
Trump Beri Kabar Gembira: Wall Street Pesta, IHSG-Rupiah Bisa Terbang?

- Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam pada perdagangan kemarin, IHSG melemah sementara rupiah menguat
- Wall Street pesta pora setelah Trump melunak mengenai tarif
- Kebijakan tarif Trump akan menjadi sentimen utama penggerak pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam pada Rabu (9/4/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) stagnan, dan Surat Berharga Negara (SBN) kembali dilepas investor.
Pasar keuangan domestik diproyeksikan masih akan dipengaruhi oleh sentimen eksternal khususnya dari AS pada Kamis (10/4/2025). Selengkapnya mengenai proyeksi bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin, Rabu (9/4/2025 melemah 0,47% ke posisi 5.967,99. Hal ini membuat IHSG kembali berada di bawah level psikologis 6.000
Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitar Rp12,08 triliun dengan melibatkan 18,6 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,09 juta kali. Sebanyak 298 saham menguat, 307 saham melemah, dan 188 saham stagnan.
Sementara dari sisi investor asing, tampak net sell dalam jumlah yang cukup besar yakni Rp1,1 triliun di seluruh pasar.
Enam dari 11 sektor berada di zona merah dengan pelemahan yang paling dalam yakni sektor Basic Industry sebesar 3,07%, kemudian Cyclical yang turun 2,24%, dan sektor Energy yang tertekan 1,43%.
Sedangkan sektor Infrastructure dan Healthcare masing-masing ditutup di zona hijau dengan kenaikan sebesar 0,94% dan 0,78%.
IHSG pada awal perdagangan kemarin sempat dibuka meyakinkan dengan kenaikan lebih dari 1%, setelah hari sebelumnya turun 7,9%. Akan tetapi menjelang sesi I berakhir atau sekitar pukul 11.00 WIB, penguatan IHSG mulai terpangkas dan akhirnya menutup sesi I hingga sesi II di zona merah.
Penurunan IHSG tersebut seiring dengan tarif baru perang dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang resmi berlaku Rabu (9/4/2025) siang kemarin atau tepat jam 11:05 WIB. Tarif yang lebih tinggi dari tarif dasar 10% yang berlaku 5 April itu, dikenakan ke hampir dari 60 negara, termasuk RI.
Sebagian besar dikenai antara 11% hingga 50%. Tetapi China tiba-tiba mengalami kenaikan hingga 104% setelah pembalasan dendam dilakukan pemerintah Xi Jinping ke AS dilakukan, yang memicu kemarahan Trump.
Mengutip Reuters, beberapa ekonom telah memperingatkan bahwa pada akhirnya konsumen AS kemungkinan akan menanggung beban perang dagang, menghadapi harga yang lebih tinggi untuk segala hal mulai dari sepatu kets hingga anggur. Hampir tiga perempat orang Amerika memperkirakan harga barang-barang sehari-hari akan naik dalam enam bulan ke depan, menurut jajak pendapat Reuters/Ipsos yang baru.
Beralih ke pasar mata uang, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpantau stabil pada penutupan kemarin sebesar 0% dalam sehari ke posisi Rp16.860/US$, meskipun secara intraday sempat tertekan dan nyaris menyentuh level Rp17.000/US$.
Selanjutnya, beralih pada imbal hasil SBN yang bertenor 10 tahun terpantau naik cukup signifikan dari 7,084% menjadi 7,14%.
Perlu diketahui, hubungan yield dan harga pada SBN ini berbanding terbalik, artinya ketika yield naik berarti harga obligasi turun, hal ini menunjukkan investor cenderung untuk keluar dari pasar SBN untuk sementara waktu.
Pasar saham AS tampak melesat dengan sangat impresif di tengah persoalan tarif dagang Trump yang membuat pasar sangat volatil. Reli yang terjadi pada pasar saham AS ini terjadi usai Trump mengumumkan untuk menunda sebagian tarif "resiprokal" miliknya terhadap sejumlah negara, yang menyebabkan pasar yang sebelumnya berada di bawah tekanan berat selama sepekan terakhir melonjak tajam.
Indeks S&P 500 melonjak 9,52% dan ditutup di angka 5.456,90, menjadi kenaikan harian terbesar sejak tahun 2008. Bagi indeks pasar yang luas ini, itu adalah kenaikan terbesar ketiga dalam sejarah pasca-Perang Dunia II.
Dow Jones Industrial Average naik 2.962,86 poin atau 7,87% dan ditutup di angka 40.608,45, mencatatkan persentase kenaikan harian terbesar sejak Maret 2020. Nasdaq Composite melompat 12,16% ke level 17.124,97, menjadi lompatan harian terbesar sejak Januari 2001 dan hari terbaik kedua sepanjang sejarahnya.
Dilansir dari CNBC International, sekitar 30 miliar saham berpindah tangan, menjadikannya hari dengan volume perdagangan tertinggi dalam sejarah Wall Street, menurut catatan selama 18 tahun terakhir.
"Saya telah mengotorisasi PAUSE selama 90 hari, dan menurunkan secara signifikan Tarif Resiprokal menjadi 10% selama periode ini, yang juga berlaku segera," tulis Trump di platform Truth Social miliknya. Dalam unggahan yang sama, Trump juga mengatakan akan kembali menaikkan tarif terhadap China menjadi 125%.
a
Menteri Keuangan Scott Bessent kemudian mengklarifikasi bahwa semua negara, kecuali China, akan kembali ke tarif dasar 10%, turun dari tarif yang lebih tinggi yang sebelumnya mengguncang pasar, selama proses negosiasi berlangsung. Penundaan ini tidak berlaku untuk tarif sektor tertentu, ujar Bessent.
Saham-saham yang sebelumnya sangat tertekan akibat ketegangan perang dagang memimpin reli pada Rabu sore. Saham Apple dan Nvidia masing-masing melonjak lebih dari 15% dan hampir 19%. Saham Walmart naik 9,6%. Sementara itu, saham Tesla melonjak lebih dari 22% setelah pengumuman penundaan tersebut.
"Melihat betapa rendahnya harga saham dan sentimen pasar akhir-akhir ini, jeda 90 hari ini memicu rebound yang sangat tajam, dan penundaan implementasi tentu menghapus beban besar dari pasar," kata Adam Crisafulli, pendiri Vital Knowledge.
"Namun - tarif-tarif ini belum dihapus. Tarif terhadap China kini berada di angka tiga digit, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam 90 hari saat masa jeda ini berakhir."
Sentimen penggerak pasar keuangan domestik hari ini tampaknya masih datang dari eksternal khususnya perang dagang antara AS dengan China yang semakin bersitegang dan saling berbalas soal tarif impor yang dikenakan.
Di sisi lain, bank sentral AS (The Fed) juga telah menunjukkan hasil FFederal Open Market Committee (FOMC) Minutes yang berkeinginan untuk secara drastis memperlambat laju pengurangan neraca bulan lalu didukung oleh hampir semua peserta dalam pertemuan dua hari tersebut.
FOMC Minutes
Pada dini hari tadi, The Fed merilis hasil risalah yang berisi soal keputusan The Fed untuk secara drastis memperlambat laju pengurangan neraca bulan lalu.
Keputusan tersebut diambil setelah pemaparan dari manajer akun terbuka sistem The New York Fed, yang menjelaskan alasan untuk memperlambat pengurangan neraca di tengah ketidakpastian terkait seberapa cepat Kongres akan menaikkan plafon utang pemerintah federal.
"Manajer mencatat bahwa baik menghentikan sementara atau cukup memperlambat pengurangan neraca akan memberikan perlindungan yang berarti" terhadap kemungkinan cadangan bank sentral turun dengan cepat setelah masalah plafon utang terselesaikan.
Dalam pertemuan kebijakan pada 18-19 Maret tersebut, bank sentral menyatakan akan menurunkan batas maksimum pelepasan surat utang pemerintah AS dari sebelumnya US$25 miliar per bulan menjadi US$5 miliar mulai bulan ini, sementara tetap mempertahankan batas US$35 miliar untuk pelepasan obligasi hipotek yang selama ini sulit dipenuhi.
Perlambatan dalam apa yang disebut pengetatan kuantitatif (quantitative tightening/QT) ini sudah diperkirakan secara luas. Hampir berhentinya QT memungkinkan The Fed menghadapi periode ketidakpastian pasar uang akibat masalah pengelolaan kas pemerintah di tengah pembatasan hukum terhadap pinjaman pemerintah.
Perlambatan QT ini ditentang oleh Gubernur The Fed, Christopher Waller, yang kerap skeptis terhadap penggunaan kepemilikan surat berharga oleh The Fed sebagai alat kebijakan.
Tujuan The Fed dengan QT adalah menarik likuiditas dari sistem keuangan dalam jumlah yang cukup agar volatilitas suku bunga jangka pendek kembali normal dan untuk menjaga kendali ketat atas suku bunga federal funds-alat utama bank sentral dalam mempengaruhi perekonomian.
Para pejabat sedang mencari sinyal dari pasar mengenai seberapa banyak likuiditas yang bisa mereka tarik dengan aman tetapi karena Departemen Keuangan tengah bergulat dengan masalah plafon utang, sinyal-sinyal itu menjadi kabur.
Tanpa adanya isu plafon utang, kemungkinan besar The Fed akan melanjutkan QT secara penuh. Dalam pernyataannya bulan lalu setelah pertemuan FOMC, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa indikasi pasar menunjukkan "jumlah cadangan masih melimpah."
Masalah batas utang ini, jika tidak ada tindakan cepat dari Kongres, kemungkinan akan terus berlangsung dalam waktu dekat.
Bulan lalu, Kantor Anggaran Kongres (Congressional Budget Office) mengatakan bahwa kemampuan pemerintah untuk mengelola kas tanpa menambah utang diperkirakan akan habis pada Agustus atau September.
Trump Tunda Tarif yang Lebih Tinggi Selama 90 Hari
Hal positif tampaknya akan terefleksi bagi pasar keuangan domestik usai Trump mengumumkan untuk menunda tarif yang lebih tinggi selama 90 hari untuk sebagian besar negara, sebuah pembalikan mengejutkan dalam perang dagangnya yang telah mengguncang pasar secara drastis.
Dalam sebuah unggahan di platform X sekitar pukul 13:30 waktu setempat, Trump menulis bahwa ia mengambil keputusan tersebut karena lebih dari 75 mitra dagang tidak melakukan pembalasan dan telah menghubungi AS untuk "membahas" beberapa isu yang telah ia angkat sebelumnya.
Namun, penundaan tersebut tidak berlaku untuk China, yang telah melakukan pembalasan-dengan menaikkan tarif hingga 84%. Sebaliknya, Trump justru menaikkan tarif untuk negara tersebut menjadi 125%, berlaku segera.
"Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China terhadap Pasar Dunia, saya dengan ini menaikkan Tarif yang dikenakan kepada China oleh Amerika Serikat menjadi 125%, berlaku segera. Pada suatu titik, semoga dalam waktu dekat, China akan menyadari bahwa hari-hari menipu AS, dan negara-negara lain, tidak lagi dapat dipertahankan ataupun diterima." tulis Trump.
Namun, perang dagang ini belum sepenuhnya berakhir, dan penundaan tersebut tidak mengembalikan dunia ke situasi sebelum Trump memicu ketidakstabilan global; tarif 10% secara menyeluruh tetap diberlakukan.
Untuk Kanada dan Meksiko, barang-barang yang tercakup dalam perjanjian perdagangan AS-Kanada-Meksiko tetap bebas tarif, sementara produk yang tidak termasuk dalam kesepakatan tersebut akan dikenakan tarif 25%. Produk energi dan pupuk dari Kanada akan dikenakan tarif 10%.
Belum jelas negara mana saja yang termasuk dalam kebijakan penundaan ini; pihak Gedung Putih tidak memberikan keterangan. Sebelumnya pada Rabu, Uni Eropa telah memberikan suara untuk memberlakukan tarif balasan baru, namun tarif tersebut baru akan berlaku minggu depan.
Sementara itu, tarif terpisah untuk mobil, baja, dan aluminium impor akan tetap diberlakukan, kata Menteri Keuangan Scott Bessent kemudian. Sementara tarif yang direncanakan untuk produk seperti kayu dan obat-obatan masih akan diberlakukan.
Laju IHK China
Pada pagi hari ini, China akan merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang sebelumnya tampak deflasi baik secara bulanan maupun tahunan.
Harga konsumen di China turun sebesar 0,7% secara tahunan (year-on-year) pada Februari 2025, melebihi perkiraan pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 0,5% dan membalikkan kenaikan 0,5% yang terjadi pada bulan sebelumnya. Ini merupakan deflasi konsumen pertama sejak Januari 2024, di tengah melemahnya permintaan musiman setelah Festival Musim Semi yang berlangsung pada akhir Januari.
Secara bulanan, Indeks Harga Konsumen (CPI) turun 0,2%, berubah arah dari kenaikan tertinggi dalam 11 bulan sebesar 0,7% di bulan Januari dan menjadi penurunan pertama sejak November tahun lalu. Penurunan ini juga lebih dalam dari perkiraan konsensus yang memperkirakan penurunan hanya 0,1%.
Sementara konsensus pada hari ini memperkirakan akan terjadi inflasi secara tahunan untuk China meskipun secara bulanan masih diperkirakan akan mengalami deflasi.
Situasi ini mencerminkan kondisi negara China yang masih suffer dengan perekonomiannya yang melambat. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan terjadi dampak negatif bagi Indonesia yang merupakan mitra dagangnya.
Inflasi Amerika
Amerika Serikat (AS) akan merilis data IHK baik secara tahunan maupun bulanan pada hari ini.
Sebelumnya pada Februari 2025, laju inflasi tahunan di AS melambat menjadi 2,8% atau lebih rendah jika dibandingkan dengan periode Januari yang tercatat sebesar 3%, dan berada di bawah perkiraan pasar sebesar 2,9%.
Apabila data inflasi kali ini kembali melandai, hal ini akan menjadi memperkuat untuk The Fed dalam memangkas suku bunga acuannya. Ketika hal ini terjadi, maka indeks dolar AS (DXY) berpotensi mengalami depresiasi dan rupiah berpeluang mengalami penguatan.
Pemerintah Tarik Utang Rp 250 Triliun
Pemerintah sudah merealisasikan penarikan utang baru senilai Rp 250 triliun dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Penarikan utang baru untuk pembiayaan anggaran itu sudah sebesar 40,6% dari target defisit. Sedangkan realisasi defisit APBN per akhir Maret 2025 senilai Rp 104,2 triliun, atau 0,45% dari PDB. Nilai defisit itu baru 16,9% dari target yang telah ditetapkan dalam APBN 2025.
"Kita akan tetap menjaga APBN dan terutama utang dan juga defisit kita secara tetap prudent, transparan, hati-hati," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Realisasi pembiayaan anggaran yang senilai Rp 250 triliun per akhir Maret 2025 itu jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tiga bulan pertama pada tahun anggaran 2024 yang hanya sebesar Rp 85,6 triliun. Memang, target pembiayaan anggaran pada 2024 sedikit lebih kecil, yaitu hanya Rp 522,8 triliun.
Adapun rincian pembiayaan anggaran alias gali lubang tutup lubang per 31 Maret 2025 itu berasal dari penarikan utang senilai Rp 270,4 triliun dikurangi dengan pembiayaan non utang sebesar Rp 20,4 triliun.
Defisit APBN per Maret 2025 mencapai Rp 104,2 triliun per akhir Maret 2025, atau setara 0,43% dari produk domestik bruto (PDB).
Angka itu sudah sekitar 16,9% dari target defisit anggaran pendapatan dan belanja negara pada 2025 yang senilai Rp 616,2 triliun atau setara 2,53% dari PDB.
Kita akan tetap menjaga APBN dan terutama utang maupun defisit secara tetap prudent, transparan," kata Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Defisit APBN itu berasal dari pendapatan negara yang baru senilai Rp 516,1 triliun atau 17,2% dari target tahun ini Rp 3.005,1 triliun, dan belanja negara Rp 620,3 triliun atau 17,1% dari target Rp 3.621,3 triliun.
Pendapatan negara itu sendiri terdiri dari realisasi Penerimaan Perpajakan yang sebesar Rp 400,1 triliun, atau setara 16,1% dari target 2025 Rp 2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 115,9 triliun atau 22,6% dari target Rp 513,6 triliun.
Sedangkan penerimaan perpajakan yang berasal dari Penerimaan Pajak sebesar Rp 322,6 triliun per akhir Maret 2025 atau 14,7% dari target Rp 2.189,3 triliun, serta Kepabeanan dan Cukai Rp 77,5 triliun, setara 25,7% dari target Rp 301,6 triliun.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Laju Inflasi China (08:30 WIB)
- Laju Inflasi AS (19:30 WIB)
- U.S. Initial & Continuing Jobless Claims (19:30 WIB)
- Universitas Paramadina menggelar diskusi dengan tema: "Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia"
- PTBA akan mengumumkan hasil kinerja laporan keuangan kuarta lIV-2024 dan tahun penuh 2024
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Pemberitahuan RUPS Rencana PT Champ Resto Indonesia Tbk (ENAK)
- Pemberitahuan RUPS Rencana 31-12-2024 PT Avia Avian Tbk (AVIA)
- Pemberitahuan RUPS Rencana 31-12-2024 Jasa Angkasa Semesta Tbk (JASS)
- Pemberitahuan RUPS Rencana 31-12-2024 PT Brigit Biofarmaka Teknologi Tbk (OBAT)
- tanggal DPS Dividen Tunai PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP)
- tanggal ex Dividen Tunai PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN)
- tanggal cum Dividen Tunai PT Temas Tbk (TMAS)
- tanggal cum Dividen Tunai PT Nusantara Sejahtera Raya Tbk (CNMA)
- tanggal cum Dividen Tunai PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev) Next Article Maaf, Belum Ada Kabar Baik! Investor Mesti Waspada Hari Ini
