
Dolar Tembus Rp16.200/US$: Indofood - Alam Sutera Bisa Kena Getahnya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah ambrol terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan menembus level psikologis Rp16.000/US$ akibat ketidakpastian eksternal mencuat. Pelemahan ini berimbas pada perusahaan yang mengandalkan impor dan punya utang dolar Amerika Serikat (AS) rawan kena imbasnya, lantaran beban yang dikeluarkan melonjak.
Berdasarkan data Refinitiv, mata uang Garuda per hari ini, Selasa (16/4/2024) hingga pukul 09.55 WIB bertengger di Rp16.175/US$, melemah 2,11%. Sebelum menyusut, rupiah bahkan sempat menembus posisi Rp16.200/US$ pada pukul 09.28 WIB. Posisi ini menjadi yang paling terpuruk sejak empat tahun yang lalu.
Rupiah ambruk ditengarai banyak ketidakpastian eksternal, salah satunya karena ekonomi AS masih panas membuat imbal hasil US Treasury melambung dan indeks dolar menanjak (DXY). Imbasnya, suku bunga the Fed turun semakin mundur dari perkiraan.
Sebagaimana diketahui, inflasi AS di luar dugaan menanjak hingga 3,5% (year on year/yoy) pada Maret 2024 dari 3,2% pada Februari. Sejumlah data AS juga menunjukkan ekonomi AS masih panas.
Data tenaga kerja AS juga menunjukkan adanya penambahan 303.000 pada non-farm payrolls, lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar di angka 200.000.
Terbaru, data penjualan ritel AS untuk bulan Maret melampaui ekspektasi para analis, yang merupakan bukti terbaru mengenai ketahanan konsumen Amerika.
Departemen Perdagangan melaporkan pada hari Senin (15/4/2024), penjualan ritel meningkat 0,7% pada periode Maret 2024, jauh lebih cepat dari perkiraan konsensus Dow Jones yang memperkirakan kenaikan 0,3%.
Masih panasnya ekonomi AS dan inflasi mereka membuat pasar pesimis jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Perangkat CME Fedwatch Tool menunjukkan pelaku pasar kini hanya bertaruh 21,7% jika The Fed akan memangkas suku bunga di Juni. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pada dua pekan lalu yang mencapai 60-70%.
Selain itu, ketegangan geopolitik yang kembali mencuat setelah Iran meluncurkan serangan drone dan rudal ke Israel pada Sabtu malam (13/4/2024) menjadi kekhawatiran besar pada sejumlah hal seperti penerbangan, harga komoditas, pasar keuangan hingga inflasi global.
Melihat kondisi rupiah yang masih tertekan, tentunya bakal berdampak negatif ke beberapa perusahaan, terutama untuk yang bisnisnya mengandalkan bahan baku impor, maupun yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS.
Hal tersebut membuat beban perusahaan akan melambung, sehingga pendapatan akan berkurang untuk mengkompensasi biaya-biaya yang dikeluarkan. Imbasnya, laba bisa tergerus.
Lantas, siapa saja perusahaan yang terdampak negatif dari melemahnya rupiah?
1. PT Indofood CBP (ICBP)
PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) menjadi salah satu emiten yang dirugikan dari pelemahan rupiah.
Melansir dari laporan keuangan hingga akhir 2023, ICBP memiliki utang obligasi jangka panjang dalam denominasi dolar AS mencapai Rp42,12 triliun. Nilai ini mewakili 73,69% dari total liabilitas perusahaan sebesar Rp57,16 triliun.
Selain itu, ICBP terdampak negatif dari keperkasaan dolar yang menekan mata uang naira Nigeria.
Selama 2023, naira telah anjlok lebih dari 50% membuat ICBP mencatat kerugian nilai investasi pada entitas asosiasinya, Dufil Prima Foods Plc (DPFP hingga Rp1,81 triliun.
ICBP akhirnya harus menanggung kerugian bersih pada kuartal IV/2023 sebesar Rp69 miliar. Nilai ini berbanding terbalik dari hasil laba bersih pada kuartal III/2023 sebesar Rp1,3 triliun.
2. PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)
Selanjutnya ada induk usaha ICBP yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) yang ikut terseret dampak negatif dari pelemahan rupiah.
Pasalnya, sebagai induk usaha INDF juga ikut menanggung beban ICBP yang berupa utang dalam denominasi dolar AS. Kontribusi ICBP bagi INDF pun sangat besar ke pendapatan mencapai lebih dari 70%.
Akibat ICBP menelan pil pahit pada akhir tahun lalu, INDF juga kena imbasnya dengan laba bersih pada kuartal IV/2023 hanya Rp1,06 triliun, anjlok 38% dalam basis tahunan.
3. PT Modernland Realty Tbk (MDLN)
Emiten properti PT Modernland Realty Tbk (MDLN) jadi berikutnya yang cukup dirugikan dari kondisi pelemahan rupiah.
Hingga akhir 2023, MDLN mencatat beban yang masih harus dibayar dalam dolar AS mencapai sekitar Rp30 miliar. Utang perusahaan dalam dolar AS juga cukup besar mencapai US$ 375,50 juta atau setara Rp5,78 triliun (Asumsi kurs Rp15.416/US$)
4. PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI)
Masih dari sektor properti, ada emiten PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) yang memiliki utang obligasi dalam dolar AS sebanyak Rp3,49 triliun. Nilai ini mewakili lebih dari 30% dari total liabilitas sebesar Rp10,96 triliun pada akhir 2023.
Dengan utang dalam dolar AS yang besar maka beban ASRI untuk membayar beban bunga akan meningkat, terutama di kondisi saat rupiah melemah.
5. PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES)
Berikutnya ada emiten retail PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) yang potensi dirugikan dari perkasanya dolar AS lantaran beban impor yang tinggi.
ACES merupakan perusahaan dengan penjualan utama di barang-barang kebutuhan rumah tangga dan gaya hidup. Untuk memasok persediaan barang tersebut, biasanya ACES melakukan impor.
Menurut laporan keuangan hingga akhir tahun lalu, ACES mencatatkan beban pokok penjualan Rp3,91 triliun. Dari nilai tersebut, persentase pembelian impor mencapai 81,21%.
6. Sektor Farmasi
Selanjutnya ada sektor farmasi lantaran dominasi impor bahan baku masih mencapai 90%. Pada 2023, nilai ekspor produk industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional Indonesia meningkat 8,78% dibandingkan 2022.
Beberapa emiten farmasi diantaranya seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Pyridam Farma Tbk (PYFA), PT Kimia Farma TBk (KAEF), PT Indofarma Tbk (INAF), dan lain-lain.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)