
Skandal Seret Harvey Moeis Hingga RBS, Seburuk Apa Jeroan PT Timah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah kasus korupsi PT Timah Tbk (TINS) mencuat, kondisi keuangan PT Timah Tbk (TINS) kini menjadi sorotan.
Melansir data laporan keuangan, selama tiga kuartal terakhir TINS tercatat mengalami kerugian bersih. Pada kuartal II/2023 TINS mencatat rugi sebesar Rp34 miliar. Rugi kemudian kian melebar pada kuartal selanjutnya menjadi Rp104 miliar. Dan, terakhir pada kuartal akhir 2023 rugi membengkak menjadi Rp362 miliar.
Penurunan kinerja selama tiga kuartal beruntun, akhirnya membuat TINS harus menelan pil pahit kerugian bersih sebesar Rp450 miliar pada sepanjang 2023.
Direktur Utama TINS Ahmad Dani Virsal mengatakan, rugi bersih yang dialami perusahaan pada 2023 dipicu karena menurunnya harga timah di pasar dunia, serta penurunan volume produksi bijih dan logam timah.
Dia menjelaskan, harga jual rata-rata timah pada 2023 tercatat "hanya" sebesar US$ 26.583 per metrik ton, turun 16% dari 2022 sebesar US$ 31.474 per metrik ton.
Begitu juga dari sisi produksi bijih timah, pada 2023 tercatat mengalami penurunan 26% menjadi 14.855 ton dari 20.079 ton pada 2022. Dari sisi produksi logam timah, pada 2023 produksi logam timah juga turun 23% menjadi 15.340 ton dari 19.825 ton pada 2022.
Sementara dari sisi penjualan, penjualan logam timah pada 2023 turun 31% menjadi 14.385 ton dari 20.805 ton pada 2022 lalu.
Akibatnya, pendapatan PT Timah Tbk pada 2023 anjlok 33% menjadi Rp 8,39 triliun dari Rp 12,50 triliun pada 2022. Sementara EBITDA pada 2023 anjlok 71% menjadi Rp 684 miliar pada 2023 dari Rp 2,37 triliun pada 2022.
"Penurunan harga logam dibandingkan tahun sebelumnya juga mengakibatkan pendapatan turun 33% dan kerugian pada 2023 sebesar Rp 450 miliar," ungkap Virsal dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (02/04/2024).
"Pendapatan menurun karena harga jual menurun, sehingga pendapatan jomplang sekali," imbuhnya.
Jika menilik data historis dengan mengkaitkan kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah sejak 2015 lalu, kerugian yang terjadi pada 2023 menjadi yang ketiga kalinya terjadi.
Dua kali kerugian lainnya pernah terjadi pada 2019 di mana perusahaan mencatatkan rugi bersih yang diatribusikan ke entitas induk sebesar Rp611 miliar. Kemudian, pada 2020 mencetak rugi sebesar Rp341 miliar.
Penindakan kasus korupsi Timah masih berjalan hingga hari ini. Terbaru, Komisi VI DPR menyebut ada sosok 'mafia besar' di balik kasus korupsi tata niaga TINS.
Anggota Komisi VI Mufti Aimah Nurul Anam menyebut nama pengusaha Robert Bonosusatya (RBS) sebagai mafia besar di balik skandal tambang timah yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 271 triliun.
"Ada seorang mafia besar yaitu kami dapat infonya itu Robert Bonosusatya," terang Mufti dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Menteri Investasi / Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, dikutip Rabu(3/4/2024).
Sebelumnya, kasus korupsi tata niaga TINS menjerat beberapa pihak, termasuk di antaranya suami aktris Sandra Dewi yakni Harvey Moeis dan crazy rich PIK, Helena Lim. Penyelidikan kasus terus berlanjut hingga muncul nama-nama baru termasuk sosok yang diduga ada dibalik skandal yakni Robert Bonosusatya (RBS).harve
Manajemen Timah pun angkat bicara perihal potensi kerugian perusahaan imbas dugaan korupsi yang melibatkan Harvey Moeis dan Helena Lim.
Direktur Utama TINS, Ahmad Dani Virsal mengungkapkan bahwa pertambangan ilegal yang dilakukan oleh para tersangka dugaan korupsi TINS merugikan perusahaan di sisi tata kelola pertambangan, dan alur bisnis yang harus dikelola dengan regulasi yang ada.
"Sebenarnya tata kelola-nya ya, bukan hanya produksi tambang ilegal, tapi bagaimana flow of business pertimahan harus dikelola sesuai regulasi yang ada," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Jika berbicara soal kinerja pada laporan posisi keuangan, aset perusahaan relatif bertumbuh sejak 2015 hingga mencapai puncak tertinggi-nya pada 2020. Namun, setelah itu aset terus merosot hingga pada 2023 tercatat hanya sebesar Rp12,85 triliun.
Perlu dicatat, harga timah dunia pada pertengahan 2020 hingga awal 2022 sedang dalam tren penguatan signifikan, Level tertinggi di US$ 47.000 per ton sempat dicapai pada Februari 2022.
Selama 12 bulan berjalan pada 2021 harga timah dunia meroket lebih dari 100%. Hal tersebut membuat perusahaan mampu membalikkan kerugian pada 2020 menjadi untung pada 2021 sebesar Rp1,3 triliun.
Sayangnya, keuntungan ini tidak terlalu terefleksi terhadap kinerja neraca-nya lantaran posisi aset malah dalam tren merosot sejak 2020. Khusus pada 2021, hanya meningkat 1,19% secara tahunan (yoy) atau sekitar Rp100 miliar.
Sementara untuk modal ada peningkatan Rp1,4 triliun pada 2021. Namun, modal harus kembali tergerus karena rugi pada 2023, sehingga jika ditarik mundur sejak 2015, modal perusahaan hanya meningkat Rp871 miliar saja.
Jika menilai menggunakan rasio keuangan, kecukupan modal perusahaan sebenarnya masih memadai untuk membayar seluruh utang-nya. Ini tercermin dari nilai Debt to Equity Ratio (DER) di angka 57,8% berdasarkan total utang per 2023 sebesar Rp3,61 triliun dan total modal sebesar Rp6,24 triliun.
Sayangnya, jika menilai dari arus kas operasional-nya untuk cakupan membayar utang masih kurang memadai lantaran hanya mampu mengkompensasi sekitar 17,8%,
Agar perusahaan lebih sehat setidaknya operating cash flow harus bisa memenuhi minimal 20% dari total utang-nya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut
(tsn/tsn)