
Semua Mata Tertuju ke Thamrin, Sanggupkah BI Bangkitkan IHSG & Rupiah?

Pasar keuangan Tanah Air akan menghadapi super Wednesday yang menentukan kebijakan suku bunga yang akan diumumkan dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Jepang, Amerika Serikat (AS), China, sampai Inggris.
Dari dalam negeri, utamanya pada siang hari ini para pelaku pasar akan menanti kabar penting dari Bank Indonesia (BI) terkait kebijakan moneter-nya. Dan, berlanjut pada Kamis dini hari menanti hasil FOMC Meeting the Fed.
Menarik dicermati bagaimana pandangan BI terkait proyeksi ekonomi global dan nasional terkini, serta prospek kebijakan moneter di tengah kondisi pasar yang kemarin diguncang ke zona merah.
Berikut rincian sentimen yang akan berpengaruh pada pasar hari ini :
Dilema Suku Bunga BI, Bakal Ditahan Lagi atau Siap Pangkas?
Pergerakan pasar saham yang kemarin turun signifikan membuka harapan sikap Bank Indonesia (BI) akan melunak untuk menurunkan suku bunga, supaya likuiditas kembali mengalir dan menjadi daya ungkit bagi pasar modal.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) yang diselenggarakan di Gedung BI di kawasan MH Thamrin pada Selasa dan Rabu pekan ini (18-19 Maret 2025) menjadi salah satu yang menjadi perhatian yakni suku bunga (BI rate) di tengah gejolak yang ada saat ini.
Sebelumnya, BI rate ditahan pada Februari 2025 di level 5,75%. Hal ini sesuai dengan proyeksi dari berbagai lembaga/institusi.
Meskipun ada peluang turun, hanya ada tiga lembaga yang memperkirakan BI Rate dipangkas ke 5,50%.
Dari 17 lembaga/institusi secara mayoritas memberikan proyeksi bahwa BI tampaknya akan menahan suku bunganya di level 5,75% pada bulan ini.
Bulan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa alasan ditahannya suku bunga acuan ini karena upaya dalam menjaga agar perkiraan inflasi 2025 dan 2026 tetap terkendali dalam sasaran yang ditetapkan pemerintah yaitu 2,5 plus minus 1%.
Tidak hanya soal menjaga inflasi, Perry juga mengungkapkan bahwa kondisi rupiah yang stabil di tengah ketidakpastian global yang tinggi dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Ke depan BI terus mencermati prospek inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga BI Rate dengan mempertimbangkan pergerakan nilai tukar rupiah," jelas Perry saat konferensi pers RDG bulan lalu.
Penantian Suku Bunga the Fed
Selain suku bunga BI, pelaku pasar akan menanti hasil kebijakan moneter dari bank sentral Amerika Serikat (AS) yang akan diumumkan pada Rabu siang waktu AS. Untuk waktu Indonesia, hasilnya akan didapatkan pada Kamis besok sekitar pukul 02.00 dini hari.
Berdasarkan CME Fed Watch Tool, pelaku pasar kini memproyeksikan suku bunga the Fed akan tetap dipertahankan pada pertemuan pekan ini dengan peluang mencapai 99%.
Beberapa bank sentral dari negara lain juga akan ikut meramaikan momen menanti rilis kebijakan moneter terbaru, seperti Jepang, Inggris, dan China.
Sejauh ini, pasar menilai bahwa suku bunga masih akan ditahan dalam jangka waktu dekat karena kekhawatiran soal tarif Trump yang belum jelas bisa diukur terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana diketahui, Trump baru-baru ini berulah lagi dengan penetapan tarif baja dan alumunium, kemudian merambah sampai Uni Eropa. Aksi balas-balasan tarif juga dilakukan negara mitra dagang-nya seperti Kanada dan China.
OECD Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Jadi 4,9% di 2025
Sentimen berikutnya, datang dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini menjadi 4,9% pada 2025.
Proyeksi ini terungkap dalam laporan terbaru OECD Economic Outlook, Interim Report March 2025 'Steering to Uncertainty' yang dirilis 17 Maret 2025.
Adapun, dalam laporan OECD pada Desember 2024, Indonesia masih diperkirakan tumbuh 5,2% pada 2025. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ini sejalan dengan disrupsi ekonomi di beberapa negara berkembang lainnya, terutama yang masuk ke dalam kelompok G20. Kendati demikian, OECD melihat perlambatan ekonomi di Indonesia tidak akan sesignifikan China.
"Perlambatan tersebut diproyeksikan tidak terlalu terasa di India dan Indonesia, dengan kedua ekonomi tersebut mengalami beberapa dukungan untuk pertumbuhan ekspor karena mereka menarik bisnis baru yang dialihkan dari negara-negara pengekspor yang menghadapi kenaikan tarif yang lebih tajam," tulis OECD dalam laporannya, dikutip Selasa (18/3/2025).
Selain itu, OECD memperkirakan inflasi Indonesia akan berada di angka 1,8% pada 2025. Angka tersebut lebih rendah 0,4% daripada proyeksi OECD pada Desember 2024. Adapun, tahun depan, OECD melihat inflasi RI akan mencapai 2,8%.
"Jalur inflasi yang diproyeksikan secara umum lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya, dengan dampak pertumbuhan yang lebih lambat diimbangi oleh penggabungan data baru dan dampak inflasi bertahap dari kenaikan tarif," kata OECD.
OECD memperkirakan Inflasi utama di G20 akan dari 5,3% pada tahun 2024, menjadi 3,8% pada tahun 2025 dan 3,2% pada tahun 2026. Sementara itu, inflasi inti di negara-negara maju G20 diproyeksikan menjadi 2,7% pada tahun 2024, 2,6% pada tahun 2025 dan 2,4% pada tahun 2026.
Sri Mulyani Dipastikan Tak Mundur Dari Kabinet
Sejauh ini sentimen positif pasar memang masih minim, tetapi ada satu kabar yang setidaknya melegakan pelaku pasar terkait isu miring dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikabarkan mau hengkang dari kabinet ternyata palsu.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco buka suara perihal isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dari jajaran Kabinet Merat Putih.
Sejumlah analis pasar mengatakan isu mundurnya Sri Mulyani menjadi sentimen anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
"Kalau ditanya persepsi investor luar saya kurang paham, tapi kalau soal Ibu Sri Mulyani, saya pastikan tidak akan mundur dan fiskal kita kuat," tegas Dasco, di Gedung BEI, Selasa (18/3/2025).
IHSG Hancur, Sanggupkah Bangkit?
Trading halt diberlakukan kembali ke IHSG pada perdagangan kemarin, Selasa (18/3/2025) setelah sebelumnya sempat terjadi pada era pandemi Covid-19 pada Maret 2020.
Sebagai informasi, pada sepuluh menit pertama pembukaan perdagangan hari ini, IHSG dibuka ke posisi 6.394,87 atau turun 1,19% (-77 poin).
IHSG kemudian anjlok 5,02% ke level 6.146 pada pukul 11:19 WIB sehingga perdagangan dihentikan sementara.
IHSG kembali dibuka pada pukul 11.49 WIB tetapi langsung terjun bebas turun 6% ke 6.084.
IHSG kemudian anjlok lebih dari 7% lebih ke di 6018,39. IHSG sedikit menguat kemudian dan ditutup pada posisi 6076,081 atau melemah 6,12% pada perdagangan sesi I.
IHSG akhirnya mampu membaik dan ditutup melemah 3,84% ke level 6.223,39. Bila dibandingkan dengan sesi I, koreksi IHSG sedikit terpangkas.
sejumlah analis membeberkan koreksi dalam IHSG ini terjadi karena derasnya aksi jual yang mencerminkan panic selling dari para investor. Sementara analis lainnya menyebut penyebab pasar saham lesu hingga siang ini adalah isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Meski demikian, analis sepakan penurunan dalam IHSG hari ini masih terikat dan ikut terseret dari penurunan peringkat pasar saham RI oleh Morgan Stanley dan Goldman Sachs beberapa waktu yang lalu. Penurunan peringkat ini mencerminkan kekhawatiran investor global terhadap prospek ekonomi dan valuasi pasar saham Indonesia.
Awal pekan lalu, bank Investasi dan pengelola aset global Goldman Sachs menurunkan peringkat dan rekomendasi atas aset keuangan di Indonesia. Penurunan ini terjadi karena perusahaan yang bermarkas di New York tersebut memperkirakan adanya peningkatan risiko fiskal atas sejumlah kebijakan dan inisiatif yang dipilih oleh Presiden Prabowo Subianto.
Goldman menurunkan peringkat saham RI dari overweight menjadi market weight. Lebih lanjut, Goldman juga menurunkan rekomendasi atas surat utang yang diterbitkan BUMN tenor 10 sampai 20 tahun menjadi netral. Sebelumnya, surat utang BUMN menjadi salh satu aset yang paling ramai diburu oleh manajer investasi global.
Penurunan peringkat ini memperparah aksi jual asing di bursa saham domestik. Tercatat asing membukukan aksi jual bersih Rp 849 miliar kemarin, Rp 3,12 triliun dalam sepekan, Rp13,7 triliun dalam sebulan, Rp 24 triliun sejak awal tahun, Rp 26,8 triliun dalam tiga bulan dan Rp 57,8 triliun dalam enam bulan terakhir.
Konferensi pers OJK respons kebijakan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menggelar konferensi pers menanggapi guncangnya pasar market kemarin. Menarik disimak apakah OJK akan memberlakukan kebijakan baru untuk mengantisipasi persoalan serupa, termasuk revisi trading halt.
Menarik disimak pula bagaimana OJK akan memulihkan investor, terutama asing, untuk kembali ke pasar modal.
(tsn/tsn)