cerdas yang mengenal Iran, bangsa Iran, dan sejarahnya tidak akan pernah berbicara kepada bangsa ini dengan bahasa ancaman karena bangsa Iran tidak akan pernah menyerah," kata Khamenei, dikutip dari Reuters.
Trump telah berubah-ubah dari mengusulkan akhir diplomatik yang cepat atas perang tersebut menjadi menyarankan bahwa Amerika Serikat mungkin akan ikut terlibat. Dalam unggahan di media sosial pada Selasa, ia mengutarakan kemungkinan membunuh Khamenei, kemudian menuntut "PENYERAHAN TANPA SYARAT!" dari Iran.
Sebuah sumber yang akrab dengan diskusi internal mengatakan bahwa Trump dan timnya sedang mempertimbangkan opsi yang mencakup bergabung dengan Israel dalam serangan terhadap situs nuklir Iran.
(saw/saw)