
Awas Ada 2 Tamparan Bagi Investor, Pasar Keuangan RI di Ujung Tanduk?

Pasar keuangan Indonesia akan menghadapi tantangan berat dan rawan terjatuh pada perdagangan hari ini karena deflasi diperkirakan masih akan berlanjut dan kinerja manufaktur.
Sementara itu, kepala bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve atau The Fed mengatakan tidak akan terburu-buru dalam kebijakan suku bunga karena ekonomi yang masih kuat.
Siap-siap Deflasi Lima Bulan Beruntun
Indonesia diperkirakan akan mengalami deflasi untuk bulan kelima secara berturut turut pada periode September 2024.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan IHK September 2024 diperkirakan turun atau mengalami deflasi 0,035% secara bulanan (month to month/mtm).
Sembilan dari 12 instansi memperkirakan secara bulanan masih akan tercatat deflasi yang tak jauh berbeda dengan periode sebelumnya yang terpantau deflasi 0,03%. Jika hal ini kembali terjadi, maka Indonesia akan mengalami deflasi lima bulan beruntun.
Sedangkan IHK secara tahunan (year on year/yoy) diperkirakan melandai di bawah level 2% atau tepatnya 1,975%. Angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi Agustus 2024 yang sebesar 2,12% yoy.
Jika nantinya terjadi deflasi lagi maka ini akan menjadi catatan terburuk bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Jika IHK kembali mencatat deflasi pada September 2024 maka artinya Indonesia akan membukukan deflasi lima bulan beruntun. Sebelumnya, Indonesia juga sudah mencatat deflasi pada Mei (-0,03%), Juni (-0,08%), Juli (-0,18%), dan Agustus (-0,03%).
Deflasi empat bulan berturut-turut secara bulanan ini pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir. Artinya, selama Era Reformasi, Indonesia baru mengalami deflasi empat bulan beruntun. Jika deflasi berlanjut pada September 2024 maka catatan ini menegaskan kondisi tahun ini memang tak biasa.
Sebagai catatan, pada 1999 deflasi pernah terjadi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%).
Perlu dicatat jika kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang carut-marut karena krisis pada 1997/1998.
Deflasi ini memicu kekhawatiran karena bisa menjadi sinyal melemahnya daya beli masyarakat. Terlebih, secara historis, Indonesia lebih kerap mencatat inflasi.
Kepala ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, memperkirakan Indonesia masih akan mengalami deflasi pada September 2024. Deflasi ditopang oleh melandainya harga pangan hingga Bahan Bakar Minyak (BBM).
"Harga beras cenderung stabil, sedangkan pangan lain masih mengalami deflasi namun dengan penurunan yang lebih kecil daripada bulan lalu seperti daging ayam, daging sapi, telur, bawang putih & merah," tutur Andry kepada CNBC Indonesia.
Deflasi terbesar terlihat di harga cabai merah dan cabai rawit, masing-masing 12% (mom) dan 8% (mom).
Senada dengan Andry, ekonom Bank Danamon Hosianna Situmorang memperkirakan Indonesia masih akan mengalami deflasi.
"Meski berpotensi masih melanjutkan deflasi, namun secara bulanan deflasinya kita perkirakan semakin menipis, seiring pantauan data konsumsi masyarakat yang sudah inflection ke arah perbaikan," ujarnya.
Dia menambahkan daya beli masyarakat juga membaik seiring berkurangnya dampak biaya pendidikan dan anak sekolah.
Sebaliknya, ekonom Bank Maybank Indonesia, Juniman memperkirakan IHK akan naik atau mengalami inflasi. Kondisi ini dipicu kenaikan harga perhiasan emas, biaya pendidikan, dan rokok. Sementara itu, harga makanan cenderung naik, terutama untuk minyak goreng, daging sapi, telur, bawang, dan bawang putih, namun harga beberapa komoditas seperti beras, daging ayam, cabai, paprika merah, dan kedelai cenderung turun.
PMI Manufaktur Masih di Zona Kontraksi
Kinerja manufaktur RI yang dirilis oleh S&P Global Manufacturing diperkirakan masih berada di zona kontraksi.
Berdasarkan konsensus dari TradingEconomics, PMI Manufaktur RI diperkirakan berada di 49,5.
Untuk diketahui, PMI manufaktur menggambarkan aktivitas industri pada sebuah negara. Bila aktivitas manufaktur masih kencang maka itu bisa menjadi pertanda jika permintaan masih tinggi sehingga ekonomi cerah.
Namun berbeda halnya jika PMI manufaktur mengalami penurunan yang mengindikasikan jika permintaan cenderung rendah dan berdampak pada perekonomian yang terganggu termasuk tenaga kerja.
Data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan. Oleh karena itu, negara dengan PMI manufaktur lebih dari 50 dianggap memiliki industri/manufaktur yang berjalan dengan baik/ekspansif. Ekonomi diperkirakan akan menanjak.
Sementara jika nilai PMI manufaktur kurang dari 50, maka aktivitas manufaktur sedang tidak baik atau dalam kategori kontraksi.
Aktivitas manufaktur Indonesia jatuh dan terkontraksi ke 48,9 pada Agustus 2024. Artinya, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama dua bulan beruntun yakni pada Juli (49,3) dan Agustus.
PMI juga terus memburuk dan turun selama lima bulan terakhir. PMI anjlok dari 54,2 pada Maret 2024 dan terus anjlok hingga Agustus 2024.
Jerome Powell: Jangan Buru-buru Turunkan Suku Bunga
Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan pada hari Senin bahwa bank sentral AS kemungkinan akan terus menerapkan penurunan suku bunga sebesar seperempat persen ke depannya dan tidak "terburu-buru" setelah data baru meningkatkan kepercayaan terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pengeluaran konsumen.
"Komite ini tidak merasa perlu terburu-buru untuk menurunkan suku bunga dengan cepat," kata Powell dalam konferensi Asosiasi Nasional untuk Ekonomi Bisnis, meskipun Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), yang mengatur kebijakan, memulai siklus pelonggarannya dengan pemotongan suku bunga sebesar setengah persen yang lebih besar dari perkiraan pada pertemuan 17-18 September.
"Kami akan melakukan apa yang diperlukan terkait kecepatan kami bergerak," kata Powell, dalam upaya menjaga inflasi bergerak menuju target 2% Fed sambil mempertahankan tingkat pengangguran yang rendah.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell menyatakan pada hari Senin bahwa bank sentral AS kemungkinan akan terus menerapkan penurunan suku bunga sebesar seperempat persen ke depannya dan tidak "terburu-buru" setelah data baru meningkatkan kepercayaan terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pengeluaran konsumen.
"Komite ini tidak merasa perlu terburu-buru untuk menurunkan suku bunga dengan cepat," kata Powell dalam konferensi Asosiasi Nasional untuk Ekonomi Bisnis, meskipun Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), yang mengatur kebijakan, memulai siklus pelonggarannya dengan pemotongan suku bunga sebesar setengah persen yang lebih besar dari perkiraan pada pertemuan 17-18 September.
"Kami akan melakukan apa yang diperlukan terkait kecepatan kami bergerak," kata Powell, dalam upaya menjaga inflasi bergerak menuju target 2% Fed sambil mempertahankan tingkat pengangguran yang rendah.
Namun, terkait diskusi apakah bank sentral AS mungkin menyetujui penurunan besar lainnya untuk mengimbangi penurunan cepat inflasi sejak tahun lalu, Powell mengatakan dasar saat ini adalah dua penurunan suku bunga sebesar seperempat persen hingga akhir tahun ini, seperti yang diindikasikan dalam proyeksi ekonomi terbaru para pembuat kebijakan yang dirilis bulan lalu.
"Jika ekonomi berkembang sesuai yang diharapkan, itu berarti dua kali lagi pemotongan" hingga akhir tahun, dengan total penurunan sebesar setengah persen lagi, katanya kepada hadirin di Nashville, Tennessee.
Komentarnya sangat bergantung pada keyakinan terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yang didukung oleh revisi data baru-baru ini yang meningkatkan perkiraan pendapatan, pengeluaran, dan tabungan, serta menunjukkan pendapatan domestik bruto (GDI) tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan.
Revisi pada laporan pemerintah tentang GDI telah menghilangkan "risiko penurunan bagi ekonomi dan menunjukkan bahwa pengeluaran dapat terus berada pada tingkat yang sehat," kata Powell.
GDI adalah ukuran alternatif pertumbuhan ekonomi, mirip dengan produk domestik bruto (PDB), tetapi menggunakan pendapatan daripada output sebagai tolok ukur. Kesenjangan antara keduanya sempat membuat pejabat Fed khawatir bahwa output mungkin lebih lemah dari yang diperkirakan, namun keduanya akhirnya bertemu ketika perkiraan GDI ditingkatkan.
Ekonomi "dalam kondisi baik," kata Powell.
(ras/ras)