
IMF Cut Pertumbuhan Ekonomi RI Cuma Jadi 4,7%, Investor Tunggu BI

Dari pasar saham AS bursa Wall Street kompak menguat pada Selasa atau Rabu dini hari waktu Indonesia. Saham menguat di tengah harapan meredanya ketegangan China dan AS.
Dow Jones Industrial Average naik 1.016,57 poin atau 2,66% dan ditutup di level 39.186,98. S&P 500 menguat 2,51% ke 5.287,76, sementara Nasdaq Composite naik 2,71% ke 16.300,42.
Kenaikan tajam ini dipicu oleh kabar bahwa Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengatakan kepada investor bahwa akan ada penurunan eskalas dalam perang dagang dengan China.
"Tidak ada yang berpikir status quo saat ini bisa terus berlanjut," katanya dalam pertemuan dengan investor yang diselenggarakan oleh JPMorgan Chase, menurut sumber yang hadir, dikutip dari CNBC International.
Pada titik tertingginya hari itu, Dow sempat naik lebih dari 1.100 poin, namun melemah menjelang penutupan setelah Bessent juga mengatakan butuh waktu 2-3 tahun untuk bernegoisasi.
"Jika kita keluar dari proses negosiasi dan menandatangani sesuatu dalam dua atau tiga tahun yang seperti ini, saya rasa itu adalah kemenangan besar." Imbuh Bessent.
Saham-saham yang berkaitan erat dengan Chinak ikut menguat. ETF iShares China Large-Cap (FXI) dan iShares MSCI China (MCHI) masing-masing naik sekitar 3%.
"Jelas sekali Bessent ingin mengirim sinyal melalui pernyataan itu. Sinyal bahwa mereka tahu kondisi ini menyakiti pasar dan mereka ingin menyelesaikannya secepatnya," kata Jed Ellerbroek, manajer portofolio di Argent Capital Management.
Dalam catatan mereka, analis strategi dari UBS menekankan bahwa pasar saham masih berpotensi mengalami penurunan lebih lanjut, tergantung pada dua skenario tarif yang dipertimbangkan.
"Skenario pertama mengasumsikan bahwa pemerintahan Trump akan menjalankan tarif sesuai pernyataan mereka yakni tarif universal 10%, ditambah tarif 145% untuk impor dari China, serta tarif sektoral tertentu. Skenario kedua masih mempertahankan tarif universal 10%, namun mengasumsikan penurunan tarif China menjadi 60%," tulis Bhanu Baweja, salah satu analis utama UBS.
Dalam kedua skenario tersebut, UBS meyakini bahwa pasar belum mencapai titik terendahnya.
"Kita mungkin sudah melewati puncak ketidakpastian tarif, namun kita masih berada di dataran tinggi dan ini akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan laba perusahaan, yang tampaknya belum sepenuhnya tercermin dalam harga saat ini. Valuasi juga kemungkinan akan turun lebih lanjut seiring memudarnya narasi 'keistimewaan' ekonomi AS," tambah Baweja.
Tim UBS memperkirakan bahwa pasar saham baru akan menyentuh dasar (bottoming) sekitar awal kuartal ketiga tahun 2025.
(tsn/tsn)