Awas Ada 2 Tamparan Bagi Investor, Pasar Keuangan RI di Ujung Tanduk?
- Pasar keuangan RI ada di ujung tanduk karena sentimen negatif hari ini
- Pertama, Indonesia diperkirakan mengalami deflasi untuk lima bulan beruntun. Artinya daya beli masyarakat masih lemah
- Kedua, The Fed mengisyaratkan tidak akan buru-buru kembali pangkas suku bunga
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata investor tertuju kepada pengumuman pergerakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan kinerja manufaktur Indonesia karena terkait dengan daya beli masyarakat. Diketahui kedua indikator tersebut melemah pada beberapa bulan terakhir, jika terus berlanjut dikhawatirkan akan melemahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Anda dapat membaca hasil konsensus analis dan ekonom oleh Tim Riset CNBC Indonesia untuk proyeksi IHK dan kinerja manufaktur di halaman tiga.
Jika hasilnya kembali terjadi deflasi dan manufaktur Indonesia tetap berada di zona kontraksi, maka akan membuat pasar keuangan RI berada dalam risiko ditinggalkan investor. Hal ini sudah mulai terjadi dan membuat pasar keuangan memiliki kinerja negatif pada perdagangan kemarin, Senin (30/9/2024).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambruk lebih dari 2% pada akhir perdagangan Senin (30/9/2024). Hingga akhir perdagangan, IHSG ambruk 2,2% ke posisi 7.527,93. IHSG terkoreksi ke level psikologis 7.500.
Nilai transaksi indeks mencapai sekitar Rp 15,8 triliun dengan melibatkan 24 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak 202 saham menguat, 383 saham melemah dan 216 saham cenderung stagnan.
Hampir seluruh sektor terkoreksi kecuali sektor transportasi, bahan baku, dan kesehatan yang masih mampu menguat masing-masing 1,57%, 0,25% dan 0,02%.
Sedangkan dari sektor yang terkoreksi, energi menjadi yang paling parah dan membebani IHSG paling besar yakni mencapai 2,11%.
IHSG yang ambruk terjadi di tengah investor asing yang masih terus melepas saham-saham di RI. Hingga perdagangan akhir pekan lalu, terpantau asing sudah melepas sebanyak Rp 1,16 triliun di pasar reguler.
Bahkan sepanjang pekan lalu, asing tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) hingga mencapai Rp 4,31 triliun di pasar reguler.
Asing yang terus melepas saham-saham RI terjadi setelah adanya kabar bahwa pemerintah China akan memberikan stimulus ekonomi untuk beberapa sektor industri.
Dengan adanya kabar ini, maka asing cenderung mengalihkan investasinya dari sebelumnya di Indonesia ke China, karena sektor-sektor di China masih cukup menarik di tambah dengan biaya-biaya yang tergolong murah karena pelonggaran kebijakan ekonomi.
Investor juga cenderung wait and see menanti rilis data ekonomi terbaru Indonesia, salah satunya yakni data inflasi periode September 2024.
Sementara itu, nilai tukar rupiah alami koreksi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir Refinitiv, mata uang RI ditutup di angka Rp15.135/US$ pada perdagangan hari ini, Senin (30/9/2024), melemah 0,1% dari penutupan sebelumnya (27/9/2024).
Selain karena sikap wait and see para investor, rupiah melemah dipengaruhi oleh arus modal asing yang keluar dari pasar domestik semakin memperburuk posisi rupiah.
Berdasarkan data transaksi Bank Indonesia (BI) pada periode 23 hingga 26 September 2024, investor asing tercatat melakukan aksi jual neto sebesar Rp9,73 triliun.
Outflow ini didorong oleh optimisme terhadap stimulus ekonomi di China, yang menarik minat investor asing ke pasar keuangan negara tersebut.
Investor asing tercatat menjual neto sebesar Rp2,88 triliun di pasar saham dan Rp1,30 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), serta Rp5,55 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Dengan meningkatnya ketidakpastian global dan keluarnya modal asing, tekanan terhadap rupiah terus membesar.
Kendati sepanjang tahun 2024 investor asing masih mencatatkan pembelian neto di pasar saham dan SBN, aksi jual dalam beberapa pekan terakhir membuat sentimen negatif terus membayangi pergerakan rupiah.
(ras/ras)