
3 Mata Uang Asia Ini Bisa Terbang Jika Fed Pangkas Bunga, Ada Rupiah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan memangkas suku bunganya pada tahun ini. Hal ini memberikan angin segar bagi mata uang negara lainnya.
The Fed berdasarkan dokumen dot plot terakhir yang dirilis pada Desember 2023 menunjukkan optimisme anggota komite yang memperkirakan setidaknya tiga kali penurunan suku bunga pada 2024.
Sebanyak delapan anggota memperkirakan adanya pemangkasan suku bunga setidaknya 75 bps pada tahun ini sementara lima lainnya memperkirakan pemangkasan suku bunga lebih dari 75 bps. Median ekspektasi suku bunga ada di angka 4,6% dalam dot plot terbaru.
![]() Sumber: The Fed |
Salah satu data pendukung agar terjadinya pemangkasan suku bunga yakni dari sisi inflasi (Consumer Price Index/CPI) yang semakin melandai dari puncaknya sebesar 9,1% (year on year/yoy) pada Juni 2022.
Sebagai catatan, target inflasi The Fed sendiri yakni di angka 2% dan ketika The Fed yakin inflasi dapat terus melandai ke target tersebut, maka potensi pemangkasan suku bunga akan semakin besar terjadi.
Inflasi AS menembus 3,1%(yoy) pada Januari 2024, melandai dari 3,4% pada Desember 2023 tetapi jauh di atas ekspektasi pasar (2,9%).
Sementara inflasi inti tahunan tetap stabil di angka 3,9% yoy, dibandingkan ekspektasi yang diperkirakan akan melambat menjadi 3,7% (yoy).
Secara tren, tentu inflasi AS relatif secara konsisten melandai bahkan jika dibandingkan dengan 2023.
Hingga saat ini dengan data yang ada, survei pelaku pasar yang tercermin dari CME FedWatch Tool menunjukkan potensi first cut rate terjadi pada Juni 2024 dengan 54,3% dan hingga akhir tahun, pelaku pasar berekspektasi suku bunga The Fed berada di rentang 4,25,4,50%.
![]() Sumber: CME FedWatch Tool |
Secara umum, pemangkasan suku bunga The Fed ini memberikan dampak positif bagi mata uang negara lain karena apresiasi indeks dolar AS (DXY) akan semakin berkurang sehingga mata uang negara lainnya, termasuk mata uang Asia dapat mengalami penguatan.
Beberapa mata uang Asia ini yang dikutip dari CNBC International diperkirakan akan menerima kenaikan pasca pelonggaran kebijakan moneter The Fed.
Rupee India
Rupee India bisa mendapatkan keuntungan dari carry trade tahun ini, sebuah strategi di mana pedagang meminjam mata uang dengan imbal hasil rendah seperti dolar AS untuk membeli aset dengan imbal hasil tinggi seperti obligasi.
"Banyak carry trade terhadap mata uang lain seperti yen atau euro, tetapi begitu suku bunga di AS turun, kita akan melihat perbedaan suku bunga melebar sehingga memungkinkan terjadinya carry trade. Jadi hal tersebut juga berdampak positif bagi mata uang India," kata Anindya Banerjee, wakil presiden penelitian mata uang dan derivatif di Kotak Securities.
Rupee juga bisa menguat di tengah harapan Reserve Bank of India (RBI) akan melonggarkan kebijakan moneternya lebih lambat dibandingkan bank sentral lainnya.
Banerjee mencatat bahwa laju penurunan suku bunga RBI akan "jauh lebih lambat" dibandingkan dengan The Fed dan "akan selalu tertinggal secara signifikan dari The Fed karena India tidak memiliki masalah inflasi yang sama seperti yang dialami Eropa atau Amerika."
"Alasannya sederhana, karena kebijakan fiskal berjalan dengan baik, perekonomian berjalan sangat baik dan mereka tidak ingin terjadi overheating pada saat ini," kata Banerjee.
Dilansir dari Refinitiv, rupee India hingga 19 Februari 2024 secara year to date/ytd menguat 0,19% terhadap dolar AS.
Won Korea Selatan
Won Korea Selatan telah berada di bawah tekanan selama tiga tahun terakhir, namun prospek ekonomi yang membaik dan kebijakan The Fed yang lebih longgar akan membantu meringankan tekanan tersebut pada tahun 2024.
"Sebagai mata uang dengan imbal hasil rendah dan sangat bersiklus, kami pikir won Korea akan menjadi salah satu penerima manfaat utama dari siklus pelonggaran The Fed pada paruh kedua tahun ini karena penurunan suku bunga AS tidak hanya akan mengurangi tekanan pada KRW melalui jalur suku bunga, tetapi juga akan mengarah pada peningkatan prospek pertumbuhan global," kata Harvey dari Monex.
Lebih lanjut, Harvey juga menyatakan bahwa kenaikan won juga akan ditentukan oleh sejauh mana pemotongan suku bunga yang dilakukan The Fed. Dia memperkirakan mata uang bisa menguat antara 5% dan 10% jika siklus pelonggaran sangat dalam, dan sedikitnya 3% jika siklusnya terbukti dangkal.
Yuan China
Perekonomian China memang sedang cukup sulit. Hal ini berdampak pada melemahnya kepercayaan khususnya investor asing untuk berinvestasi di China. Alhasil mata uang China pun longsor secara signifikan.
Menghadapi hal tersebut, pemerintah China telah mencoba menstabilkan yuan terhadap dolar AS di masa lalu dan diperkirakan akan terus melakukannya, menurut Arun Bharath, kepala investasi di Bel Air Investment Advisors.
"Para pembuat kebijakan dinilai akan lebih agresif dalam stimulus fiskal, pertumbuhan kredit, dan menopang nilai properti," kata Bharath.
Jika The Fed mulai menurunkan suku bunga pada musim panas, hal ini kemungkinan akan mempersempit perbedaan imbal hasil antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan mengurangi tekanan pada yuan China.
Bank Rakyat China (PBoC) adalah pemain utama dalam mengelola mata uang, yang menurut Simon Harvey, kepala analisis FX di Monex, dapat dilakukan melalui penetapan harian, langkah-langkah likuiditas, saluran regulasi, dan menginstruksikan bank-bank pemerintah untuk melakukan intervensi.
Metode terakhir adalah China dapat memanfaatkan cadangan devisanya dalam bentuk dolar AS meskipun saat ini tidak diketahui berapa jumlahnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)