Presiden Direktur Astra International Djony Bunarto Tjondro menjelaskan, dividen yang sebesar Rp21 triliun tersebut termasuk dengan dividen interim yang sebesar Rp3,97 triliun atau Rp 98 per saham. Dividen interim tersebut telah dibayar pada 31 Oktober 2023.
Bursa saham Amerika Serikat, Wall Street, kompak menguat pada perdagangan Selasa atau Rabu dini hari waktu Indonesia.
Indeks Dow Jones Industrial Average menguat 26,60 point atau 0,32% ke 39.558,11.
Indeks S&P 500 menanjak 0,48% atau 25,26 poin ke 5.246,68 sementara indeks Nasdaq terapresiasi 122,94 poin atau 0,75% ke 16.511,18.
Bursa menguat karena proyeksi kinerja keuangan yang membaik pada kuartal I-2024 serta ekspektasi pemangkasan suku bunga.
Namun beberapa saham China yang terdaftar di bursa AS jatuh menyusul kenaikan tarif impor sejumlah pos barang Tiongkok ke AS.
Saham Alibaba turun 6% sementara saham produsen mobil listrik Li turun 2%.
Seperti diketahui, Presiden AS Joe Biden menaikkan tarif bea impor secara signifikan untuk beberapa produk China. Di antaranya adalah solar panel, mobil listrik, dan peralatan medis.
Wall Street juga bergerak positif karena pelaku pasar sudah "menerima" kebijakan The Fed ke depan yakni higher for longer.
Chairman The Fed Jerome Powell menyampaikan pidato pada acara Foreign Bankers' Association di Amsterdam, Belanda kemarin, Selasa (14/5/2024).
Dalam pidatonya, Powell mengatakan bahwa inflasi AS melandai lebih lambat daripada yang dia perkirakan.
Dengan alasan itu pula, The Fed kemungkinan besar akan memberlakukan kebijakan suku bunga tinggi dalam waktu yang lama atau higher for longer.
Powell juga kembali menegaskan jika The Fed tidak akan menaikkan suku bunga kembali tahun ini.
"Kami tidak memperkirakan ini akan mudah. Namun, inflasi melaju lebih tinggi dibandingkan yang kami perkirakan. Ini membuat kita harus bersabar dan membiarkan kebijakan yang terbatas bekerja," tutur Powell, dikutip dari CNBC International.
Analis dari248 ventures, Lindsey Bell mengatakan pasar sudah semakin nyaman dengan kondisi higher for longer. Karena itulah, bursa tetap positif meski pernyataan Powell belum mengindikasikan pemangkasan suku bunga.
"Market semakin nyaman dan terbiasa dengan higher-for-longer rate. Pasar lebih bertanya apakah akan ada kenaikan dan Powell sudah menjawabnya dengan tidak ada kenaikan," ujar Lindsey, dikutip dari Reuters.
Pelaku pasar kini menunggu data inflasi AS periode April yang akan keluar malam nantl. Jika inflasi mengecewakan maka ada kemungkinan bursa Wall Street lesu.
Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih akan bergerak volatile hari ini karena investor menunggu data-data ekonomi mulai dari luar negeri yaitu inflasi konsumen AS serta dari dalam negeri diantaranya rilis neraca perdagangan & ekspor-impor Indonesia dan rilis data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia.
Berikut sejumlah sentimen pekan ini yang akan menggerakkan pasar saham, rupiah, hingga SBN:
Inflasi Amerika Serikat
Inflasi harga produsen di Amerika Serikat meningkat lebih dari yang diharapkan pada April 2024, didorong oleh kenaikan tajam dalam biaya jasa dan barang, menunjukkan bahwa inflasi tetap tinggi di awal kuartal kedua. Indeks harga produsen (PPI) naik 0,5% periode April setelah turun sebesar 0,1% pada Maret, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja pada hari Selasa.
Secara tahunan (year on year/yoy), PPI meningkat 2,2% pada April dari 1,8% pada Maret 2024.
Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan PPI akan naik 0,3%. Secara tahunan, PPI meningkat 2,2% lebih tinggi dibanding periode Maret sebesar 1,8%.
Setelah PPI, AS akan mengumumkan data inflasi April 2024. Sebagai catatan, inflasi AS menembus 3,5% (yoy) pada Maret 2024. Jika inflasi masih panas maka pemangkasan suku bunga semakin lama.
Pasar keuangan mengharapkan Federal Reserve untuk memulai siklus pelonggaran pada September 2024, meskipun beberapa ekonom percaya pemotongan suku bunga pertama bisa terjadi pada bulan Juli. Bank sentral AS awal bulan ini mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 5,25%-5,50%, di mana suku bunga ini telah ditahan sejak Juli. The Fed telah menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 525 basis poin sejak Maret 2022.
Data inflasi harga konsumen yang akan dirilis pada hari ini dapat memberikan petunjuk baru terkait waktu pemangkasan suku bunga yang telah lama dinanti.
Di tengah inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan, S&P 500 mendekati puncak rekor Maret. Hang Seng telah naik 20% dalam reli yang memasuki minggu keempat.
Pasar mata uang juga masih menantikan rilis CPI dengan dolar diperdagangkan kuat dan mendorong indeks dolar AS (DXY) mencapai 105 poin pada Selasa (14/5) pukul 10.10 WIB.
Sentimen global yang dipicu oleh peningkatan harga produsen di Amerika Serikat periode April juga akan memberikan dampak terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Peningkatan harga produsen yang lebih tinggi dari perkiraan ini mencerminkan inflasi harga konsumen yang berpotensi masih tinggi, sehingga dapat mempengaruhi kebijakan moneter global dan aliran modal ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
1. Penurunan IHSG karena Kekhawatiran Inflasi Global:
Kenaikan PPI AS yang mencapai 0,5% pada April, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3%, menimbulkan kekhawatiran bahwa inflasi global masih akan terus meningkat. Kekhawatiran ini sering kali menyebabkan pelaku pasar menarik dana dari aset berisiko di pasar negara berkembang dan memindahkannya ke aset yang dianggap lebih aman, seperti obligasi AS. Akibatnya, IHSG bisa mengalami tekanan jual yang signifikan, mengakibatkan penurunan indeks.
2. Pengaruh Kebijakan The Fed:
Ekspektasi bahwa Federal Reserve AS akan mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunga lebih lama akibat tekanan inflasi dapat menyebabkan aliran keluar dana dari pasar saham Indonesia.
Pasar saham Indonesia cenderung sensitif terhadap perubahan kebijakan moneter di AS, karena suku bunga yang lebih tinggi di AS biasanya membuat aset-aset AS lebih menarik bagi investor global dibandingkan dengan aset di pasar negara berkembang.
3. Penguatan Dolar AS dan Pelemahan Rupiah:
Sentimen inflasi yang tinggi di AS biasanya diiringi dengan penguatan dolar AS. Hal ini dapat menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada IHSG.
Pelemahan rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan menekan profitabilitas perusahaan yang memiliki beban utang dalam dolar AS, sehingga menurunkan minat investor terhadap saham-saham tersebut. Di sisi lain, pelemahan rupiah dapat berdampak positif untuk saham yang bergerak di bidang ekspor seperti batu bara.
4. Volatilitas di Pasar Saham:
Data inflasi yang tinggi di AS juga dapat meningkatkan volatilitas di pasar saham global termasuk IHSG. Investor cenderung lebih berhati-hati dan menahan diri dari mengambil posisi besar di tengah ketidakpastian kebijakan moneter The Fed dan prospek inflasi global. Kondisi ini dapat menyebabkan fluktuasi harga saham yang lebih tajam dan peningkatan volatilitas IHSG.
5. Potensi Reli jika Inflasi Terkendali:
Sebaliknya, jika data inflasi berikutnya menunjukkan tanda-tanda penurunan dan Federal Reserve mulai melonggarkan kebijakan moneternya, sentimen pasar dapat berbalik positif. Investor mungkin kembali mencari aset-aset berisiko di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, yang dapat mendorong IHSG naik kembali.
Meski demikian, pelaku pasar tentu akan lebih memperhatikan data kenaikan harga konsumen sebagai indikator terkuat kebijakan moneter The Fed.
Pidato Powell Isyaratkan Higher for Longer
Chairman The Fed Jerome Powell menyampaikan pidato pada acara Foreign Bankers' Association di Amsterdam, Belanda.
Dalam pidatonya, Powell mengatakan bahwa inflasi AS melandai lebih lambat daripada yang dia perkirakan.
Dengan alasan itu pula, The Fed kemungkinan besar akan memberlakukan kebijakan suku bunga tinggi dalam waktu yang lama atau higher for longer.
"Kami tidak memperkirakan ini akan mudah. Namun, inflasi melaju lebih tinggi dibandingkan yang kami perkirakan. Ini membuat kita harus bersabar dan membiarkan kebijakan yang terbatas bekerja," tutur Powell, dikutip dari CNBC International.
Powell juga kembali menegaskan jika The Fed tidak akan menaikkan suku bunga kembali tahun ini.
The Fed mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Mereka kemudian menahan suku bunga di level 5,25-5,50% pada September, November, Desember 2023, Januari 2024, Maret 2024, dan Mei 2024.
"Berdasarkan data-data yang ada sekarang, saya pikir kenaikan suku bunga tidak ada dalam agenda kami," ujarnya.
Rilis Data Neraca Perdagangan April 2024
Surplus neraca perdagangan Indonesia diproyeksikan masih berada di zona positif pada periode April 2024, meskipun diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan surplus pada Maret 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia untuk April 2024 pada hari ini, Rabu (15/5/2024).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada April 2024 akan mencapai US$3,24 miliar.
Angka ini menurun dibandingkan surplus pada Maret 2024 yang mencapai US$4,47 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencatatkan surplus, maka Indonesia telah membukukan surplus selama 48 bulan berturut-turut.
Menurut konsensus, ekspor pada April 2024 diperkirakan tumbuh 4,36% secara tahunan (year-on-year/yoy), sementara impor diperkirakan naik 10,23% (yoy). Pertumbuhan ekspor dan impor ini terjadi di tengah gejolak ekonomi dan ketidakstabilan global.
Kenaikan ekspor didorong oleh apresiasi harga komoditas, terutama batu bara, meskipun harga minyak kelapa sawit (CPO) cenderung mengalami penurunan. Sepanjang April 2024, harga batu bara naik 8,33% dari sekitar US$132 per ton menjadi US$143 per ton. Di sisi lain, harga CPO turun 8,97% dari MYR 4.194 per ton menjadi MYR 3.818 per ton sepanjang bulan tersebut.
Surplus neraca perdagangan Indonesia yang menurun dari bulan sebelumnya dapat mencerminkan perlambatan, sehingga yang berpotensi menekan IHSG. Pelemahan mata uang Rupiah sebagai hasil dari surplus yang lebih rendah juga dapat membuat saham-saham di IHSG kurang menarik bagi investor asing.
Selain itu, kinerja perusahaan eksportir bisa terpengaruh negatif jika ekspor tumbuh lebih lambat dari impor, yang bisa menurunkan nilai saham mereka di pasar modal.
Perang Tarif AS-China Kembali Memanas
Presiden AS Joe Biden menaikkan tarif bea impor untuk sejumlah barang dari AS mulai dari kendaraan listrik, solar panel, hingga peralatan medis.
Bea impor kendaraan listrik naik menjadi 100% dari sebelumnya 25%. Bea impor solar panel China naik menjadi 50% dari 25%. Bea impor untuk baja dan aluminium juga kini dikenai 25%, dari 7,5% sebelumnya.
AS juga mengerek bea impor peralatan kesehatan asal China, seperti sarung tangan hingga jarum suntik.
Kebijakan kenaikan tarif ini merupakan cara AS menekan impor dari China. AS mencurigai jika produk-produk yang terkait energi hijau dari China mendapatkan subsidi Beijing sehingga harganya lebih murah.
Kenaikan tarif ini dikhawatirkan memicu perang dagang baru kedua negara.
Rilis data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI)
Data penting dari dalam negeri juga akan dirilis oleh Bank Indonesia pada hari ini Rabu (15/5) yang akan membahas terkait Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) periode Maret 2024.
Rilis data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) Maret 2024 memiliki dampak yang signifikan terhadap makroekonomi Indonesia. Informasi yang terdapat dalam data SULNI tersebut memberikan gambaran yang penting mengenai jumlah utang luar negeri yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia, serta sumber pembiayaan dan sektor-sektor yang menerima dana tersebut.
Dampak dari rilis data SULNI Maret 2024 terhadap makroekonomi Indonesia dapat terlihat dari beberapa aspek.
Pertama, data ini mempengaruhi neraca pembayaran Indonesia dengan memberikan informasi tentang keseimbangan antara utang dan pembayaran luar negeri.
Kedua, data SULNI juga dapat memengaruhi nilai tukar Rupiah jika jumlah utang luar negeri meningkat secara signifikan, karena dapat menimbulkan tekanan tambahan terhadap nilai tukar mata uang tersebut.
Selain itu, rilis data ini juga berpotensi memengaruhi tingkat suku bunga, kebijakan fiskal, dan kebijakan moneter Indonesia, karena dapat memicu respon dari pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan negara.
Terakhir, penggunaan utang luar negeri yang produktif dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, namun juga dapat menimbulkan risiko jika tidak dikelola dengan baik
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) telah merilis data Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah Indonesia pada periode Februari 2024. Menurut laporan tersebut, ULN pemerintah mencapai US$ 194,8 miliar, meningkat 1,3% (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ini signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan sebelumnya yang hanya sebesar 0,1% (yoy).
Erwin Haryono, Kepala Departemen Komunikasi Perkembangan ULN, menjelaskan bahwa peningkatan ULN pemerintah terutama disebabkan oleh penarikan pinjaman luar negeri, terutama pinjaman multilateral, yang digunakan untuk mendukung pembiayaan beberapa program dan proyek pemerintah.
Data yang dirilis oleh Bank Indonesia juga mengungkapkan bahwa Jepang menjadi pemberi utang terbesar bagi Indonesia pada Februari 2024, dengan total US$ 7,97 juta, diikuti oleh Jerman dengan US$ 4,07 juta, dan Perancis dengan US$ 3,89 juta.
Erwin menegaskan bahwa posisi ULN pemerintah saat ini relatif aman dan terkendali, dengan hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang, mencapai 99,98% dari total ULN pemerintah. ULN pemerintah yang bertenor jangka pendek hanya sebesar US$ 44 juta, sementara ULN jangka panjang mencapai US$ 194,76 juta
Berikut sejumlah agenda ekonomi dalam dan luar negeri pada hari ini
Rilis data neraca perdagangan & ekspor-impor Indonesia periode April 2024 (11.00 WIB)
Rilis data inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Amerika Serikat (AS) periode April 2024 (19.30 WIB)
Rilis data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) periode Maret 2024
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini
Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 2024 PT Adaro Energy Indonesia Tbk (10.00 WIB)
Public Expose Sukuk Sustainablity PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) (13.00 WIB)
Press conference virtual RUPS Tahun Buku 2023 PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (16.00 WIB)
Cum date dividen EXCL, SMGR, TLKM
Ex date dividen MBAP, BUAH, TAPG
RUPS ELSA, MARK, MASA, ABMM, TGKA, SIDO, ELPI, SURI, DNAR, HBAT, ADRO, KRYA
Public Expose ABMM, ELPI, HBAT, KRYA, MASA, SGER
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional