4 Penguasa Dunia Ekosistem Kendaraan Listrik, Siapa Lawan Terberat RI?

mza, CNBC Indonesia
31 January 2024 15:40
RI Menguasai 'Harta Karun' Ini, Eropa Dibuat Panas Dingin
Foto: Infografis/ RI Menguasai 'Harta Karun' Ini, Eropa Dibuat Panas Dingin/Aristya rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan minat global terhadap kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) membuat sejumlah negara berlomba-lomba menjadi pemimpin dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.

Data dari International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahwa komoditas kritis seperti grafit, tembaga, nickel, mangan, cobalt, dan lithium memainkan peran utama dalam pembuatan kendaraan listrik, dengan China menjadi pemain dominan dalam rantai pasok global.
Negara-negara yang memiliki sumber daya alam tersebut kini berlomba menjadi pemain besar dalam ekosistem EV, termasuk Indonesia.

Kepemilikan besar berbagai komoditas tersebut dapat menjadikan sebuah negara berkontribusi dalam pengembangan EV. Selain dari sisi hulu, pengembangan EV dapat dilakukan oleh negara yang mampu mengolah komoditas tersebut menjadi bagian dari kendaraan listrik.

 

1. China: Penguasa Kendaraan Listrik

Tidak dapat disangkal bahwa China adalah pemimpin tak tertandingi dalam industri kendaraan listrik.

Dengan menguasai 68% tanah jarang (rare earths), 17% lithium, dan 70% graphite, China memiliki kontrol yang kuat dalam rantai pasok bahan baku penting untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.

Langkah-langkah strategis jangka panjang, seperti investasi di tambang di seluruh dunia, memberikan China keunggulan dalam persediaan mineral yang diperlukan.

Selain itu, China juga memonopoli proses pemurnian mineral, menguasai 95% dari proses pemurnian manganese, 73% cobalt, 70% graphite, 67% lithium, dan 63% nickel. Hal ini menandakan kuatnya rantai pasok juga diikuti dengan hilirisasi yang serius.

China juga telah memiliki kemampuan teknologi yang memadai hingga mampu memproduksi hingga menjadi produk akhir yaitu EV. Keunggulan ini memberikan China kemampuan untuk memproduksi bahan baku baterai dengan volume besar dan biaya rendah hingga produk jadi, sementara produsen di luar China kesulitan untuk bersaing.

2. Chile: Langkah Interoperabilitas Infrastruktur Pengisian Kendaraan Listrik

Chile, dengan produksi tembaga dan lithium terbesar di dunia mencapai 24% dan 26% dari total dunia, secara aktif terlibat dalam membangun infrastruktur pengisian kendaraan listrik.

Melansir BizLatinHub, Chile memiliki cadangan sekitar 8 juta ton litium, menjadikan salah satu negara dengan litium terbanyak di dunia. Pada 2018, Chili mengekspor litium senilai US$948 juta, peningkatan tajam dalam ekspor yang membuat industri kendaraan listrik lepas landas.

Produsen kendaraan listrik harus menjaga kesepakatan perdagangan yang baik dengan Chile, mengingat mereka sedikit banyak memegang monopoli atas komponen baterai penting ini.

Kekuatan Chile mengundang Tesla untuk masuk dalam ekosistem EV di Chile dengan mendaftarkan Tesla Chile mencakup "impor, ekspor, manufaktur, pemasaran, distribusi dan penjualan kendaraan, khususnya kendaraan listrik," mengutip Reuters.

Pada 2021, pemerintah Chile mengeluarkan undang-undang untuk meningkatkan interoperabilitas dan standar pengisian kendaraan listrik. Inisiatif Chile dapat menjadikannya sebagai negara yang memiliki keunggulan ekosistem EV dari segi infrastruktur pengisian daya. 

Langkah ini diharapkan dapat mempercepat adopsi kendaraan listrik dan menciptakan ekosistem yang dapat membawa Chile menuju emisi nol.

3. Republik Demokratik Kongo: Raja Cobalt Dunia

Republik Demokratik Kongo menjadi pusat perhatian internasional dalam pengembangan baterai kendaraan listrik. Dengan 74% menguasai produksi kobalt global, Kongo menandatangani perjanjian dengan Amerika Serikat untuk mengembangkan rantai pasok baterai.

Tidak hanya itu, besarnya potensi komoditas kobalt Kongo juga menarik perhatian Pembuat baterai asal Swedia, Northvolt

Tidak hanya itu, Kongo juga memproduksi 10% tembaga dunia. Namun, tantangan serius seperti pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kerja anak di tambang-tambangnya, memerlukan solusi seiring dengan perkembangan industri ini.

4. Indonesia: Powerhouse Produksi Nikel dan Kobalt

Indonesia, sebagai salah satu pemain utama dalam produksi nikel dan kobalt, memiliki posisi strategis dalam ekosistem kendaraan listrik. Dengan 49% produksi nikel global dan 5% produksi kobalt, Indonesia memiliki peluang besar untuk berkontribusi pada pasokan global bahan baku untuk baterai kendaraan listrik.

Sekitar 69 juta ton nikel telah diproduksi di Indonesia pada 2021. Sektor pertambangan telah menjadi salah satu sektor utama yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade.

Besarnya produksi nikel Indonesia pada 2021 terjadi seiring dengan upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi birokrasi di sektor pertambangan guna meningkatkan daya saing perekonomian negara.

Pengeluaran eksplorasi mengalami stagnasi selama beberapa tahun. Perusahaan pertambangan Indonesia telah mengalihkan perhatian mereka dari peningkatan produksi dan pengembangan ke pemotongan belanja operasional dan fokus pada deposit mineral yang lebih mudah ditambang, sekaligus membatasi belanja modal.

Melansir Statista, Indonesia memproduksi nikel sebanyak 69 juta ton pada 2021. Tembaga sebagai komponen yang tidak kalah penting telah memproduksi bijih 2,43 juta ton dan konsentrat tembaga sebesar 3,25 juta ton. Data menunjukkan komoditas mineral kritis Indonesia yang termasuk dalam top 3 negara dengan produksi terbesar yaitu nikel dan kobalt. Indonesia memproduksi 49% nikel dunia dan 5% kobalt global.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan sepanjang tahun 2023 lalu realisasi produksi bijih nikel RI hampir mencapai 200 juta ton, persisnya sebesar 193,5 juta ton.

Hal itu seperti yang diungkapkan oleh Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Ing Tri Winarno. Dia menyebutkan sepanjang tahun 2023 produksi bijih nikel mencapai 193,5 juta ton.

Bahkan, dia memproyeksikan pada tahun 2024 ini produksi bijih nikel akan kembali meningkat dari tahun 2023 lalu.

Meskipun demikian, pemerintah perlu memastikan bahwa pertumbuhan industri ini tidak merugikan hak asasi manusia dan lingkungan.

Tantangan Global: Ketergantungan pada China dan Isu Hak Asasi Manusia

Meskipun upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada China dalam produksi baterai kendaraan listrik, tantangan besar tetap ada. China tetap menjadi penguasa dominan dalam semua tahap produksi, mulai dari pertambangan hingga produksi baterai dan kendaraan listrik.

Isu-isu hak asasi manusia, terutama di tambang-tambang mineral di negara-negara seperti RDK, menunjukkan bahwa kemajuan industri kendaraan listrik harus diiringi dengan komitmen serius terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.

Produksi dan pemanfaatan mineralFoto: Kementerian ESDM
Produksi dan pemanfaatan mineral

 

Sebagai negara-negara mencoba bersaing dan berkolaborasi dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik, keberlanjutan, inovasi, dan keseimbangan dengan tanggung jawab sosial akan menjadi kunci kesuksesan. Masing-masing negara memiliki peran penting dalam membangun masa depan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk industri kendaraan listrik.



CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected] 

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation