
Investor Dunia dan RI Menggantungkan Nasib ke Dua Orang Ini

Ada dua sentimen yang menjadi perhatian utama investor pada perdagangan pasar keuangan hari ini. Pertama adalah kebijakan suku bunga Bank Indonesia dan The Fed.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) diselenggarakan pada hari ini hingga besok, Selasa dan Rabu (17-18 Agustus 2024). Salah satu yang ditunggu adalah kebijakan suku bunga (BI rate) yang diproyeksikan pasar masih akan ditahan di level saat ini meski sudah mulai ada suara untuk BI memangkas suku bunganya.
BI rate terakhir kali dinaikkan pada April 2024 dan ditahan pada pertemuan Mei hingga Agustus di level 6,25% atau empat bulan terakhir.
Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 17 lembaga/institusi mayoritas memproyeksikan bahwa BI masih akan menahan suku bunganya di level 6,25%. Sementara terdapat dua institusi yang memperkirakan BI akan menurunkan suku bunganya sebesar 25 (basis poin/bps) kali ini menjadi 6,00%.
Sebelumnya pada 21 Agustus lalu, BI rate diputuskan tetap di level 6,25%. Suku bunga Deposit Facility sebesar 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 7,00%.
Head of Equity Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro memperkirakan suku bunga BI akan dipangkas sebesar 25 bps pada Rabu ini menjadi 6,0%, diikuti dengan pelonggaran kebijakan kumulatif sebesar 50 bps pada kuartal keempat 2024 untuk membawa suku bunga BI menjadi 5,5% pada akhir tahun.
Sebagai catatan, terakhir kali BI memangkas suku bunga adalah pada Januari 2021 dari 3,75% menjadi 3,50%.
"Kami berpendapat bahwa BI memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan karena beberapa faktor: penurunan harga minyak, deflasi domestik, data global yang lemah khususnya dari China, dan (yang paling penting) potensi kejutan dovish dari Fed AS," ujar Satria dalam analisanya.
Satria menilai bahwa harga minyak anjlok dengan signifikan sejak pertemuan moneter BI terakhir pada Agustus 2024. Selain itu, deflasi empat bulan beruntun (month to month/mtm) dari Mei-Agustus 2024 disebabkan karena penurunan harga pangan yang akan menekan inflasi tahunan.
Merujuk data Refinitiv, harga minyak brent ambruk 5,7% dalam sebulan terakhir sepanjang September ini dan menurun 1,52% pada Agustus 2024.
Untuk diketahui, inflasi Indonesia secara tahunan telah berada di level 3% sejak Mei 2024. Pada saat itu, inflasi sudah bergerak ke level 2,84%, dan terus konsisten turun hingga Agustus 2024 bertengger di level 2,12%. Inflasi mendekati kisaran bawah target BI di 3±1%.
Ekonom Ciptadana Sekuritas Asia, Renno Prawira masih memperkirakan bahwa BI akan kembali menahan suku bunganya karena tiga faktor utama.
Pertama, yield spread obligasi pemerintah Indonesia terhadap AS untuk tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 3%, masih di bawah rata-rata historis 10 tahun terakhir sebesar 4,8%.
Kedua, neraca transaksi berjalan Indonesia mencatat defisit pada kuartal I dan II 2024, sehingga BI kemungkinan akan mempertahankan suku bunga untuk menarik aliran modal masuk (capital inflow). Jika BI menurunkan suku bunga lebih awal dibandingkan The Fed, dikhawatirkan hal ini dapat memicu arus keluar modal (capital outflow).
Ketiga, dalam pernyataan terakhirnya, Gubernur BI menegaskan pentingnya penguatan rupiah untuk mengendalikan inflasi yang disebabkan oleh impor (imported inflation).
Namun ia tidak menampik bahwa pada Oktober 2024, BI berpeluang menurunkan suku bunganya jika The Fed mulai menurunkan suku bunganya bulan ini dan mengingat tren PMI Manufaktur yang terus menurun dan mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut.
Ekspektasi penahanan suku bunga bulan ini dan terbukanya potensi pemangkasan suku bunga BI pada Oktober ini juga disampaikan oleh Ekonom Indo Premier Sekuritas Luthfi Ridho, Presiden Direktur Samuel Aset Manajemen Agus Yanuar, dan Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega Ralph Birger Poetiray.
Keputusan Bank Indonesia saat ini dan ke depan dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga The Fed, yang diperkirakan akan memangkas su bunga pada pertemuan bulan ini.
Pada Kamis (19/9/2024) dini hari waktu Indonesia, bank sentral AS (The Fed) akan merilis hasil Federal Open Meeting Committee (FOMC) termasuk suku bunga acuan The Fed dan Summary Economic Projections (SEP) yang berisi dot plot matrix.
Pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin. Sebagai catatan, pemangkasan terakhir yang dilakukan The Fed terjadi pada Maret 2020. Saat itu, suku bunga dipangkas mendekati nol untuk mendukung ekonomi AS selama pandemi COVID-19.
Sebagai catatan, survei CME FedWatch Tool hingga saat ini pelaku pasar berekspektasi bahwa The Fed akan 100% memangkas suku bunga acuannya antara 25 basis poin (bps) atau 50 bps.
Hal ini sangat diharapkan pelaku pasar mengingat data inflasi produsen dan konsumen yang terus melandai, inflasi PCE yang sudah cukup rendah, hingga data ketenagakerjaan AS khususnya laju pengangguran yang tampak cukup tinggi.
Dari data tenaga kerja, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan klaim awal untuk tunjangan pengangguran mingguan untuk periode pekan yang berakhir 7 September 2024 naik 2.000 menjadi 230.000 yang disesuaikan secara musiman.
Sementara itu dari data inflasi, Indeks harga produsen (PPI) untuk permintaan akhir naik 0,2% pada Agustus, dibandingkan dengan estimasi pertumbuhan 0,1%. Angka inti, yang tidak memperhitungkan harga pangan dan energi yang fluktuatif, naik 0,3%, lebih tinggi dari perkiraan 0,2%.
Meski begitu, data inflasi konsumen atau indeks harga konsumen (CPI) AS periode Agustus yang rilis Rabu lalu menunjukkan hasil baik. Dalam basis tahunan tumbuh 2,5%, lebih baik dari ekspektasi yang berharap tumbuh 2,6% dari bulan sebelumnya 2,9%.
Laju inflasi yang secara keseluruhan telah melandai ini setidaknya meredakan kondisi pasar tenaga kerja yang mengecewakan pekan lalu dan ekspektasi pasar terhadap resesi ekonomi.
Untuk diketahui, saat ini suku bunga The Fed berada di level 5,25-5,50%. Jika The Fed benar-benar memangkas suku bunganya, hal ini cenderung disambut positif oleh pelaku pasar khususnya dalam jangka panjang.
(ras/ras)