Sell in May and Go Away, Benarkah IHSG Selalu Kebakaran di Mei?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
02 May 2024 14:38
Seorang karyawan mengambil gambar pergerakan Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (21/3/2018). IHSG pada perdagangan Rabu (21/3/2018) dibuka menguat 0,27% ke  6.260,18 poin dari penutupan kemarin di 6.243,57 poin. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau ambruk lebih dari 1% pada perdagangan sesi I Kamis (2/5/2024), di mana pada hari ini merupakan perdagangan perdana di Mei 2024.

Hingga akhir sesi I hari ini, IHSG ambruk 1,63% ke posisi 7.116,59. IHSG kembali ke level psikologis 7.100, setelah pada perdagangan akhir April lalu ditutup di level psikologis 7.200.

Secara historis, setidaknya dalam lima tahun terakhir, perdagangan IHSG di Mei secara rata-rata bergerak di zona merah. Hanya sekali IHSG mencatatkan penguatan di sepanjang Mei yakni pada 2020, atau dua bulan setelah pandemi Covid-19 merebak di Indonesia.

Jika dibandingkan, maka kinerja IHSG di Mei paling buruk dibukukan pada 2023, di mana IHSG ambruk 4,08%. Untuk hari ini, karena perdagangan Mei 2024 baru berlangsung, maka belum dapat dibandingkan.

Hal ini seperti IHSG terkena fenomena yang biasanya terjadi di pasar saham global, utamanya di Amerika Serikat (AS) di Mei. Fenomena tersebut yakni 'Sell on May and Go Away'.

Perlu diketahui, fenomena ini mengacu pada strategi investor mengurangi porsi saham pada Mei. Misalnya, para investor asing meninggalkan pasar saham untuk pergi berlibur selama musim panas, lalu masuk kembali ke pasar saham pada November.

Fenomena tersebut awalnya berasal dari sebuah pepatah kuno di Inggris yang berbunyi: "Sell in May and go away, and come back on St. Leger's Day".

Pepatah yang biasa dilontarkan di antara para pedagang, bangsawan, dan bankir di kota London, Inggris ini sebetulnya merujuk pada kebiasaan mereka yang suka meninggalkan kota selama berbulan-bulan sepanjang musim panas untuk kemudian kembali pada pertengahan September untuk menonton gelaran pacuan kuda, St. Leger's Day, di arena balap Doncaster, South Yorkshire.

Kebiasaan orang Inggris tersebut ternyata juga mirip seperti yang ditemukan di Amerika Serikat (AS). Ketika memasuki bulan Mei, para trader dan investor di AS cenderung memilih menghabiskan waktunya untuk liburan musim panas yang biasanya berlangsung antara bulan Mei hingga Oktober.

Pada akhirnya, fenomena tersebut memiliki dampak riil pada kinerja pasar modal di AS selama lebih dari setengah abad. Hal ini dibuktikan lewat kinerja historis saham yang buruk selama periode enam bulan dari Mei hingga Oktober.

Namun, beberapa pengamat menilai bahwa fenomena ini belum terjadi di Indonesia. Koreksi IHSG di Mei yang cenderung lebih banyak dalam lima tahun terakhir terjadi karena disebabkan kondisi ekonomi saat itu, mulai dari Covid-19 hingga perang Rusia-Ukraina.

Fenomena Sell on May and Go Away juga kerap digunakan investor ketika mereka memiliki kecenderungan untuk menjual saham di awal Mei. Lalu mereka cenderung membeli kembali pada awal November.

Fenomena ini mencuat karena kepercayaan bahwa secara historis performa saham pada periode Mei-Oktober lebih rendah dibandingkan November sampai April.

Secara rata-rata, dari 2018 hingga 2024, kinerja IHSG pada periode Mei-Oktober mencatatkan koreksi sebanyak tiga kali dan menguat juga tiga kali menguat. Sedangkan pada periode November-April, tercatat IHSG melemah cenderung lebih banyak yakni mencapai lima kali dan menguat hanya dua kali.

Kinerja IHSG (2018-2024)Sumber: Stockbit
Kinerja IHSG (2018-2024)

Dengan ini, maka sejatinya kinerja IHSG cenderung lebih buruk di periode November-April ketimbang pada periode Mei-Oktober. Alhasil, fenomena Sell on May and Go Away tidak terlalu berpengaruh kepada kinerja IHSG.

Selain itu, di Indonesia, liburan panjang yang sama persis terjadi di pertengahan semester atau terjadi di Juni-Juli, yang dapat disebut sebagai libur sekolah.

Sebelumnya, IHSG terpantau ambruk lebih dari 1% pada awal perdagangan Mei 2024, karena investor cenderung kecewa dengan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang ingin mempertahankan sikap hawkish­-nya dalam waktu yang lebih lama.

The Fed memang telah menegaskan tidak akan ada kenaikan suku bunga pada tahun ini. Namun, mereka juga mengatakan belum ada kemajuan berarti dalam penurunan inflasi sehingga akan menunggu lebih banyak data pendukung sebelum memangkas suku bunga acuan.

The Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Mereka kemudian menahan suku bunga di level 5,25-5,50% pada September, November, Desember 2023, Januari 2024, Maret 2024, dan Mei 2024.

Akibat hal ini, pasar melihat prospek penurunan suku bunga ini semakin jauh dari perkiraan awal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap aset berisiko, sehingga investor cenderung beralih ke aset yang lebih konservatif atau aset safe haven.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation