Green Economic Forum 2024

Transisi Energi Butuh Ongkos Besar, Bank Diminta Turun Tangan

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
29 May 2024 17:05
Deputi Bidang Kerjasama Penanaman modal Kementerian Investasi/BKPM, Riyatno menyampaikan pemaparan dalam acara Green Economic Forum 2024 di Jakarta, Rabu (29/5/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Deputi Bidang Kerjasama Penanaman modal Kementerian Investasi/BKPM, Riyatno menyampaikan pemaparan dalam acara Green Economic Forum 2024 di Jakarta, Rabu (29/5/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Transisi energi menuju penggunaan sumber daya terbarukan menjadi salah satu isu paling mendesak yang perlu segera diimplementasikan di Indonesia. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada dukungan dan partisipasi berbagai pihak, termasuk sektor perbankan.

Green Economic Forum 2024 yang diselenggarakan oleh CNBC Indonesia di Hotel Kempinski pada hari ini Rabu (29/5/2025) membahas peran perbankan dalam pengembangan energi terbarukan. Diskusi panelis menghadirkan narasumber dari PT DBS Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk membahas terkait peran perbankan dalam menuju energi baru terbarukan.  

Executive Director Global Financial Markets PT DBS Indonesia, M Suryo Mulyono, menekankan bahwa upaya transisi energi memerlukan pendanaan yang signifikan.

"Saya ingin refleksi kemarin di akhir 2023, Presiden Jokowi (Joko Widodo) menyebut Indonesia butuh dana sekitar US$ 1 triliun untuk bisa mencapai net zero emission (NZE) 2060," ujar Suryo dalam diskusi.

Angka tersebut menunjukkan besarnya kebutuhan dana untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Suryo menambahkan bahwa dana sebesar itu pasti membutuhkan peran sektor swasta, terutama perbankan dan industri finansial lainnya.

Perbankan memiliki peran penting dalam menyediakan pendanaan berkelanjutan yang saat ini masih kurang dibandingkan dengan pendanaan konvensional. Suryo melihat ini sebagai peluang besar di masa depan.

"Orang selalu bicara NZE, tapi kita tidak bisa berubah dari yang sekarang menjadi NZE dengan sekejap mata," jelasnya. Suryo juga menyebut bahwa DBS fokus menjadi mitra transisi dengan memberikan saran dan membantu para klien serta seluruh pemangku kepentingan yang memiliki visi transisi energi menuju bumi yang lebih hijau. "Untuk transisi itu banyak sekali tahapnya, tidak langsung berubah, dan kami berusaha memberikan best practice sharing," tambah Suryo.

Perubahan iklim yang ekstrem membuat dunia bergerak, termasuk sektor perbankan. PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai salah satu bank terbesar dan memegang peran strategis dalam perekonomian Indonesia, tidak berpangku tangan menghadapi perubahan iklim yang ekstrem. BRI menunjukkan kepeduliannya dengan meningkatkan peran dalam mengurangi emisi gas rumah kaca serta mempercepat penggunaan energi hijau yang ramah lingkungan.

BRI mendukung nasabah dalam sektor hijau dengan portofolio pembiayaan berkelanjutan mencapai Rp777,3 triliun pada akhir Desember 2023.

Laporan tahunan ESG BRI pada 2019-2023 menunjukkan kredit untuk sektor hijau terus meningkat dari Rp 68,03 triliun pada 2019 menjadi Rp 82,32 triliun pada 2023. Porsi tersebut setara dengan sekitar 7% dari total pembiayaan BRI.

BRI juga menjadi pionir dalam penerbitan Green Bond dan hingga kuartal I-2024, BRI membukukan total bond outstanding sebesar Rp37,2 triliun, termasuk Green Bond senilai Rp13,5 triliun. Upaya ini juga mencakup peningkatan penggunaan mobile banking untuk mengurangi penggunaan kertas.

Tidak hanya BRI, PT Bank Negara Indonesia (BNI) juga berkomitmen menjadi agen transformasi dalam penerapan prinsip ESG. BNI mendorong sejumlah program pembiayaan hijau serta meningkatkan prinsip ekonomi hijau dalam bisnisnya. Kredit hijau BNI tumbuh dengan rata-rata 23% per tahun (CAGR) dan telah menyalurkan Rp5 triliun ke sektor energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, dan pengolahan sampah.

Nilai kredit hijau Bank BNI mencapai Rp 67,4 triliun pada kuartal I-2024, dibandingkan akhir Desember 2020 sebesar Rp 29,5 triliun. Penyaluran kredit hijau tersebut memiliki porsi 14,2% dari keseluruhan wholesale loan, sementara pada Desember 2020 porsinya baru sebesar 7,8%.

Pada 21 Juni 2022, BNI menjadi bank nasional pertama yang menerbitkan Green Bond dalam denominasi rupiah dengan jumlah pokok Rp5 triliun. Sampai dengan akhir Maret 2024, BNI telah menyalurkan Sustainability Linked Loan (SLL) senilai Rp4,9 triliun kepada perusahaan top tier di sektor industri pengolahan semen, baja, dan agroindustri.

Kemajuan signifikan dalam pembiayaan berkelanjutan di Indonesia, terutama setelah diperkenalkannya peta jalan keuangan berkelanjutan oleh OJK, menunjukkan komitmen sektor perbankan dalam mendukung transisi energi terbarukan.

Dengan langkah-langkah ini, perbankan dan sektor keuangan lainnya dapat memainkan peran yang lebih besar dalam mendukung transisi energi terbarukan di Indonesia, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan mengurangi emisi karbon secara signifikan.



CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

 

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation