
Dolar Dekati Rp 16.300, Indofood Sampai Alam Sutera Bisa Nangis Nih

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah terpantau masih ambruk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), posisinya semakin rawan lanjut melemah mendekati level April 2020 lalu atau ketika pandemi Covid-19 memukul ekonomi Indonesia. Pelemahan rupiah ini menjadi beban bagi perusahaan yang memiliki banyak utang dolar AS.
Melansir data Refinitiv, pada hari ini, Selasa (11/6/2024) hingga pukul 13.30 WIB, rupiah bertengger di Rp16.290/US$, sudah melemah 0,09% sejak pembukaan pasar dan menambah depresiasi kemarin sebesar 0,53%.
Pelemahan yang terjadi signifikan beberapa hari ini telah membawa rupiah ke level yang setara dengan high pada akhir April 2024 lalu. Waktu itu, untuk menekan mata uang Garuda menguat Bank Indonesia (BI) secara tidak terduga memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 6,25%.
Keputusan tersebut diambil pada Rabu (24/4/2024) lalu dan menjadi kenaikan yang kesekian kalinya setelah BI menahan suku bunga selama lima bulan beruntun.
Dua bulan berjalan setelah itu, saat ini rupiah malah kembali ke level pelemahan yang setara ketika BI menaikkan suku bunga. Ini rasanya jadi sia-sia karena tekanan terhadap pasar keuangan RI masih berat.
Pada pekan ini, semua mata tertuju pada dua data genting yang akan mempengaruhi pasar keuangan, yaitu rilis data AS dan pengumuman suku bunga acuan the Fed. Jika hasilnya masih hawkish, maka peluang rupiah untuk menguat ke bawah Rp16.000/US$ masih akan cukup sulit.
Hal ini juga membebankan biaya yang besar pada pengusaha atau perusahaan yang punya bisnis impor karena beban untuk memasok bahan baku bakal melambung terkena selisih kurs.
Perusahaan lain yang cenderung dirugikan juga ketika rupiah melemah, adalah yang punya uang berdenominasi dolar AS.
Berikut ada beberapa emiten yang rawan buntung ketika rupiah melemah :
1. PT Indofood CBP (ICBP)
PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) menjadi salah satu emiten yang dirugikan dari pelemahan rupiah.
Melansir dari laporan keuangan hingga akhir 2023, ICBP memiliki utang obligasi jangka panjang dalam denominasi dolar AS mencapai Rp42,12 triliun. Nilai ini mewakili 73,69% dari total liabilitas perusahaan sebesar Rp57,16 triliun.
Selain itu, ICBP terdampak negatif dari keperkasaan dolar yang menekan mata uang naira Nigeria.
Selama 2023, naira telah anjlok lebih dari 50% membuat ICBP mencatat kerugian nilai investasi pada entitas asosiasinya, Dufil Prima Foods Plc (DPFP hingga Rp1,81 triliun.
ICBP akhirnya harus menanggung kerugian bersih pada kuartal IV/2023 sebesar Rp69 miliar. Nilai ini berbanding terbalik dari hasil laba bersih pada kuartal III/2023 sebesar Rp1,3 triliun.
2. PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)
Selanjutnya ada induk usaha ICBP yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) yang ikut terseret dampak negatif dari pelemahan rupiah.
Pasalnya, sebagai induk usaha INDF juga ikut menanggung beban ICBP yang berupa utang dalam denominasi dolar AS. Kontribusi ICBP bagi INDF pun sangat besar ke pendapatan mencapai lebih dari 70%.
Akibat ICBP menelan pil pahit pada akhir tahun lalu, INDF juga kena imbasnya dengan laba bersih pada kuartal IV/2023 hanya Rp1,06 triliun, anjlok 38% dalam basis tahunan.
3. PT Modernland Realty Tbk (MDLN)
Emiten properti PT Modernland Realty Tbk (MDLN) jadi berikutnya yang cukup dirugikan dari kondisi pelemahan rupiah.
Hingga akhir 2023, MDLN mencatat beban yang masih harus dibayar dalam dolar AS mencapai sekitar Rp30 miliar. Utang perusahaan dalam dolar AS juga cukup besar mencapai US$ 375,50 juta atau setara Rp5,78 triliun (Asumsi kurs Rp15.416/US$)
4. PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI)
Masih dari sektor properti, ada emiten PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) yang memiliki utang obligasi dalam dolar AS sebanyak Rp3,49 triliun. Nilai ini mewakili lebih dari 30% dari total liabilitas sebesar Rp10,96 triliun pada akhir 2023.
Dengan utang dalam dolar AS yang besar maka beban ASRI untuk membayar beban bunga akan meningkat, terutama di kondisi saat rupiah melemah.
5. PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES)
Berikutnya ada emiten retail PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) yang potensi dirugikan dari perkasanya dolar AS lantaran beban impor yang tinggi.
ACES merupakan perusahaan dengan penjualan utama di barang-barang kebutuhan rumah tangga dan gaya hidup. Untuk memasok persediaan barang tersebut, biasanya ACES melakukan impor.
Menurut laporan keuangan hingga akhir tahun lalu, ACES mencatatkan beban pokok penjualan Rp3,91 triliun. Dari nilai tersebut, persentase pembelian impor mencapai 81,21%.
6. Sektor Farmasi
Selanjutnya ada sektor farmasi lantaran dominasi impor bahan baku masih mencapai 90%. Pada 2023, nilai ekspor produk industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional Indonesia meningkat 8,78% dibandingkan 2022.
Beberapa emiten farmasi diantaranya seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Pyridam Farma Tbk (PYFA), PT Kimia Farma TBk (KAEF), PT Indofarma Tbk (INAF), dan lain-lain.
Namun, perlu diakui juga, tidak selalu yang dirugikan ketika rupiah melemah, perusahaan bakal merugi. Kita juga harus mencermati kondisi fundamental perusahaan terkait arus kas, struktur modal-nya, hingga cara mereka dalam melakukan efisiensi.
Jika perusahaan masih memiliki tata kelola dan ketahanan kas, serta modal kuat, maka peluang mereka menghadapi badai rupiah ambruk ini bisa lebih yakin terlewati. Malah ketika harga saham nya sedang terkoreksi saat ini, akan menjadi momentum valuasi makin terdiskon, dan jika suatu saat valuasi kembali ke harga wajar atau sudah murah, maka pelaku pasar juga akan mulai kembali akumulasi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)