Begini Stimulus China di 2024 Guna Topang Ekonominya

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
21 January 2024 15:00
Chinese President Xi Jinping. (REUTERS/FLORENCE LO)
Foto: (REUTERS/FLORENCE LO)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China pada tahun 2023 telah melampaui target, tumbuh 5,2% secara tahunan (yoy), mencapai total RMB 126,06 triliun (US$17,52 triliun) menurut perkiraan dari Biro Statistik Nasional China (NBS).

Namun hal tersebut masih menunjukkan bukti bahwa negara tersebut masih mengalami deflasi yang terus-menerus, krisis yang sedang berlangsung di pasar real estate, tingginya pengangguran kaum muda, dan penurunan populasi dalam jangka panjang.

Data ekonomi tersebut dirilis hanya beberapa hari setelah sebuah laporan mengungkapkan bahwa ekspor China mengalami penurunan sebesar 4,6% pada 2023, penurunan secara tahunan pertama sejak 2016.

Pemerintah berusaha memberikan pandangan positif terhadap data tersebut, dengan melaporkan bahwa "perekonomian nasional mengalami momentum pemulihan, pasokan dan permintaan terus meningkat, transformasi dan peningkatan berjalan dengan baik, lapangan kerja dan harga-harga secara umum stabil, kesejahteraan masyarakat sangat baik, dan dijamin secara efektif, kemajuan yang stabil telah dicapai dalam mewujudkan pembangunan berkualitas tinggi, dan target-target utama yang diharapkan telah tercapai dengan baik."

Namun, pasar keuangan tidak yakin. Indeks saham utama yang melacak perusahaan-perusahaan China anjlok pada hari Rabu kemarin, dengan Indeks Hang Seng China Enterprises merosot hampir 4%. Indeks ini turun 11% sejak akhir tahun 2023 dan 27% dari tahun ke tahun.

Sehari sebelum rilis data tersebut, Perdana Menteri China Li Qiang dalam pidatonya di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss mengumumkan bahwa target pertumbuhan pemerintah sebesar sekitar 5% telah terlampaui pada tahun 2023.

Para ekonom yakin China akan kesulitan mempertahankan tingkat pertumbuhan pada tahun 2023 pada tahun ini. Proyeksi terbaru Bank Dunia, misalnya, pertumbuhan ekonomi China diprediksi akan melambat menjadi 4,5% pada tahun 2024.

China Masih Dihantui Deflasi

Data yang dirilis pada hari Rabu kemarin menunjukkan bahwa pada periode Desember, untuk bulan ketiga berturut-turut, harga konsumen turun di China. Hal ini terjadi meskipun ada penurunan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Rakyat China, yang dimaksudkan untuk memacu konsumsi dan menaikkan harga.

Walaupun hal ini tampak seperti perkembangan positif bagi konsumen, deflasi yang terus-menerus dapat berdampak buruk secara ekonomi karena mengurangi insentif yang dimiliki dunia usaha untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa. Hal ini pada gilirannya mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat lapangan kerja.

Pemerintah China telah memberikan sinyal yang beragam mengenai apakah dan bagaimana mereka akan memberikan stimulus ekonomi untuk membantu meningkatkan permintaan dan menekan deflasi harga. Diketahui, para pemimpin China kini sedang mempertimbangkan kemungkinan menerbitkan obligasi senilai 1 triliun yuan, atau sekitar US$139 miliar, sebagai stimulus tambahan.

Pasar Properti China

Pasar properti di China terus mengalami kesulitan, dengan sejumlah perusahaan pengembang besar mengalami kesulitan keuangan yang signifikan dan harga properti riil anjlok.

Pada tahun lalu, beberapa perusahaan pengembang properti besar mengalami keterlambatan pembayaran obligasi dan dalam beberapa kasus, mengalami gagal bayar (default). Dalam banyak kasus, pelanggan yang telah membayar di muka untuk apartemen melihat proyek konstruksi terhenti tanpa ada indikasi kapan proyek tersebut akan dimulai kembali. Krisis ini telah membuat rakyat China semakin enggan berinvestasi di bidang real estate, dan keengganan tersebut juga terlihat jelas di sektor properti komersial.

Dari tahun ke tahun, investasi dalam pengembangan real estate menurun sebesar 9,6%. Total meter persegi penjualan real estat komersial turun sebesar 8,5%, sedangkan total nilai moneter transaksi real estat komersial turun sebesar 6,5%.

Pengangguran China

Awal tahun ini, setelah pemerintah China melaporkan bahwa tingkat pengangguran di kalangan generasi muda China telah melonjak hingga lebih dari 21% pada bulan Juni, Beijing menghentikan pengungkapan data tersebut. Pada saat itu, pemerintah mengatakan perlu meningkatkan praktik pengumpulan dan pengukuran data.

Angka pengangguran kaum muda muncul kembali dalam laporan hari Rabu kemarin dan jauh lebih rendah dibandingkan enam bulan sebelumnya, yaitu sebesar 14,9%.

Setidaknya sebagian dari penurunan ini didorong oleh jenis data yang kini dipilih oleh pemerintah untuk dilacak. Di masa lalu, pelajar yang mencari pekerjaan paruh waktu tetapi tidak dapat menemukannya termasuk dalam pengangguran. Kini, hanya mereka yang tidak bersekolah, atau sudah lulus, yang dihitung sebagai pengangguran.

Stimulus Ekonomi China Tahun 2024

China sedang mempertimbangkan penerbitan utang baru (obligasi) sebesar 1 triliun yuan (US$139 miliar) berdasarkan rencana obligasi negara khusus, yang merupakan penjualan keempat dalam 26 tahun terakhir. Hal ini guna mencari lebih banyak dana untuk membiayai upaya intensif untuk menopang perekonomian negara tersebut.

Proposal yang sedang dibahas oleh para pembuat kebijakan senior akan melibatkan penjualan obligasi negara ultra-panjang untuk mendanai proyek-proyek yang berkaitan dengan pangan, energi, rantai pasokan dan urbanisasi.

Penjualan obligasi seperti ini sebelumnya jarang terjadi, sebagai contoh setelah Krisis Keuangan Asia pada tahun 1998, pemerintah menerbitkan utang khusus untuk menambah modal bank-bank besar milik negara. Penjualan terbaru terjadi pada tahun 2020, ketika pihak berwenang menerbitkan obligasi tersebut senilai 1 triliun yuan untuk membayar langkah-langkah respon pandemi.

Pertimbangan tersebut menggarisbawahi upaya pemerintahan Presiden Xi Jinping untuk mengalihkan tanggung jawab belanja dari pejabat daerah yang terlilit utang ke pemerintah pusat untuk mendukung perekonomian yang sedang berjuang untuk mempertahankan momentum. Tekanan deflasi yang membandel, krisis properti yang sedang berlangsung, dan lemahnya permintaan domestik semuanya membebani aktivitas dan menekan kepercayaan, sehingga mendorong seruan di kalangan ekonom dan investor untuk melakukan stimulus lebih lanjut.

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation