
King Dolar AS Jadi "Monster" Mengerikan Bagi Mata Uang Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) semakin perkasa di hadapan mata uang lainnya, termasuk mata uang Asia.
Penguatan dolar AS terlihat dari pergerakan indeks dolar yang Sebagai catatan, indeks dolar AS mengukur nilai dolar terhadap enam mata uang utama lainnya-euro, krona Swedia, franc Swiss, pound Inggris, dolar Kanada, dan yen Jepang.
Indeks dolar kini telah mencapai level 106,276 hingga perdagangan Rabu (17/4/2024) pukul 11.01 WIB. Sementara pergerakan rupiah terhadap dolar pada waktu yang sama telah berada di posisi Rp16.240/US$1. Posisi ini merupakan yang terendah sejak April 2020 atau empat tahun terakhir.
Penguatan dolar dapat menyebabkan kekacauan di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Mata uang negara berkembang telah anjlok sepanjang tahun ini karena dolar yang semakin menguat. Mata uang Taiwan turun ke level terendah dalam hampir delapan tahun pada minggu ini, rupee India merosot ke rekor terdalamnya, dan ringgit Malaysia mendekati nilai terlemah sejak krisis keuangan Asia pada tahun 1998. Semua kecuali satu dari 23 mata uang utama negara berkembang yang dilacak oleh Bloomberg telah jatuh terhadap Greenback tahun ini.
Pendorong terbesar kenaikan dolar adalah "keistimewaan" Amerika Serikat (AS). Meskipun sebagian besar perekonomian dunia hanya mengalami pertumbuhan moderat, data ekonomi AS mulai dari lapangan kerja, penjualan ritel, hingga inflasi sering kali melampaui perkiraan para analis.
Hal ini menyebabkan para pelaku pasar mengurangi spekulasi penurunan suku bunga The Federal Reserve (The Fed), yang telah membantu mendorong kenaikan greenback. Indeks Bloomberg Dollar Spot, yang melacak mata uang AS terhadap 12 mata uang utama lainnya, telah meningkat lebih dari 4% tahun ini.
Dolar yang mengamuk dan prospek suku bunga AS yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama telah menjadi pendorong utama.
Suku bunga acuan The Fed kini ada di level 5,25-5,50% yang berarti investor dapat memperoleh imbal hasil yang menarik dengan memegang dolar tanpa perlu mengambil risiko nilai tukar saat mengirimkan dana ke pasar negara berkembang.
Meskipun sejumlah negara berkembang menawarkan keuntungan imbal hasil (yield advantage) dibandingkan AS, namun dalam banyak kasus, keuntungan tersebut malah menyusut. Salah satunya karena pemangkasan suku bunga.
Pada awal tahun lalu, tingkat suku bunga di Brasil sebesar 13,75%, di Chili sebesar 11,25%, dan di Hongaria sebesar 13%. Sejak itu, bank sentral di tiga negara tersebut secara kolektif memangkas suku bunga acuannya lebih dari 12 poin persentase.
Lalu mengapa mata uang Asia sangat rentan?
Mata uang Asia mengalami penurunan terbesar tahun ini terutama karena suku bunga bank sentral di kawasan ini lebih rendah dibandingkan sebagian besar negara berkembang lainnya. Patokan Malaysia, misalnya, adalah 2,5 poin persentase di bawah acuan The Fed, yang merupakan rekor defisit bagi negara Asia Tenggara tersebut. Angka setara di Thailand, Korea Selatan, Taiwan dan China juga berada di bawah AS.
Meskipun para pengambil kebijakan di AS telah menaikkan biaya pinjaman selama dua tahun terakhir, bank sentral China telah melonggarkan kebijakan untuk mendukung perekonomiannya yang terpuruk. Hal ini membuat yuan berada di bawah tekanan terus-menerus, dan hal ini juga berdampak pada mata uang Asia lainnya, terutama mata uang Korea Selatan dan Taiwan yang memiliki hubungan ekonomi erat dengan China.
Hal apa yang harus dilakukan bank sentral Asia untuk mendukung mata uang mereka?
Meningkatnya ekspektasi bahwa suku bunga AS akan tetap tinggi telah menghalangi bank sentral Asia untuk memangkas suku bunga acuannya karena kekhawatiran terhadap potensi pelemahan mata uang.
Para pembuat kebijakan di kawasan ini juga telah mengeluarkan sejumlah alat untuk memperkuat mata uang mereka. China telah menggunakan penetapan mata uang hariannya untuk mendukung yuan, sementara bank-bank milik negara berupaya meningkatkan mata uang tersebut dengan menjual dolar. Bank Indonesia (BI) telah menggunakan cadangan devisanya untuk membeli rupiah.
Seperti diketahui bahwa Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa Indonesia berada di posisi US$140,4 miliar per akhir Maret lalu. Posisi tersebut turun dibandingkan akhir Februari sebesar US$144,0 miliar.
Sementara bank sentral Malaysia telah mendorong perusahaan-perusahaan milik negara untuk memulangkan pendapatan investasi asing dan mengubahnya menjadi ringgit.
Namun bank sentral tahu bahwa mereka sedang mengambil risiko. Jika negara-negara tersebut menghabiskan cadangan devisa terlalu cepat, hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas keuangan jangka panjang. Bahkan bank sentral Jepang (BoJ) yang memiliki banyak kekuatan untuk mempertahankan yen, hanya melakukan intervensi langsung di pasar sebanyak tiga kali pada tahun 2022 untuk menopang mata uangnya.
CNBC Indonesia Research