Musim Dividen Tiba, Semoga Bisa Redam Efek Amukan Trump & Defisit APBN

Pasar keuangan Tanah Air diperkirakan akan kembali volatile di akhir perdagangan pekan ini. Sentimen dari tekornya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga meningkatnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Kanada usai seruan Presiden AS Donald Trump untuk menaikkan impor baja dan aluminium menjadi 50%.
Ambruknya Wall Street juga dikhawatirkan menular ke pasar global, termasuk IHSG.
APBN Tekor Pertama Kalinya
Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir Februari 2025 tercatat defisit Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit per Februari ini adalah yang pertama dalam empat tahun terakhir.
Pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun. Komponen terbesar adalah pajak yang mencapai Rp187,8 triliun dan bea cukai Rp52,6 triliun.
Sementara itu, belanja negara dalam dua bulan pertama adalah Rp348,1 triliun atau 9,6% dari target APBN. Pemerintah pusat menghabiskan Rp211,5 triliun dan transfer daerah Rp136,6 triliun.
Defisit APBN per Februari tahun ini berbanding terbalik dengan tiga tahun sebelumnya di mana pada periode tersebut masih mencatat surplus. Defisit ini menunjukkan besarnya ketergantungan Indonesia terhadap harga komoditas.
Sebagai catatan, Indonesia mendapatkan berkah lonjakan harga komofditas sejak 2022 atau setelah meletusnya perang Rusia-Ukraina.
Perang membuat harga batu bara, nikel hingga minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbang. Harga komoditas mulai menuju normalisasi pada 2023.
Anjloknya penerimaan pajak ini menjadi kabar buruk karena bisa berimbas pada pelaksanaan belanja serta pengelolaan utang. Bila penerimaan pajak terus menurun bukan tidak mungkin pemerintah akan kembali memangkas anggaran atau menambah utang. Kondisi ini bisa membebani APBN dan ekonomi Indonesia.
Sri Mulyani Akui Efek Trump Rugikan Rupiah Hingga Surat Utang RI
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti efek kebijakan Presiden Donald Trump terhadap nilai tukar rupiah dan keuangan negara. Sri Mulyani mengaku executive order dari Presiden Amerika Serikat (AS) ini telah menimbulkan gejolak di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Efeknya di Tanah Air terasa signifikan di nilai tukar rupiah yang melemah menjadi Rp 16.162 per dolar AS pada akhir tahun 2024, setelah Trump dilantik.
"Gejolak ini dirasakan seluruh dunia dan ini terefleksikan dalam kurs rupiah untuk sampai akhir Februari end period ytd Rp 16.309 per dolar AS," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Maret 2025, Kamis (13/3/2025).
Selain rupiah, efek Trump juga terasa di yield SBN seiring dengan panasnya perang dagang antara AS, China, Kanada dan Meksiko. Kendati demikian, Sri Mulyani mengaku posisi Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara lain.
"Pada 2024, ytd yield kita 6,8% untuk SBN 10 tahun dan end of periodnya di 7%," paparnya.
Tahun ini, dia memperkirakan asumsi yield SBN sebesar 7%. Adapun, realisasi di akhir Februari sebesar 6,8% dan 6,98% secara year to date (ytd).
Resesi AS Semakin Nyata
Potensi resesi Amerika Serikat (AS) semakin nyata. Alarm baru perlambatan kini muncul, bahkan peluangnya bisa 50%.
Kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump akan semakin merusak pertumbuhan ekonomi AS. Bahkan, langkah-langkahnya bisa meningkatkan risiko resesi tahun ini.
Menurut JP Morgan, ada sekitar 40% kemungkinan terjadinya resesi AS pada tahun 2025, bahkan ke depan, jika tarif berlaku sepenuhnya, peluang resesi AS bisa mencapai 50%.
Sebenarnya di awal tahun, JP Morgan sempat memperkirakan risiko resesi AS sebesar 30%. Tapi, mereka memperingatkan jika "tarif timbal balik" yang diusulkan Trump pada mitra dagang utama mulai berlaku pada bulan April, risikonya dapat meningkat lebih jauh, bahkan merusak daya tarik negara itu sebagai tempat untuk berinvestasi.
Sebelumnya, JPMorgan memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh sebesar 2% untuk tahun 2025. Namun proyeksi tersebut hanya awal dan belum direvisi.
Sementara itu pekan lalu, Goldman Sachs dan Morgan Stanley telah menurunkan proyeksi pertumbuhan mereka menjadi masing-masing 1,7% dan 1,5% untuk tahun ini. Awal pekan sebelumnya, estimasi model GDPNow dari Atlanta Fed untuk pertumbuhan tahunan pada kuartal saat ini juga dikoreksi menjadi negatif (-) 2,8%, dari positif (+) 2,3%.
Perlu diketahui, langkah-langkah tarif Trump yang luas telah mengguncang pasar saham AS. Pasalnya, investor berjuang untuk menentukan apakah pungutan tersebut bersifat permanen atau taktik negosiasi.
Pada bulan Februari, Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif pada mitra dagang utama guna melindungi kepentingan Amerika. Minggu lalu, ia menaikkan tarif untuk semua impor dari Meksiko dan Kanada menjadi 25% dan menggandakan bea masuk untuk semua barang China menjadi 20%, sebelum menunda beberapa kenaikan hingga 2 April.
Trump mengancam akan memberlakukan rezim tarif timbal balik global, dengan memperingatkan bahwa mulai 2 April. Intinya setiap negara akan menghadapi pungutan yang sama seperti yang dikenakan pada barang-barang AS.
Rabu kemarin, tarif 25% untuk impor baja dan aluminium juga mulai berlaku. UE dan Kanada menanggapi dengan tarif timbal balik, hal yang sama juga akan dilakukan China.
Trump sendiri dalam sebuah wawancara di Fox News Minggu, menolak menanggapi kemungkinan resesi, melainkan menyebutnya "masa transisi". Ia berjanji membawa kembali kejayaan AS.
Sekutu AS Ngamuk Atas Tarif Trump
Perang dagang yang ditabuh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memanas. Kini, ramai-ramai sekutu Washington melawan dan mengumumkan tindakan balasan ke Trump.
Hal ini terkait impor baja dan aluminium yang mulai berlaku 12 Maret kemarin. AS memberlakukan pungutan 25% tanpa pandang bulu, meluas dari targetnya semula Kanada, Meksiko dan China.
Uni Eropa (UE) misalnya dengan cepat meluncurkan tarif balasan yang memukul sekitar US$28 miliar (sekitar Rp 460 triliun) barang AS secara bertahap. Kebijakan akan berlaku mulai April.
Kepala Komisi Eropa Ursula von der Leyen menegaskan bahwa pembalasan memengaruhi berbagai produk. Mulai dari bourbon hingga sepeda motor.
Sementara Kanada mengumumkan pungutan tambahan atas US$20,7 miliar produk Amerika per hari ini. Negeri itu sangat terekspos dengan pungutan Trump, yang diyakini memukul barang mulai dari komputer hingga peralatan olahraga.
Menurut catatan terbaru oleh kepala ekonom EY Gregory Daco, Kanada memasok sekitar setengah dari impor aluminium AS. Untuk baja, angkanya sekitar 20%.
Meski begitu, perdana menteri (PM) terpilih Kanada Mark Carney mengaku siap untuk bernegosiasi dengan Trump. Ia berharap ada perjanjian perdagangan yang diperbarui.
Di sisi lain, tetangga RI, PM Australia Anthony Albanese juga mengecam tarif Trump. Sebelumnya Trump memberikan indikasi bahwa tarif ini tak akan diterapkan kepada Australia lantaran dalam neraca dagang keduanya, AS mencetak surplus.
Kanselir Jerman Olaf Scholz, kepala ekonomi terbesar dan berorientasi ekspor di Eropa, juga mengecam langkah Washington. Ia menyebutnya "salah" dan memperingatkan akan meningkatnya inflasi.
Selain Kanada, Brasil dan Meksiko juga merupakan pemasok utama baja AS, sementara Uni Emirat Arab (UEA) dan Korea Selatan (Korsel) termasuk di antara penyedia aluminium. Namun belum ada pernyataan dari keduanya soal pembalasan kebijakan Trump.
Dalam perkembangan terbaru, pada Kamis, Trump berencana untuk memberlakukan tarif 200% pada alkohol dari Prancis dan negara-negara Eropa lainnya.
Tarif AS ini datang setelah Uni Eropa bergerak untuk mengembalikan pajak impor pada whiskey Amerika.
"Uni Eropa, salah satu otoritas pemungut pajak dan tarif yang paling bermusuhan dan merugikan di dunia, yang dibentuk untuk tujuan tunggal memanfaatkan Amerika Serikat, baru saja memberlakukan tarif 50% yang kejam pada Whisky. Jika tarif ini tidak segera dihapus, AS akan segera memberlakukan tarif 200% pada semua Produk anggur, sampanye & alkohol yang datang dari Prancis dan negara-negara yang mewakili oleh Uni Eropa. Ini akan sangat menguntungkan bagi bisnis Anggur dan Sampanye di AS," kata Trump di Truth Social.
Indeks Harga Produsen AS dan Klaim Pengangguran AS
Indeks harga produsen (PPI)AS stagnan atau 0% (mtm) tetapi secara tahunan (yoy) melandai ke 3,2% pada Februari 2025 dari 3,7% pada Januari 2025.
PPI ini adalah yang terendah dalam tujuh bulan terakhir. Harga jasa mengalami pelemahan paling tajam yakni 0,2% (mt,). Harga juga turun untuk ritel makanan dan alkohol, ritel mobil, pakaian, alas kaki, dan aksesori, grosir bahan kimia, serta pinjaman real estate perumahan.
Secara tahunan, PPI yang melanda ke 3,2% ini adalah yang terendah dalam tiga bulan terakhir. Laju PPI di bawah ekspektasi pasar yakni 3,3%.
Sementara itu, laju PPI inti (mtm) tercatat kontraksi 0,1%yang menjadi koreksi pertama dalam tujuh bulan. Secara tahunan, PPI inti juga melandai ke 3,4% atau terendah dalam empat bulan terakhir.
Melandainya PPI ini semakin menegaskan kekhawatiran investor mengenai memburuknya ekonomi AS.
Klaim pengangguran di Amerika Serikat turun sebanyak 2.000 menjadi 220.000 pada minggu pertama Maret, terendah dalam tiga minggu. Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar yang memperkirakan angka ini akan naik menjadi 225.000, tetap berada pada level rendah secara historis di awal bulan.
Musim Dividen Dimulai
Beberapa emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebentar lagi akan membagikan dividen dari laba tahun buku 2024, bersamaan dengan momentum pembagian Tagihan Hari Raya (THR).
Sederet emiten ini rata-rata sudah memberikan kisi-kisi atau usulan terkait dividen yang akan dibagikan. Diantaranya ada PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) PT Astra International Tbk (ASII) dan PT XL Axiata Tbk (EXCL).
Dari enam emiten itu, BBCA yang paling awal sudah memutuskan kebijakan dividen pada RUPSnya. Hasilnya, bank swasta terbesar di RI itu akan membagikan dividen tunai sebanyak Rp300 per lembar, angka ini naik 11,1% dibandingkan tahun sebelumnya
Namun, perlu dicatat bahwa dividen final itu sudah termasuk dari dividen interim yang sudah dibagikan Desember 2024 lalu sebesar Rp50 per lembar. Jadi, sisa yang akan dibagikan bulan ini hanya sebesar Rp250 per lembar.
PT Astra International Tbk. (ASII) berencana akan membagikan dividen dari tahun buku 2024 sebesar Rp 308 per saham.
Sementara itu, beberapa di antaranya telah memberikan sinyal dividen jumbo. Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan bahwa rasio pembagian dividen tahun buku 2024 bank pelat merah itu diharapkan berada di kisaran 80% hingga 85%.
Menurutnya, BRI memiliki permodalan yang sangat lebih dari cukup untuk membagikan dividen jumbo. Posisi rasio kecukupan modal (CAR) bank di level 26%.
Terpisah, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar memperkirakan rasio pembagian dividen dari laba tahun buku 2024 akan berada pada rentang 55% hingga 60%.
Persentase itu lebih tinggi jika dibandingkan realisasi rasio dividen tahun 2023 sebesar 50% dari total laba bersih atau senilai Rp10,45 triliun. Namun, Royke juga menegaskan bahwa keputusan akhir terkait besaran dividen berada di meja RUPS.
Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Sigit Prastowo mengatakan bahwa dividend payout ratio atau rasio dividen dalam 5 tahun terakhir dijaga pada level 60%. "Ini sesuai arahan Kementerian BUMN sebagai pemegang saham utama," katanya.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi juga mengatakan bahwa setidaknya rasio dividen dari laba tahun buku 2024 akan serupa dengan dividen laba tahun buku 2023. "Nggak ada perubahan. Kinerja Mandiri bagus, jadi paling tidak sama dengan tahun lalu untuk rasionya," ujarnya.
Adapula, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) mengungkapkan rencana untuk membagikan dividen Tahun Buku 2024 pada 2025, dengan perkiraan dividend payout ratio berada di kisaran 20%-25% dari total laba.
