
Presiden Ganti, Warga RI Malah Makin Pesimis Dapat Kerja

Jakarta, CNBC Indonesia - Masa pemerintahan baru belum mampu memberikan harapan baru bagi penghasilan masyarakat maupun ketersediaan lapangan kerja. masyarakat Indonesia justru semakin pesimis melihat ekonomi enam bulan ke depan atau pada November 2024.
Bank Indonesia (BI) telah merilis data survei konsumen untuk periode Mei 2024 pada Senin (10/6/2024). Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE), dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) tercatat mengalami penurunan masing-masing sebesar 2,5; 4; dan 1.
Data Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang dirilis Bank Indonesia mencatat masyarakat semakin pesimis dalam melihat ketersediaan lapangan kerja, kenaikan penghasilan, serta kegiatan usaha. IEK turun menjadi 135 pada Survei Mei 2024, dari 136,0 pada April 2024.
Untuk diketahui, IEK menandakan ekspektasi masyarakat dalam enam bulan mendatang dibandingkan dengan kondisi saat ini atau saat disurvei yakni pada Mei 2024. Artinya optimisme masyarakat untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik pada enam bulan ke depan (November 2024) mengalami penurunan.
Padahal, bulan November merupakan era pemerintahan baru yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia.
Jika dibedah lebih dalam, Indeks Ekspektasi Konsumen akan penghasilan enam bulan ke depan turun menjadi 139 pada saat survei dilakukan di Mei 2024, dibandingkan 140,6 pada periode April. Posisi ini merupakan yang terendah sejak Februari 2024.
Pemantauan dari CNBC Indonesia Research menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat lulusan Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) dengan usia 20-30 tahun dan pengeluaran saat ini Rp1-3 juta per bulan menjadi kelompok masyarakat yang paling pesimis perihal penghasilannya dalam enam bulan ke depan.
Ketika masyarakat pesimis dengan penghasilannya, maka kebutuhan untuk memenuhi konsumsi sehari-hari akan terganggu pula, porsi uang untuk ditabung akan berkurang, dan pada akhirnya masyarakat akan cenderung untuk 'makan tabungan' untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Fenomena 'makan tabungan' cukup jelas terlihat dalam laporan BI kali ini yang menunjukkan porsi tabungan masyarakat mengalami penurunan dari 16,7% menjadi 16,6%.
Sedangkan untuk masyarakat dengan pengeluaran Rp1-2 juta per bulan terlihat porsi tabungan berkurang dari 18,3% menjadi 17,7% diikuti dengan porsi konsumsi yang naik dari 74,7% menjadi 75%.
Rendahnya tingkat pendidikan menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat dengan tingkat lulusan SLTA mengkhawatirkan soal penghasilannya di masa depan. Apalagi jumlah lulusan Strata 1 (S1) akan semakin bertambah.
Selain itu, dari sisi ketersediaan lapangan kerja pun diperkirakan akan mengalami penurunan dengan indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja yang melandai 0,3 poin ke angka 134,5. Posisi ini merupakan yang terendah sejak Maret 2024.
Warga RI Pesimis, Pengusaha Juga Pesimis
Melemahnya ketersediaan lapangan kerja ini diikuti dengan data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global menunjukkan PMI manufaktur Indonesia jatuh ke 52,1 Mei 2024. Indeks lebih rendah dibandingkan April 2024 yakni 52,9.
PMI manufaktur Indonesia sudah melandai dalam dua bulan beruntun. PMI Manufaktur Mei 2024 bahkan menjadi yang terendah sejak November 2023 atau lima bulan terakhir.
S&P Global menjelaskan masih ekspansifnya PMI manufaktur Indonesia ditopang peningkatan produksi dan pesanan baru. Namun di sisi lain, S&P Global juga mengingatkan akan hadirnya "awan gelap" dan banyaknya tantangan yang ada di depan.
Data menunjukkan tingkat pertumbuhan melambat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya, dan kepercayaan diri turun ke level terendah dalam empat tahun lebih.
Penurunan tersebut disebabkan kekhawatiran akan tanda-tanda penurunan permintaan pasar yang sedang muncul akan meningkat selama 12 bulan mendatang.
Pesanan ekspor baru turun untuk ketiga kalinya berturut-turut semakin menunjukkan perlambatan permintaan manufaktur global yang berlanjut.
Pesanan baru secara keseluruhan meningkat tetapi dalam tingkat terlemah selama enam bulan. Dengan produksi meningkat lebih cepat daripada pesanan baru pada Mei, produsen bisa membangun kembali inventaris gudang mereka.
Lebih lanjut, tingkat penyerapan tenaga kerja terpantau lebih rendah selama dua bulan berturut-turut dan beberapa ketidakpastian dalam prospek bisnis juga mempengaruhi keputusan perekrutan.
Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bagi dunia bisnis juga menjadi beban tersendiri.
Sebagai informasi, pada penutupan perdagangan kemarin, Senin (10/6/2024), rupiah kembali ambruk ke posisi Rp16.275/US$.
Selama dolar AS masih menguat diikuti dengan rupiah yang terus-menerus anjlok, maka dunia bisnis akan terbebani khususnya bagi yang berorientasi impor dalam menjalankan bisnisnya karena diperlukan biaya yang lebih besar untuk memasukkan barang ke dalam negeri.
Suku bunga yang tinggi pun menjadi perhatian pula mengingat saat ini BI telah memutuskan bahwa suku bunga acuan berada di level 6,25% atau tertinggi dalam delapan tahun terakhir.
Tingginya suku bunga ini berdampak negatif bagi perusahaan karena akan semakin sulit dalam ekspansi bisnis serta biaya utang akan semakin mahal.
Ketika hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin perusahaan akan melakukan efisiensi dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) agar operational cost dapat ditekan dan perusahaan dapat bertahan di tengah gejolak yang ada saat ini.
Sebagai contoh dalam kurun waktu 2023-2024 atau setahun terakhir, terdapat delapan pabrik 'raksasa' yang tutup di Jawa Barat. Sebelumnya pabrik Bata yang akhirnya tutup dan melakukan PHK massal terhadap 233 pekerjanya, publik juga gempar karena tutupnya pabrik ban PT Hung-A Indonesia yang beroperasi di Cikarang, Jawa Barat, PT Hung-A Indonesia tutup pada awal Februari 2024 yang menyebabkan seluruh karyawan yang berjumlah sekitar 1.500 orang diberhentikan sejak 16 Januari 2024.
Kementerian Ketenagakerjaan sendiri telah merilis jumlah angka PHK pada tahun 2024 (Januari-Maret) ini. Khusus di Jawa Barat, angka PHK berjumlah 2.650 dengan rincian Januari sebanyak 306 pekerja terkena PHK, Februari 654 pekerja, dan Maret 1.690 pekerja.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)