10 Tahun Berkuasa, Jokowi Hanya Sanggup Penuhi Janji Ini

mae, CNBC Indonesia
12 August 2024 06:15
Harga Beras Masih Mahal, Ini Perintah Jokowi ke Menteri!
Foto: Infografis/Harga Beras Masih Mahal, Ini Perintah Jokowi ke Menteri!/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia- Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disambut dengan gegap gempita serta semangat untuk memperbaiki ekonomi secara masif. Namun, data menunjukkan sebaliknya.

Jokowi memimpin Indonesia sejak Oktober 2014 atau kuartal III-2014. Menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi kerap disimbolkan sebagai "new hope" untuk Indonesia.
Harapan tersebut diwujudkan Jokowi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang ambisius, terutama asumsi makro.
Sebagai catatan, Jokowi baru bisa merancang APBN sesuai keinginannya pada 2015 karena selama Oktober-Desember 2014 dia hanya meneruskan APBN 2014 yang dirancang pemerintahan sebelumnya.

Namun, data-data menunjukkan target asumsi makro era Jokowi lebih banyak meleset dibandingkan yang sesuai target. Padahal, asumsi makro merupakan fondasi utama dalam merancang APBN.

Asumsi makro sendiri dibangun dari tujuh target yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga minyak, lifting minyak, lifting gas, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN), dan nilai tukar.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan selama periode 2014-2023, hampir semua asumsi meleset dari target. Asumsi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, dan lifting minyak adalah yang paling kerap melenceng.

Berikut perbandingan target dan realisasi asumsi makro selama 10 tahun pemerintahan Jokowi (2014-2023)



Target Pertumbuhan Hampir Selalu Meleset

Sejak periode pertama pemerintahan Jokowi 2014 hingga 2023, realisasi pertumbuhan ekonomi hampir selalu di bawah target yang ditetapkan dalam APBN. Selama 10 tahun era Jokowi, pemerintah hanya mampu memenuhi target pertumbuhan ekonomi satu kali yakni pada 2022. Rata-rata pertumbuhan ekonomi di era Jokowi bahkan hanya 4,2%, jauh di bawah ambisinya yakni 7%.

Pada 2015, di mana tahun tersebut menjadi tahun pertama Jokowi memerintah secara penuh, pertumbuhan ekonomi bahkan meleset jauh dari targetnya. Target pertumbuhan ditetapkan sebesar 5,7% tetapi realisasinya hanya 4,79%.

Pada 2020, melesetnya target pertumbuhan ataupun asumsi makro bisa dipahami mengingat ada pandemi Covid-19. Pada tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 5% tetapi realisasinya terkontraksi 2,07%.

Target pertumbuhan ekonomi 2024 yang ditetapkan 5,2% pun kembali terancam tidak tercapai. Ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,08% sepanjang semester I-2024.

Tak hanya pertumbuhan, realisasi asumsi nilai tukar juga kerap lebih lemah dari target. Realisasi nilai tukar yang lebih lemah dibandingkan target terjadi pada 2014, 2015, 2018, 2020,2022-2023l. Kondisi ini menunjukkan jika pergerakan nilai tukar rentan terhadap guncangan global.

Pada periode 2014-105, misalnya, rupiah tertekan karena ketidakpastian ekonomi global yang dipicu pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat. Pada 2018, nilai tukar rupiah sangat tertekan oleh dampak perang dagang AS-China, pada 2020 oleh dampak pandemi sementara pada 2022-2023 rupiah tertekan hebat oleh fenomena super dollar.

Pada 2023, rata-rata nilai tukar rupiah anjlok ke Rp 15.255/US$1 atau jauh lebih lemah dari yang ditetapkan dalam APBN yakni Rp 14.800/US$1. Faktor utamanya adalah kebijakan hawkish bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).

Asumsi harga minyak Indonesia (ICP) lebih kerap lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam asumsi. Realisasi harga minyak pada 2022 bahkan jauh di atas yang ditetapkan hingga membuat anggaran subsidi BBM bengkak.

Realisasi Lifting Minyak dan Gas Kian Menyedihkan

Realisasi lifting minyak dan gas sangat mengecewakan karena hampir selalu di bawah target bahkan menunjukkan penurunan yang sangat drastis.

Pada 2017, realisasi lifting minyak masih menembus 829.000 barel per hari tetapi angkanya anjlok menjadi 607.500 barel per hari pada 2023. Target lifting minyak 1 juta per hari kini pun seperti mimpi.
Sementara itu, lifting gas anjlok menjadi 0,999 juta barel setara minyak per hari (BPOEPD).

Semakin jebloknya asumsi lifting minyak dan gas menjadi alarm bahaya karena ada risiko semakin besarnya ketergantungan impor BBM dan gas ke depan.

Inflasi Melandai Tapi Penuh dengan Catatan

Dari tujuh asumsi makro yang ditetapkan dalam APBN 2023, keberhasilan terbesar pemerintahan Jokowi ada di inflasi dan imbal hasil surat utang. Dalam 10 tahun terakhir, hanya dua kali realisasi inflasi di atas asumsi yang ditetapkan yakni pada 2014 dan 2022. Pada dua periode tersebut, pemerintah sama-sama menaikkan harga BBM subsidi yang membuat inflasi melonjak.
Selebihnya, inflasi melaju jauh di bawah asumsi. Pada 2020, inflasi Indonesia bahkan mencatat rekor terendah sepanjang sejarah yakni di level 1,68%.

Kendati inflasi jauh melandai tetapi ada banyak catatan. Di antaranya adalah melambungnya inflasi bahan makanan. Berkali-kali, harga cabai, minyak goreng, hingga beras melambung tinggi. 

Harga makanan melonjak tajam pada 2022 hingga tahun ini karena perang Rusia-Ukraina serta dampak buruk El Nino.
Inflasi bahan makanan sempat terbang ke 10,88% (year on year/yoy) pada Juni 2022, merupakan rekor tertinggi sejak Januari 2014 atau delapan tahun lebih.

Salah satu faktor melambungnya inflasi bahan makanan adalah lonjakan harga beras. Harga beras terus merangkak naik sejak akhir 2022 dan terus mencetak rekor tertingginya.

Dalam setahun terakhir, harga beras sudah melesat 20% dan menembus rekor tertinggi pada Maret 2024. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) rata-rata harga beras bulanan pada Januari 2023 dibanderol Rp 12.650/kg sementara pada Juni 2024 sudah mencapai Rp 15.350/kg. Harga tersebut adalah yang tertinggi yang pernah dicatat PIHPSN.
Sementara itu, rata-rata harga beras bulanan tertinggi tercatat pada Maret 2024 di harga Rp 15.900/kg. Di Jakarta, harga beras bahkan melambung hingga Rp 18.000 pada Februari tahun ini.

Kenaikan harga beras tentu saja membebani rumah tangga Indonesia karena beras menjadi salah satu pengeluaran terbesar bagi kelompok miskin ataupun menengah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan inflasi harga beras tembus 13,76% (yoy) pada Agustus 2023. Inflasi ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2012. Menurut data BPS, pada Juni 2012, inflasi harga beras saat itu mencapai 16,22%.

Selain inflasi realisasi imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) juga relatif lebih baik, pengecualian terjadi pada 2016, 2019, dan 2022.

Sebagai catatan, pemerintah mengganti asumsi untuk imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) pada 2021 dari imbal hasil Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan menjadi SBN tenor 10 tahun untuk lebih mengetahui kondisi pasar keuangan domestik.


(mae/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation