
Beda Nasib dengan Emas, Harga Tembaga Tembus Level tertinggi 2 Tahun

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas tembaga berjangka terus mencatatkan kenaikan yang signifikan mendekati level US$10.000 per metrik ton. Hingga perdagangan kemarin Kamis (25/4/2024) harga tembaga berjangka di London Metal Exchange (LME) ditutup di level US$9.768,65 per metrik ton atau sekitar Rp 158,25 juta per ton (US$1- Rp 16.205). Sepanjang tahun ini, tembaga sudah terbang 13%.
Sebelumnya harga tembaga sempat menyentuh level tertinggi pada perdagangan intraday Senin (22/4/2024) di level US$9.900 per metrik ton, mendekati level psikologis US$10.000 per metrik ton yang pernah disentuh pada bulan Maret 2022 atau lebih dari lebih dari dua tahun.
Harga tembaga terus melanjutkan tren kenaikannya pada karena para pelaku pasar mengejar harga tembaga lebih tinggi setelah tawaran pengambilalihan oleh BHP untuk Anglo American, yang menurut para analis terfokus pada tembaga.
BHP Group, perusahaan pertambangan terbesar di dunia, telah mengusulkan pengambilalihan saingannya Anglo American, dalam sebuah kesepakatan yang berpotensi mengguncang industri di saat permintaan tembaga melonjak.
BHP mengatakan pada hari Kamis (25/4/2024) bahwa mereka telah mendekati Anglo dengan tawaran senilai 31,1 miliar pound, atau US$39 miliar, yang merupakan salah satu kesepakatan paling signifikan dalam industri ini selama bertahun-tahun. Jika berhasil, akuisisi ini akan menciptakan salah satu penambang tembaga terbesar di dunia pada saat meningkatnya permintaan global terhadap logam tersebut, yang penting bagi transisi energi ramah lingkungan.
Anglo membenarkan bahwa mereka telah menerima proposal penggabungan yang tidak diminta, tidak mengikat, dan sangat bersyarat dari BHP.
Dewan direksi kini sedang meninjau tawaran tersebut dengan para penasihatnya. BHP, yang berkantor pusat di Melbourne, Australia, menawarkan kepada pemegang saham Anglo lebih dari £25 per saham, lebih dari 10% di atas harga penutupan saham pada Rabu (24/4/2024).
Anglo, yang berbasis di London, memiliki operasi tembaga besar di Chile dan Peru, serta 85% De Beers Group, perusahaan berlian terkemuka di dunia. Perusahaan ini dipandang sebagai target pengambilalihan yang potensial bagi para penambang terbesar di dunia, terutama setelah penurunan laba tahunan sebesar 94% dan serangkaian penurunan nilai pada Februari 2024.
"Berita BHP tentu saja memberikan perhatian tambahan terhadap tembaga. Jika BHP menginginkan tembaga, maka saya yakin para pedagang dan investor juga menginginkannya," ujar Ole Hansen, kepala strategi komoditas di Saxo Bank di Kopenhagen, kepada Reuters.
Sementara, di China, premi Yangshan yang dinilai oleh SMM SMM-CUYP-CN telah turun ke nol untuk pertama kalinya dalam sejarah, yang menunjukkan lemahnya keinginan untuk mengimpor tembaga ke China, konsumen logam terbesar di dunia.
![]() |
Analis Goldman Sachs memperkirakan pasar tembaga olahan global kemungkinan akan menunjukkan defisit sebesar 428.000 ton pada tahun 2024 dan mereka memperkirakan harga tembaga di London Metal Exchange (LME) akan mencapai US$12.000 per metrik ton dalam 12 bulan ke depan.
Berbeda dengan pasar tembaga yang optimis terhadap kenaikannya, kini komoditas emas harus mencatatkan koreksi setelah menyentuh penutupan tertinggi sepanjang masa pada perdagangan 19 April 2024 di level US$ 2.390,4517 per troy ons dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada perdagangan intraday 12 April 2024 di level US$ 2.431,53 per troy ons.
Dalam sepekan ini, harga emas telah mencatatkan penurunan sebesar 2,45% hingga perdagangan kemarin Kamis (25/4/2024) di level US$2.331,78 per troy ons. Namun secara year to date harga emas masih mencatatkan positif 13%.
Jim Wyckoff, senior analis di Kitco Metals mengatakan kepada Reuters, "Fokus pasar kembali pada laporan ekonomi dan The Fed. Jika kita melihat data inflasi yang panas, maka akan lebih sulit bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga dan emas bisa turun hingga di bawah US$ 2.200 per troy ons."
Pada Kamis malam (25/4/2024) Amerika Serikat (AS) merilis data perekonomiannya.
Perekonomian AS diketahui hanya tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan (yoy) pada kuartal I-2024, dibandingkan dengan 3,4% pada kuartal sebelumnya dan di bawah perkiraan sebesar 2,5%.Ini merupakan pertumbuhan terendah sejak kontraksi pada paruh pertama 2022 lalu.
Perlambatan ekonomi ini bisa menjadi sinyal jika dampak pengetatan suku bunga sudah terasa di ekonomi AS. Namun, data lain berbicara sebaliknya. Salah satunya, tercermin dari data klaim pengangguran mingguan yang turun lagi jadi 207.000 untuk pekan yang berakhir pada 20 April 2024, dibandingkan pekan sebelumnya sebanyak 212.000 klaim.
Klaim pengangguran yang turun ini menunjukkan pasar tenaga kerja AS masih ketat. Hal ini kemudian semakin mengurangi harapan bahwa bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mulai memangkas suku bunga tahun ini.
James St. Aubin, kepala investasi di Sierra Mutual Funds di California mengatakan "Angka PDB jelas memberikan perubahan pada paradigma bahwa pasar bergantung pada ekuitas dalam hal pertumbuhan yang tinggi, dan jika Anda tidak memiliki pertumbuhan yang tinggi, hal itu akan menghasilkan pendapatan yang lebih rendah dari perkiraan."
Menurut alat FedWatch, para pelaku pasar saat ini memperkirakan penurunan suku bunga pertama The Fed akan terjadi, kemungkinan besar pada bulan September. Suku bunga yang lebih tinggi mengurangi daya tarik untuk memegang emas yang tidak memberikan imbal hasil.
Dalam jangka panjang, harga emas akan semakin meningkat, dimana tahun 2024 yang merupakan tahun pemilihan umum, konflik geopolitik yang terus berlanjut, dan peningkatan utang AS, menurut Jonathan Rose, CEO Genesis Gold Group.
CNBC Indonesia Research
(saw/saw)