
Mirip Roller Coaster! Setelah Terbang, Harga Batu Bara Kembali Jeblok

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kembali terkoreksi setelah sempat terbang 4%. Penurunan ini terjadi seiring dengan lonjakan produksi batu bara Indonesia dan India 2024 sehingga membanjiri pasokan.
Menurut data dari Refinitiv, pada perdagangan Rabu (31/1/2024), harga batu bara ICE Newcastle kontrak Maret ditutup di angka US$ 118,1 per ton atau melemah 1,99%. Pelemahan ini berbanding terbalik dengan lonjakan harga 4,3% pada perdagangan Selasa.
Penurunan harga batu bara terjadi seiring dengan pasokan batu bara yang melimpah di Indonesia dan India yang memainkan berkontribusi signifikan dalam penurunan harga tersebut.
Diperkirakan produksi batu bara kedua negara tersebut akan terus meningkat sepanjang 2024. Dengan semakin besarnya produksi kedua negara tersebut akan menjadikan adanya kebanjiran pasokan di pasar global.
Beralih ke China, kapasitas terpasang tenaga angin dan surya Tiongkok diprediksi akan melampaui kapasitas batu bara untuk pertama kalinya pada tahun ini.
Menurut China Electricity Council (CEC) yang dikutip dari Reuters, tenaga angin dan surya yang terhubung ke grid akan menyumbang sekitar 40% dari kapasitas pembangkit listrik yang terpasang pada akhir 2024, sedangkan batu bara diperkirakan hanya mencapai 37%.
Meskipun terjadi peningkatan kapasitas energi baru terbarukan di Tiongkok, batu bara masih mendominasi sektor pembangkit listrik dengan memberikan hampir 60% dari konsumsi listrik pada tahun sebelumnya. CEC mengimbau pemerintah untuk mengembangkan sistem pembayaran kapasitas guna mendorong penggunaan penyimpanan energi baru, seperti baterai, serta mempercepat pembangunan penyimpanan hidro yang lebih efisien.
Sementara itu, harga listrik Australia turun pada akhir 2023 karena penurunan generasi batu bara dan gas. Pembangkit listrik tenaga angin dan surya mencapai rekor tertinggi sebesar 26% dari total produksi listrik di pasar listrik nasional dari Oktober - Desember.
Meskipun harga listrik turun, Australian Energy Regulator (AER) memperingatkan bahwa negara tersebut tetap rentan terhadap lonjakan harga energi jika gelombang panas melanda dari Januari - Maret, dikutip The Mandarin.
Sementara itu, emisi gas rumah kaca Amerika Serikat turun 1,9% pada 2023, didorong oleh penurunan penggunaan batu bara dalam produksi listrik. Melansir WarpNews, kontribusi produksi listrik batu bara turun menjadi 17%, lebih rendah dari tenaga nuklir dan energi terbarukan.
Meski begitu, sektor transportasi dan industri mengalami peningkatan emisi, menunjukkan tantangan dan kemajuan dalam sektor tersebut. Besarnya penggunaan EBT di berbagai negara menjadikan penggunaan batu bara yang semakin berkurang, sehingga harga turut mengalami koreksi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)