NEWSLETTER

Buka Mata Pasang Telinga! 10 Bank Sentral Putuskan Suku Bunga: BI-Fed

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
Senin, 18/03/2024 06:00 WIB
Foto: Foto Dokumentasi BI, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bertemu dengan Gubernur Bank Sentral AS (The Federal Reserve) Jerome Powell
  • Pasar keuangan Indonesia kompak melemah pada pekan lalu meski IHSG sempat membuat rekor tertinggi sepanjang masa
  • Wall Street mengakhiri perdagangan di zona merah pekan lalu
  • Keputusan bank sentral RI, China, Jepang, dan juga AS akan menjadi penggerak sentimen pekan ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan kompak ditutup di zona merah pada perdagangan Jumat (15/3/2024) dan selama sepekan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup anjlok 1,42% di level 7.328,05, begitu juga dengan rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dengan turun 0,10% di level Rp15.590/US$1.

Selama sepekan, IHSG terkoreksi 0,72% sepekan meski mencatat all time high/ATH) di 7.433,315 pada Kamis (14/3/2024). Sementara itu, rupiah juga tercatat melemah tipis sebesar 0,03% terhadap dolar AS pada pekan lalu.

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih akan volatile pada pekan ini, dipengaruhi oleh banyaknya data dan agenda penting sepanjang pekan ini. Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini dan satu pekan ke depan bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman 4.

.

Pada pergerakan IHSG Jumat (15/3/2024), tercatat turnover IHSG ramai berada di angka Rp17,85 triliun, dengan volume saham sebanyak 25,69 miliar lembar. Tercatat 226 saham naik, 312 turun dan 230 tidak berubah.

Anjloknya IHSG didorong dari penurunan delapan sektor salah satunya penurunan tajam sektor keuangan 1,96% yang diisi oleh saham-saham perbankan big caps. Selain itu penurunan hebat juga terjadi di sektor basic-industry yang diisi oleh saham-saham emas, serta beberapa saham-saham milik Prajogo Pangestu juga mendorong penurunan di beberapa sektor.

Saham BBRI dan BBNI anjlok setelah masa cum date dividen berakhir. Hal ini wajar terjadi, Ketika banyak para pelaku pasar melakukan aksi taking profit setelah mendapatkan dividen saat cum date dan keluar saat ex date.

Sementara saham-saham emas berjatuhan sejalan dengan pergerakan emas di pasar spot yang turun 0,25% di level US$2.155,54 pada perdagangan Jumat (15/3/2023). Pelemahan emas terjadi saat investor menurunkan ekspektasi penurunan suku bunga Amerika Serikat (AS) setelah data selama seminggu menunjukkan tekanan harga yang menggelembung.

Indeks Harga Pordusen (producer price index/PPI) AS pada Februari lalu bergerak lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar. Panasnya data PPI bisa memicu prospek pemangkasan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Juni menyusut.

Sementara Indeks Harga Konsumen (consumer price index/CPI) AS naik 3,2% pada periode Februari, meleset dari ekspektasi pasar sebesar 3,1% yang sedikit lebih rendah dan lebih tinggi dari 3,1% pada periode Januari.

Selain itu, jumlah orang Amerika yang mengajukan klaim pengangguran mencapai 209.000 pada pekan yang berakhir 9 Maret. Nilai tersebut malah turun dibandingkan pekan sebelumnya sebesar 210.000 dan berbanding terbalik dengan konsensus yang proyeksi naik ke 218.000 klaim.

Di sisi lain,penjualan ritel AS periode Februari 2024 dengan hasil 1,5% secara tahunan (yoy), melampaui ekspektasi pasar berdasarkan data Trading Economic sebesar 1% yoy.

Beralih ke rupiah, dilansir dari Refinitiv, pada perdagangan Jumat (15/3/2024) rupiah ditutup melemah 0,10% di angka Rp15.590/US$1. Dalam sepekan kemarin, rupiah juga tercatat melemah tipis sebesar 0,03% terhadap dolar AS.

Pelemahan rupiah selain didorong dari penurunan ekspektasi suku bunga AS karena menguatnya ekonomi AS, juga terdorong dari sentimen dalam negeri, termasuk neraca perdagangan.

Pada Jumat pekan lalu (15/3/2024), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca dagang yang tercatat surplus tipis, bahkan berada jauh di bawah konsensus. Tercatat surplus neraca dagang Indonesia sebesar US$0,87 miliar, turun dibandingkan surplus Januari US$2,02 miliar.

Surplus ini juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia dari 11 instansi yang memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Februari 2024 akan mencapai US$ 2,05 miliar.

Surplus ini dipicu oleh penurunan ekspor pada Februari 2024. Nilai ekspor Februari 2024 sebesar US$19,31 miliar atau turun 9,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Di saat yang sama, impor melesat tajam. Impor migas Februari 2024 senilai US$2,98 miliar.

Surplus neraca perdagangan Indonesia Februari 2024 terutama berasal dari sektor nonmigas US$2,63 miliar yakni bahan bakar mineral lemak dan minyak hewan nabati dan besi baja, namun tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$1,76 miliar, dengan penyumbang defisit berasal dari hasil minyak dan minyak mentah.

Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan dolar AS di dalam negeri cukup tinggi, sehingga memberikan dampak yang kurang baik bagi perspektif investor. Hal ini dapat memberikan tekanan bagi mata uang Garuda.

Jika ekspor Indonesia terus tertekan, bukan tidak mungkin, neraca dagang Indonesia untuk pertama kalinya mengalami defisit dan tekanan terhadap rupiah akan semakin besar.

Sementara dari pasar obligasi Indonesia, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun naik tipis ke 6,65% pada perdagangan Jumat (15/3/2024) dari 6,64% pada perdagangan sebelumnya. Imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN).

Berdasarkan data transaksi Bank Indonesia aliran modal asing pada minggu kedua Maret 2024, premi CDS Indonesia 5 tahun per 14 Maret 2024 sebesar 67,06 bps, turun dibandingkan 8 Maret 2024 sebesar 68,32 bps.

Kemudian berdasarkan data transaksi periode 13 - 14 Maret 2024, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp21,72 triliun terdiri dari beli neto Rp12,44 triliun di pasar SBN, beli neto Rp8,91 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp0,37 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen hingga 14 Maret 2024, nonresiden jual neto Rp23,34 triliun di pasar SBN, beli neto Rp19,68 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp23,84 triliun di SRBI.

Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.


(saw/saw)
Pages