
Kepada Pemilik Emas: Berdoalah Perang Dingin AS vs China Meletus!

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dingin jilid dua atau 2.0 antara China, Rusia, Iran, dan Korea Utara melawan Amerika Serikat dan sekutunya kini makin memanas. Meningkatnya perang diantara negara-negara besar tersebut mendorong melambungnya beberapa harga komoditas seperti emas hingga tembaga pada semester kedua tahun ini.
Harga emas sudah terbang 12,8% sepanjang tahun ini dan kini berada di posisi US$ 2.326,2 per troy ons.
Dikutip dari Kitco, peningkatan 'Perang Dingin 2.0' antara China, Rusia, Iran, dan Korea Utara terhadap Amerika Serikat dan sekutunya adalah salah satu alasan utama mengapa emas kemungkinan akan melampaui kinerja logam lainnya pada paruh kedua tahun 2024. Banyak indikator lain yang juga mendukung pandangan ini, menurut Mike McGlone, Senior Commodity Strategist di Bloomberg Intelligence.
![]() Proyeksi emas |
"'Persahabatan tak terbatas' antara pemimpin Rusia dan China mungkin telah mengubah tatanan global, dengan emas berada di tengah-tengahnya. Kami melihat logam mulia terus menguat di semester II." tutur McGlone.
Seperti diketahui, dalam dua tahun terakhir, hubungan Rusia-AS memburuk karena perang Rusia-Ukraina. AS dan sekutunya di Eropa memberlakukan sejumlah larangan ekspor dan impor dari dan ke Rusia. Akibatnya produk-produk Rusia, termasuk logam, sulit mendapatkan pasarnya. China hadir sebagai pembeli terbesar komoditas Rusia.
Hubungan AS dan Iran juga memburuk dalam setahun terakhir. Dengan meruncingnya beberapa kekuatan dunia maka perang dingin 2.0 antara kubu As dan sekutunya versus China-Rusia-Iran bisa terjadi. Ketegangan politik ini memicu ketidakpastian dan emas akan diuntungkan. Kebijakan bank sentral China yang membeli emas dalam jumlah besar di tengah krisis properti dan perlambatan ekonomi negaranya juga menguntungkan emas.
Harga emas bahkan bisa mendekati US$ 3.000 pada semester II-2024 jika ketegangan geopolitik berlanjut dan bank sentral AS The Federal Resreve (The Fed) memangkas suku bunga.
Perang Dingin 2.0 Dorong Tingginya Harga Ekonomi
Permintaan terhadap emas juga bisa meningkat di kondisi geopolitik yang masih memanas.
Jika melihat data dari World Gold Council (WGC), emas membukukan kenaikan bulanan ketiga berturut-turut pada Mei, naik sebesar 2% b/b menjadi US$2.348 per troy ons. Meskipun kenaikannya lebih moderat dibandingkan dengan Maret dan April, emas mencapai titik tertinggi sepanjang masa di US$2.427 troy ons pada pertengahan bulan sebelum turun kembali. Kemungkinan mencerminkan beberapa aksi ambil untung.
Namun, aktivitas pasar tetap mendukung selama bulan tersebut, dengan posisi uang kelolaan jangka panjang bersih di COMEX mencapai titik tertinggi dalam empat tahun dan ETF emas melihat arus masuk bersih (US$529 juta) untuk pertama kalinya sejak Mei 2023.
![]() |
Namun, data pertumbuhan dan inflasi AS terus menentukan arah pasar mata uang, serta sebagian besar kelas aset lainnya. Faktanya, dolar, hingga saat ini, tampak sangat kuat karena pertumbuhan AS tetap kuat dan narasi pasar makro bergeser dari 'kapan' menjadi 'apakah' The Fed akan melonggarkan kebijakan tahun ini.
![]() |
Namun, reli dolar AS berbalik arah pada Mei, jatuh untuk pertama kalinya pada 2024 karena inflasi mereda, memberi The Fed lebih banyak ruang untuk memangkas suku bunga. Dan saat World Gold Council (WGC) melihat ke depan, narasi kenaikan dolar mungkin tidak lagi memiliki argumen untuk kenaikan berikutnya, yang pada akhirnya dapat berdampak positif bagi emas.
![]() |
Kekhawatiran tentang deglobalisasi dan fragmentasi perdagangan dan investasi karena negara-negara bersatu menjadi blok pro-AS atau pro-China tidak hanya berdampak ke emas.
Ketegangan perdagangan AS-China telah berdampak negatif pada konsumen serta banyak produsen di kedua negara. perang tarif telah mengurangi perdagangan antara AS dan China, tetapi defisit perdagangan bilateral secara umum tetap tidak berubah. Meskipun dampaknya terhadap pertumbuhan global relatif kecil saat ini, eskalasi terbaru dapat secara signifikan merusak sentimen bisnis dan pasar keuangan, mengganggu rantai pasokan global, dan membahayakan pemulihan yang diproyeksikan dalam pertumbuhan global pada tahun 2024.
Perang geopolitik antara negara pro-AS dan pro-China mendorong harga komoditas bisa kembali naik, dan hal ini akan berdampak pada kenaikan barang-barang kebutuhan pokok lainnya ketika komoditas kompak menguat dan menaikkan biaya pengiriman.
CNBC Indonesia Research
(saw/saw)