Harap Dicatat! Isu Kesehatan di Balik Program Susu Gratis:Gula Tinggi

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
06 March 2024 15:45
Ilustrasi Susu
Foto: Ilustrasi Susu (Pixabay)

Jakarta, CNBC Indonesia - Program susu gratis menjadi satu hal yang dinanti dari program Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Namun, kita perlu memahami dibalik susu terdapat isu kesehatan yang perlu kita perhatikan.

Gerakan Kesehatan dan Gizi Ibu dan Anak Indonesia (GKIA) bahkan menyatakan keprihatinan-nya dalam suatu pernyataan terbuka tentang Kedudukan Susu Sebagai Upaya "Pencegahan Stunting".

Dalam pernyataan tertulis, GKIA menyebutkan bahwa dalam peraturan Permenkes 41/2014 telah menegaskan perubahan paradigma 4 sehat 5 sempurna yang tidak relevan lagi menjadi gizi seimbang. Dengan demikian, jelas susu bukan faktor penyempurna gizi apalagi menjadi kebutuhan primer di masa pertumbuhan.

Menurut GKIA, satu-satunya asupan gizi terbaik dan terlengkap di usia 0-6 bulan adalah Air Susu Ibu (ASI). Menyusu eksklusif menjadi pedoman nasional dan direkomendasikan WHO sebagai hak anak di 6 bulan pertama kehidupannya yang berlanjut hingga 2 tahun atau lebih, disertai Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang memadai secara kualitas dan kuantitas sejak usia 6 bulan.

Isu Kesehatan di Balik Susu : Kadar Gula Tinggi

Realita susu yang beredar di pasaran saat ini terbilang cukup miris. Kadar gula yang tinggi dalam satu kemasan susu bisa meningkatkan risiko terjadinya penyakit Diabetes Militus.

Mengutip dari GKIA, studi ilmiah secara konsisten menunjukkan bahwa kandungan gula yang ada dalam susu UHT cukup tinggi. Sebagian besar produk susu baik susu cair maupun bubuk yang beredar di pasaran Indonesia memiliki kandungan gula total yang cukup tinggi yaitu antara 3,5 gr - 11,25 gr per saji (100ml) atau 13,5g per saji. Banyak pula yang mengandung lima jenis gula tambahan atau pemanis.

Selain itu, jumlah kepadatan energi, lemak jenuh, dan natrium juga cukup tinggi, sehingga tidak bisa disebut sebagai minuman bergizi. Kadar ini melanggar rekomendasi konsumsi gula tambahan untuk anak berusia di bawah 2 tahun dan melewati batas konsumsi gula untuk anak berusia di atas 2 tahun yang tidak boleh melebihi 6 sendok teh (25 gram) gula tambahan per hari

Mirisnya lagi, Riskesdas Indonesia pada 2018 mendapati tingkat konsumsi makanan dan minuman manis masih sangat tinggi di Indonesia, masing-masing mencapai 87,9% dan 91,49%.

Tingkat konsumsi gula yang tinggi patut menjadi perhatian lantaran akan meningkatkan risiko penyakit Diabetes. Penyakit ini berada diurutan tiga teratas penyebab kematian di Indonesia.

Menurut Data dari Institude for Health Metrics and Evaluation menyebutkan Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia pada 2019 yaitu sekitar 57,42 kematian per 100.000 penduduk.


Prevalensi Intoleransi Laktosa di Indonesia Tinggi

Beralih ke isu berikutnya, ternyata tidak semua orang mampu mencerna produk susu dengan baik. Hal ini disebut juga sebagai intoleransi laktosa.

Ketika seseorang tidak mampu mencerna laktosa yang terkandung dalam susu, gejala yang dirasakan bisa berupa nyeri perut, kembung, hingga diare. Gangguan lain yang bisa timbul pada anak setelah mengkonsumsi susu sapi adalah alergi susu sapi.

Menurut penelitian (Host, 2002) dikutip dari GKIA, ada sebanyak 2% - 7% bayi yang terbukti mengalami alergi susu sapi. Anak dengan alergi susu sapi ini berisiko mengalami gejala ringan susah menelan, hingga berat seperti diare, nyeri perut dan gangguan pertumbuhan. Jika terkena kulit juga berisiko mengalami dermatitis atopi.

Prevalensi gangguan pencernaan akibat intoleransi laktosa di Indonesia juga ternyata masih cukup tinggi dan meningkat sesuai pertambahan usia, yaitu sebesar 21,3% pada usia 3-5 tahun, 57,8% pada usia 6-11 tahun dan 73% pada usia 12- 14 tahun (Hegar, 2015).

World Health Organization (WHO) tidak merekomendasikan penggunaan susu formula, termasuk UHT untuk anak usia di atas dua tahun. Sejak tahun 2013, WHO telah menegaskan bahwa pemberian susu formula lanjutan tidak perlu karena kandungan gizinya tidak sesuai dengan kebutuhan anak.

Sebaliknya, agar anak tumbuh sehat, WHO menekankan pentingnya penegakan menyusui secara optimal, bukan pemberian susu formula. Program dimulai dengan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama, lalu melanjutkan pemberian ASI hingga anak berusia dua tahun atau lebih sembari memberikan makanan pendamping ASI yang bergizi alami sejak anak usia 6 bulan.

Lebih disarankan lagi untuk meningkatkan upaya promosi Menu Gizi Seimbang di kalangan anak usia sekolah dengan penekanan pada konsumsi variasi jenis makanan bergizi dari sumber bahan pangan lokal, musiman dan terjangkau, seperti buah, sayur, ikan, tempe, telur untuk menggantikan paradigma lama "4 sehat 5 sempurna" sudah tidak lagi berlaku.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation