Kekhawatiran resesi itu datang bukan tanpa sebab, ada beberapa hal yang mempengaruhi itu.
Pertama datang dari proyeksi ekonomi AS pada kuartal pertama tahun ini akan terkontraksi 2,4% secara kuartalan, menurut model GDP Atlanta Now. Proyeksi itu sudah memperhitungkan efek tarif trump ke China, Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa, di mana empat wilayah itu menyumbang 60% atas ekspor AS.
Kedua, kepercayaan konsumen terus turun. Menurut data yang dihimpun Tradingeconomics, keyakinan konsumen AS yang dikeluarkan Universitas Michigan pada Maret 2025 terkontrakasi menjadi 57,9 dari bulan sebelumnya 64,7.
Posisi itu menandai tiga bulan penurunan dan terendah sejak November 2022. Seiring dengan itu, yang ketiga ada kekhawatiran soal tingkat pengangguran meningkat dan pembukaan lapangan kerja turun.
Apalagi, Trump melakukan deportasi massal untuk para imigran yang berpeluang membuat labour shortage, ditambah efisiensi dengan PHK pegawai pemerintahan yang dilakukan Departement Efisiensi di bawah Elon Musk.
Yang keempat ada risiko kredit macet yang melonjak di AS. Melansir Financial Times, pada akhir tahun lalu mencatat gagal bayar pinjaman kartu kredit AS mencapai level tertinggi level krisisi 2008.
Retail Sales AS - Menanti Keputusan The Fed
Masih dari negeri Paman Sam, pada pekan ini pasar akan mengalihkan fokus terkait data ekonomi lain seperti retail sales dan keputusan yang paling dinanti soal kebijakan moneter bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Sebelumnya, pertumbuhan retail sales AS berada di 4,2% yoy, tetapi belanja konsumen AS mulai menunjukkan pelemahan akibat suku bunga tinggi yang berkepanjangan.
Jika data kali ini lebih lemah dari ekspektasi, ini bisa jadi sinyal bahwa The Fed semakin dekat dengan pemangkasan suku bunga. Sebaliknya, jika angka retail sales masih kuat, The Fed mungkin tetap bertahan di level suku bunga tinggi lebih lama, yang bisa berdampak negatif bagi risk asset seperti saham sampai pasar kripto.
Meski begitu, proyeksi pasar kini melihat suku bunga the Fed akan dipertahankan lagi pada pertemuan pekan ini. Berdasarkan alat prediksi CME FedWatch, peluang suku bunga tetap bertahan di level saat ini mencapai 97%.
Manajer portofolio di Globalt Investments Thomas Martin juga mengatakan "Kami ingin melihat suku bunga tetap stabil, karena kenaikan suku bunga akan menunjukkan bahwa The Fed kehilangan kendali. Jika The Fed mengumumkan pemangkasan suku bunga tetapi pasar justru bereaksi sebaliknya, itu bisa menjadi indikasi hilangnya kepercayaan," tambah Martin.
Seputar Data China dan Potensi Balasan Tarif
Pada pekan ini, ada sejumlah data dari sang Naga Asia yang juga dinanti pelaku pasar, mulai dari tingkat pengangguran dan penjualan ritelpada hari ini, Senin (17/3/2025), , pengumuman soal suku bunga pada Kamis (19/3/2025), sampai rencana balasan tarif Trump.
Merujuk laman penghimpun data Trading Economics, tingkat pengangguran China adiproyeksi kan tetap berada di 5,1%, sementara penjualan ritel diperkirakan naik jadi 4% dari sebelumnya 3,7%.
Sementara itu untuk suku bunga akan tetap dipertahankan di level yang sama seperti bulan lalu. Suku bunga kredit tenor 1 tahun di 3,1% dan tenor 5 tahun di 3,6%.
Lalu, pada 20 Maret mendatang kabarnya China akan memberlakukan tarif baru pada produk pertanian dan makanan asal Kanada 100% atau senilai lebih dari US$ 2,6 miliar.
Indonesia : Menanti SULNI - Neraca Dagang - RDG BI
Beralih ke dalam negeri, terpantau akan banyak agenda rilis data juga, mulai dari statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) oleh Bank Indonesia (BI) dan negara perdagangan, pada hari ini, Senin (17/3/2025) sampai penantian suku bunga pada RDG BI pekan ini yakni Rabu (19/3/2025).
Posisi utang luar negeri ini cukup penting diperhatikan, apalagi setelah pekan lalu Goldman Sach menurunkan rating pada obligasi tenor 10 tahun dan 20 tahun Indonesia dan penerimaan pajak selama dua bulan pertama tahun ini anjlok signifikan.
Beralih ke data berikutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data neraca perdagangan Indonesia periode Februari 2025 pada Senin (17/3/2025).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Februari 2025 akan mencapai US$2,08 miliar dengan median ekspor sebesar 6,81% year on year/yoy dan impor sebesar 1,2% yoy.Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan Januari 2025 yang mencapai US$3,45 miliar.
Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 58 bulan beruntun sejak Mei 2020.
Berikutnya, pada tengah pekan ini, Rabu (19/3/2025), Bank Indonesia akan mengumumkan hasil kebijakan moneter terbaru.
BI diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga di 5,75% pada bulan ini. Namun, pelaku pasar akan mencermati lebih jauh bagaimana pandangan BI terhadap kondisi ekonomi terkini dan intervensi-nya terhadap stabilisasi nilai tukar rupiah.
Rebalancing indeks FTSE
Sentimen lainnya datang dari FTSE Russell yang sudah mengumumkan hasil tinjauan semi annual untuk FTSE Global Equity Index Series Asia Pacific.
Hasil rebalancing itu akan efektif pada penutupan 21 Maret 2025. Dengan demikian, indeks FTSE bakal resmi mengalami perubahan sejak perdagangan 24 Maret 2025.
Patut diantisipasi, pergerakan sejumlah saham yang keluar dari indeks itu karena potensi mengguncang pasar saham lebih lanjut. Meskipun tidak setajam penurunan ketika akhir Februari lalu yang bertepatan dengan cut off date rebalancing MSCI edisi Maret.
Sebagai informasi, saham yang dikeluarkan dari kategor large cap dan mid cap ada PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), di kategori small caps ada PT Global Mediacom Tbk (BMTR), sementara yang masuk ada PT Hermina Tbk (HEAL) dan PT MNC Digital Entertainment Tbk (MSIN).