AS Sokong Vietnam Jadi Raksasa Logam Tanah Jarang, Gimana Nasib RI?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
29 January 2024 17:55
Ilustrasi Bendera Vietnam. Ist
Foto: Ilustrasi Bendera Vietnam. Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Vietnam kini tengah mengupayakan pengembangan industri logam tanah jarang di tengah lonjakan pemintaan global terhadap mineral-mineral tersebut untuk kendaraan listrik (EV). Inisiatif ini mendapat dukungan dari Amerika Serikat (AS) selaku raksasa ekonomi global.

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara penguasa hulu industri EV juga memiliki peluang mengembangkan industri ini. Lantas, bagaimana nasib industri EV Indonesia sebagai negara yang masih berdekatan dengan Vietnam?

Menurut Survei Geologi Amerika Serikat, Vietnam memiliki cadangan logam tanah jarang terbesar kedua di dunia setelah China, dengan estimasi sekitar 22 juta ton atau sekitar 19 persen dari cadangan dunia yang diketahui.

Meskipun telah banyak upaya untuk mengembangkan industri logam tanah jarang, termasuk kolaborasi dengan investor Jepang pada awal 2010-an, kemajuan yang signifikan belum tercapai, dan Vietnam belum berhasil meluncurkan industri logam tanah jarang.

Namun, tampaknya ada perubahan yang cepat. Pada bulan Juli, pemerintah Vietnam merilis rencana induk untuk sektor mineral yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan memproses lebih dari 2 juta ton bijih logam tanah jarang pada tahun 2030, serta memproduksi hingga 60.000 ton oksida logam tanah jarang setara per tahun.

Pada 18 Oktober, Akademi Sains dan Teknologi Vietnam bersama Kementerian Sains dan Teknologi menggelar konferensi untuk membahas perkembangan industri logam tanah jarang. Vietnam juga berencana untuk mengadakan lelang hak penambangan untuk beberapa area di Dong Pao, tambang logam tanah jarang terbesar di negara tersebut, sebelum akhir tahun ini.

Berbeda dengan industri ekstraktif lainnya seperti minyak dan gas atau batu bara, industri logam tanah jarang, meskipun penting secara strategis, masih relatif kecil.

Menurut Research Nester, pasar logam tanah jarang global pada 2022 bernilai sekitar US$10 miliar atau sekitar Rp 158,05 triliun (US$1= Rp 15.805) dan diperkirakan akan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 8% untuk mencapai total pendapatan sebesar US$20 miliar pada 2035 (Rp 316,1 triliun).

Jika Vietnam berhasil mengembangkan industri logam tanah jarangnya untuk mencapai 10% pangsa pasar global pada saat itu, potensinya dapat menghasilkan pendapatan tahunan sekitar US$2 miliar.

Namun, keuntungan potensial ini dapat lebih rendah signifikan jika semua biaya produksi diperhitungkan. Keuntungan ekonomi yang relatif kecil ini, ditambah dengan kurangnya teknologi yang sesuai dan kekhawatiran lingkungan, mungkin telah menunda upaya Vietnam sebelumnya untuk mengembangkan industri ini.

Dukungan Proyek Logam Tanah Jarang Vietnam dari AS

Upaya terbaru Vietnam untuk mengembangkan industri ini diharapkan dapat memberi manfaat strategis beberapa negara raksasa ekonomi, terutama dalam konteks rivalitas antara AS dan China yang semakin intens.

Jika Vietnam dapat berhasil mengembangkan industri logam tanah jarangnya dan menjadi pemasok yang dapat diandalkan bagi Amerika Serikat dan sekutunya, ini akan secara signifikan meningkatkan posisi Hanoi di Washington dan pertimbangan strategis sekutu-sekutunya.

Saat ini, China menyumbang 63% dari produksi logam tanah jarang di dunia, 85% dari pengolahan logam tanah jarang, dan 92% dari produksi magnet logam tanah jarang. Oksida logam tanah jarang serta paduan dan magnet logam tanah jarang yang dikendalikan oleh China adalah komponen penting dalam industri elektronik, kendaraan listrik, dan turbin angin.

Komoditas ini juga sangat penting untuk produksi persenjataan canggih, termasuk misil, radar, dan pesawat terbang siluman. Hal ini telah menyebabkan ketergantungan yang berisiko bagi AS dan sekutunya terhadap ekspor logam tanah jarang dari China.

Saat ini, AS, misalnya, mendapatkan sekitar 74 persen dari impor logam tanah jarangnya dari China. Pada 2010, China diduga memberlakukan larangan ekspor logam tanah jarang ke Jepang karena perselisihan maritim, yang meningkatkan kemungkinan larangan serupa terhadap ekspor ke Amerika Serikat.

Sejak Agustus 2023, China telah membatasi ekspor germanium dan gallium, yang merupakan komponen penting dari beberapa produk teknologi tinggi, lebih lanjut memicu kekhawatiran di AS. Berbagai negara maju telah berusaha untuk mendiversifikasi pasokan logam tanah jarang jauh dari China.

Selain menghidupkan kembali tambang logam tanah jarangnya sendiri, Amerika Serikat juga meningkatkan kerja sama dengan Vietnam untuk mengembangkan pasokan alternatif.

Selama kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Hanoi pada September 2023, kedua negara menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) untuk membantu Vietnam mengukur sumber daya logam tanah jarangnya dan potensi ekonominya, serta menarik investasi berkualitas untuk sektor tersebut.

Emily Blanchard, Ekonom Kepala Departemen Luar Negeri AS, menyatakan selama kunjungannya ke Hanoi bahwa AS melihat Vietnam sebagai mitra kunci dalam menjamin keamanan mineral, dan siap mendukung Vietnam dalam mempersiapkan lelang untuk tambang logam tanah jarangnya, serta memberikan bantuan teknis untuk membantu mengembangkan industri tersebut.

Beberapa sekutu AS juga menunjukkan minat untuk bekerja sama dengan Vietnam untuk menggali potensi logam tanah jarangnya. Selama kunjungan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol ke Hanoi pada Juni, kedua negara menandatangani MOU untuk mendirikan pusat rantai pasok bersama untuk logam tanah jarang dan mineral seperti tungsten, guna memastikan rantai pasok yang dapat diandalkan bagi perusahaan Korea.

Beberapa investor Australia, termasuk Blackstone, juga menyatakan niat mereka untuk mengajukan penawaran untuk hak penambangan di tambang Dong Pao. Jika Vietnam dapat berhasil mengembangkan industri logam tanah jarangnya dan menjadi pemasok yang dapat diandalkan bagi AS dan sekutunya, ini akan secara signifikan meningkatkan posisi Vietnam di mata sekutunya.

Pada jangka panjang, industri ini juga dapat membawa negara manfaat ekonomi potensial lainnya, termasuk integrasi ke dalam rantai pasok global untuk produk-produk high-tech, yang penting bagi ambisi Vietnam untuk menjadi ekonomi berindustri tinggi pada tahun 2045.

Bagaimana Nasib RI?

Pengembangan industri EV di Vietnam yang mendapat dukungan AS nampaknya lebih terfokus pada komoditas logam tanah jarang. Persoalan ini diperkirakan tidak menjadi persoalan signifikan untuk industri hilirisasi EV Indonesia. Hal ini disebabkan oleh Indonesia yang lebih terfokus pada hilirisasi baterai kendaraan listrik (BEV). 

Data terbaru menunjukkan produksi komoditas mineral kritis Indonesia cukup besar. Berikut data lengkap dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia (2019-2023). Namun demikian, untuk data produksi katoda tembaga dan Nickel Pig Iron (NPI) hanya ada sampai 2021, sementara data 2022-2023 tidak disebutkan.

Melansir International Energy Agency (IEA), data menunjukkan terdapat beberapa komponen mineral penting dalam pengembangan mobil listrik. Grafit merupakan komponen terbesar yang digunakan mencapai 66,3 kg per kendaraan. Terdapat juga mineral penting lainnya, seperti lithium, nikel, kobalt, dan mangan.

Selain itu, unsur tanah jarang sangat penting untuk magnet permanen yang vital bagi turbin angin dan motor kendaraan listrik (EV). Jaringan listrik membutuhkan jumlah besar tembaga dan aluminium, dengan tembaga menjadi pondasi untuk semua teknologi terkait listrik.

Data menunjukkan komoditas mineral kritis Indonesia yang termasuk dalam top 3 negara dengan produksi terbesar yaitu nikel dan kobalt. Indonesia memproduksi 49% nikel dunia dan 5% kobalt global.

Sekitar 69 juta ton nikel telah diproduksi di Indonesia pada 2021. Sektor pertambangan telah menjadi salah satu sektor utama yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade. Besarnya produksi nikel Indonesia pada 2021 terjadi seiring dengan upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi birokrasi di sektor pertambangan guna meningkatkan daya saing perekonomian negara.

Selama kurun waktu 13 tahun, produksi tambang nikel di Indonesia meningkat delapan kali lipat. Namun pasokan nikel global kemungkinan akan meningkat seiring dengan berjalannya proyek nikel di Indonesia dan pemulihan izin tambang nikel yang sebelumnya ditangguhkan di Filipina.

Melansir Statista, Indonesia memproduksi nikel sebanyak 69 juta ton pada 2021. Tembaga sebagai komponen yang tidak kalah penting mampu memproduksi bijih 2,43 juta ton dan konsentrat tembaga sebesar 3,25 juta ton.

Jumlah produksi bijih nikel RI semakin melejit. Bahkan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM, sepanjang tahun 2023 lalu realisasi produksi bijih nikel RI hampir mencapai 200 juta ton, persisnya sebesar 193,5 juta ton. Pemicunya, karena semakin banyak fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang beroperasi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected] 

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation