10 Tahun APBN Jokowi

10 Tahun Jokowi: Kemiskinan & Pengangguran Masih Jadi Penyakit Kronis

Revo M, CNBC Indonesia
15 August 2024 11:05
INFOGRAFIS, Anggaran Triliunan “Tiga Kartu Sakti” Jokowi
Foto: Infografis/ Tiga Kartu Sakti Jokowi/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemiskinan dan pengangguran masih menghantui Indonesia selama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Upaya menekan pengangguran dan kemiskinan tak bisa bergerak lebih cepat dari target pemerintah.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 disebutkan pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan di Indonesia sekitar 6-7% dan kemiskinan ekstrem mendekati 0% pada 2024.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada Maret 2014, jumlah orang miskin sebanyak 28,28 juta orang dengan tingkat kemiskinan 11,25%.

Per Maret 2024, angka kemiskinan terus mengalami penurunan menjadi 25,22 juta orang dengan tingkat kemiskinan 9,03%. Artinya, angka kemiskinan masih jauh di atas target RPJMN.

Jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 3,06 juta orang atau turun sekitar 2,22 poin persentase dalam sepuluh tahun terakhir dan secara rata-rata jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 300 ribu orang per tahun.

Jumlah kemiskinan tingkat nasional ini pun terlihat dari tingkat wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan.

Persentase penduduk miskin di perkotaan pada Maret 2014 sebesar 8,34% dan menurun menjadi 7,09% pada Maret 2024.

Sementara persentase penduduk miskin di perdesaan pada Maret 2014 sebesar 14,17% dan menurun menjadi 11,79% pada Maret 2024.

Begitu pula tingkat kemiskinan ekstrem yang turun cukup tajam dari 7,9% pada 2014 menjadi 0,83% pada Maret 2024.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, capaian ini merupakan bukti komitmen pemerintah dalam upaya menurunkan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem. Dia menyampaikan, pihaknya terus berupaya mengejar supaya target penurunan bisa mendekati target, yang ditentukan oleh Presiden Jokowi.

Muhadjir pun menuturkan bahwa berbagai upaya dan intervensi akan terus diperkuat dan dipercepat oleh pemerintah dalam beberapa bulan ke depan untuk mencapai target di 2024.

 

Pemerintah telah melakukan 3 strategi utama, yaitu: Penurunan beban pengeluaran; Peningkatan Pendapatan dan; Pengurangan kantong-kantong kemiskinan yang berjalan secara konvergen dan terintegrasi. Hal ini dilakukan sebagai wujud nyata untuk melindungi kelompok-kelompok rentan agar tidak jatuh ke jurang kemiskinan dan mendapatkan akses kebutuhan dasar yang setara.

Salah satu upaya yang cukup jelas terlihat yakni munculnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem telah ditetapkan pada tanggal 8 Juni 2022.

Inpres Nomor 4 Tahun 2022 telah mengamanatkan kepada 22 (dua puluh dua) Kementerian, 6 (enam) Lembaga, dan Pemerintah Daerah (Gubernur/Bupati/Wali Kota) untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing untuk melakukan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Kendati berbagai upaya hingga saat ini telah dilakukan diikuti dengan tingkat kemiskinan yang terus menurun, namun ketergantungan pemerintah terhadap program bantuan sosial (bansos) dan subsidi untuk menuntaskan kemiskinan mendapat kritikan dari sejumlah ekonom.

Ekonom menilai ketergantungan ini membuat penurunan tingkat kemiskinan makin lambat 10 tahun terakhir dibandingkan 10 tahun sebelumnya. Hal ini mengingat bansos dan subsidi bersifat sementara alias tidak berkelanjutan. Bansos dan subsidi dianggap sebagai penopang, sementara kebijakan yang mengarah pada pengentasan kemiskinan masih minim.

Ekonom senior dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, semakin sulit turunnya tingkat kemiskinan itu disebabkan banyak hal. Salah satunya ialah sudah terlalu dalamnya tingkat kemiskinan di Indonesia. Disebabkan acuan level garis kemiskinan yang tak pernah diubah pemerintah sesuai standar internasional.

Pada basis perhitungan baru, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 per orang per hari. Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem ada di angka US$1,90, dan angka ini yang masih menjadi acuan di Indonesia.

Di sisi lain, Wijayanto mengatakan, pemerintah selama ini terlalu mengandalkan pada program bantuan sosial atau bansos dan subsidi untuk menangani kemiskinan di Indonesia. Padahal, bansos dan subsidi idealnya diberikan pada saat masa krisis saja. Hal ini untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat pada program yang sifatnya sebatas santunan.

Senada dengan Wijayanto, Ekonom Senior & Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Ryan Kiryanto juga mengatakan hal serupa. Menurut dia program bansos memang tidak cocok untuk menjadi alat untuk menangani kemiskinan. Program itu hanya sementara menjaga daya beli masyarakat.

"Tidak hanya cukup diberikan ikan nya, tapi jauh lebih penting bagaimana memberikan kail, sehingga mengedukasi masyarakat lapis bawah untuk mau bergerak naik dan mereka bosan untuk selalu peroleh santunan, tentu mereka ingin naik kelas," ucap Ryan.

Bukan hanya soal kemiskinan, tingkat pengangguran di Indonesia relatif tidak banyak berubah meskipun secara jumlah orang menganggur terus menurun dalam satu dekade terakhir.

Pada Februari 2014, tercatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia sebesar 5,7% dan menurun menjadi 4,82% pada Februari 2024.

Sementara jumlah pengangguran di Indonesia pada periode yang sama justru naik dari 7,15 juta orang menjadi 7,2 juta orang.

Hal yang perlu diketahui dari tingkat pengangguran di Indonesia berdasarkan definisi BPS yakni angka tingkat pengangguran terbuka merupakan persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.

Sementara itu, setengah penganggur sebagai pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan. Sedangkan, pekerja informal adalah orang-orang yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tak dibayar.

Wijayanto juga mengkritik bahwa TPT yang menurun tidak mengartikan apa-apa. Pasalnya definisi pengangguran BPS sangat longgar, yakni mereka yang dalam seminggu terakhir bekerja minimal satu jam, baik dibayar maupun tidak dianggap bekerja. Jika definisi pengangguran itu disesuaikan menjadi bekerja 35 jam dalam seminggu dan dibayar seperti definisi di berbagai negara, maka tingkat pengangguran di Indonesia ia klaim bisa mencapai 31,07%.

Wijayanto juga menyampaikan bahwa proporsi pekerja informal pada 2023 mencapai 60,12% dari total penduduk bekerja. Padahal, pada 2019 hanya sebesar 57,27%. Saat periode 2014, data jumlah pekerja informal juga masih sebesar 59,81% dan sisanya adalah pekerja formal.

Banyaknya pekerja informal menunjukkan banyaknya angkatan kerja yang tidak bisa diserap oleh lapangan kerja. Pekerja informal ini menjadi rentan karena mereka tidak memiliki besaran penghasilan yang pasti, banyak yang tidak dilindungi oleh asuransi, dan akan kesulitan mencari akses keuangan untuk modal ataupun mengajukan kredit lainnya.

Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan turunnya pengangguran Indonesia saat ini banyak ditopang oleh lapangan kerja informal. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan di pabrik banting setir mencari pekerjaan menjadi supir taksi/ojek online atau di e-commerce.

"Mungkin sekarang ojol atau e-commerce segala macam ini which is fine orang bisa dapat duit di situ tapi prospek nya kan beda antara yang formal dan informal. Kalau formal bisa naik gaji, naik karir, tapi kalau informal gimana?" tutur Barra, kepada CNBC Indonesia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation