Sejumlah Emiten Tebar Dividen Jumbo, Apakah Ampuh Jadi Booster IHSG?
- Sejumlah emiten telah mengumumkan jumlah dividen yang dibagikan ke para investor
- Para pelaku pasar menantikan testimoni Jerome Powell untuk mendapatkan petunjuk mengenai pemotongan suku bunga
- Bulan penuh RUPST bagi emiten-emiten besar seperti BBRI, BBNI, BMRI, dan BBCA
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia terpantau lesu pada penutupan perdagangan kemarin, Senin (4/3/2024). Pasar saham yang sepanjang hari 'jungkat jungkit', akhirnya ditutup di zona merah. Sementara mata uang Garuda mengikuti.
Sentimen hari ini dan agenda rilis data ekonomi serta emiten akan dibahas di halaman tiga dan empat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada akhir perdagangan Senin (4/3/2024).
IHSG ditutup melemah 0,48% ke posisi 7.276,75. IHSG pun terkoreksi kembali ke level psikologis 7.200, setelah beberapa hari bertahan di level psikologis 7.300.
Hanya ada tiga sektor yang menguat pada perdagangan kemarin yakni energi (+0,26%), material dasar (+0,24%) dan konsumer siklikal (+0,09%).
Sedangkan tujuh sektor lainnya melemah. Sektor industrial dan utilitas jadi yang paling lesu. Masing-masing mengalami degradasi 1,39% dan 1,05%.
Sementara rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,25% di angka Rp15.735/US$. Depresiasi ini berbanding terbalik dengan penguatan yang terjadi kemarin (1/3/2024) sebesar 0,1%.
Baik pasar saham maupun rupiah di tengah keraguan investor asing terhadap pasar keuangan Indonesia. Hal ini tercermin dari net sell asing yang terbilang cukup masif.
Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa investor asing tercatat melakukan jual neto Rp 2 triliun terdiri dari jual neto Rp 0,82 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp 2,64 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 1,46 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) berdasarkan data transaksi 26-29 Februari 2024.
Sementara itu investor juga tampak memiliki pandangan konservatif terhadap kondisi aman, di mana wait and see adalah jalan yang dipilih.
Sikap tidak mau ambil risiko oleh para pelaku pasar karena menanti rilis data ekonomi dua negara dengan ekonomi terbesar yakni Amerika Serikat dan China.
Jerome Powell akan menjadi orang yang paling disorot di muka bumi pekan ini. Bahkan sorotannya bisa jadi mengalahkan konser megah Taylor Swift di Singapura, terutama oleh para pelaku pasar.
Pasalnya, pernyataan sang Chairman Federal Reserve atau The Fed dinantikan sebagai sinyal atas kebijakan suku bunga selanjutnya.
Suku bunga acuan di Amerika Serikat berada pada angka 5,50%. Para pengambil kebijakan di The Fed menilai bahwa tingkat suku bunga kebijakan kemungkinan besar akan berada pada titik puncaknya dalam siklus pengetatan ini.
Meskipun demikian secara umum menyatakan bahwa mereka tidak memperkirakan akan tepat untuk menurunkan suku bunga tersebut sampai mereka memperoleh keyakinan yang lebih besar bahwa inflasi akan bergerak secara berkelanjutan menuju angka 2%.
Di sisi lain, investor juga menantikan data dari China. Sebab, China adalah mitra dagang paling erat dengan Indonesia.
Ada kabar baik dari proyeksi inflasi dan neraca dagang China. Inflasi tahunan China diperkirakan akan tumbuh sebesar 0,4% yoy. Angka tersebut lebih baik ketimbang deflasi pada Januari sebesar 0,8% yoy. Sementara inflasi bulanan diperkirakan tumbuh 0,5% mom.
Sementara dari China akan rilis data mengenai neraca perdagangan pada 7 Januari 2024. Berdasarkan konsensus yang dihimpun oleh Trading Economics, neraca dagang China diperkirakan melonjak ke US$107 miliar pada Februari.
Ekspor China tumbuh 2,5%, lebih ekspansif dari periode sebelumnya yakni 2,3%. Impor China pada periode Januari-Februari diperkirakan tumbuh 2%, lebih tinggi dari periode sebelumnya yakni 0,2%.
(ras/ras)