Swasembada Gula Terancam Cuma Mimpi, Tanda-tandanya Sudah Muncul

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
19 January 2024 16:35
Kebun tebu. (Dok. holding-perkebunan)
Foto: Kebun tebu. (Dok. holding-perkebunan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Terjadi anomali di Industri gula Tanah Air, dalam 10 tahun terakhir produksi gula turun sementara konsumsi terus naik, ini membuat pasokan gula dalam negeri kurang yang memaksa industri harus impor dalam jumlah besar. Padahal, luas lahan semakin meningkat tetapi produktivitas yang berhasil mengimbangi.

Muncul Gejala Anomali

Melansir data dari National Sugar Summit (NSS) yang diselenggarakan pada 13 Desember 2023 lalu, menunjukkan data produksi gula selama kurang lebih satu dekade terakhir dalam tren penurunan, ini berbanding terbalik dengan konsumsi yang selalu meningkat. ,

Seperti terlihat pada grafik di atas, produksi gula mencapai 2,4 juta ton 2022, kalah jauh dengan konsumsi gula yang mencapai 3,21 juta ton pada periode yang sama. Produksi yang rendah membuat pasokan gula kurang untuk mencukupi kebutuhan domestik, akhirnya industri harus melakukan impor.

Hingga akhir 2022, menurut data statistik tebu yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia melakukan impor hingga 6 juta ton. Berdasarkan asal pemasok, ada 17 negara yang melakukan ekspor gula ke RI, dari jumlah tersebut Thailand menempati posisi teratas, dengan porsi mencapai 40,26%. Kemudian disusul India, Brazil, dan Australia.

Anomali Kedua : Luas Lahan Tebu Meningkat, Produktivitas Malah Turun

Padahal, luas lahan tebu selama satu dekade ini selalu meningkat, tetapi belum bisa disertai produktivitas belum efektif. Ini terjadi lantaran kurangnya penerapan teknologi pada perkebunan tebu, ketersediaan tenaga kerja kurang, faktor iklim, hingga pabrik gula di RI yang mayoritas berusia tua.

Menurut data yang dilaporkan NSS, luas lahan perkebunan tebu selama 10 tahun terakhir dalam tren yang terus naik. Pada 2022 saja luas lahan tebu di seluruh Indonesia mencapai 490 ribu ha, hingga 2023 luas lahan diperkirakan masih akan terus meningkat hingga 505 ribu ha.

Peningkatan luas lahan seharusnya membuat jumlah tanaman meningkat sehingga yang dipanen untuk produksi harusnya ikut naik.

Namun, realitas berbicara berbeda lantaran produksi yang semakin turun. Hal ini semakin tercermin pada tingkat produktivitas yang ikut turun. Pada akhir 2023, NSS memproyeksikan tingkat produktivitas pada setiap satu hektar perkebunan hanya akan menghasilkan 61,5 ton gula. Ini akan menandai produktivitas terendah dalam satu dekade.

Persoalan produktivitas yang turun, persoalan yang pertama kali muncul adalah dari perkebunan terlebih dahulu. Permasalahan yang paling nyata terjadi di industri gula terutama dari tingkat pertanian adalah ketergantungan pada iklim.

Gula merupakan salah satu komoditas yang punya ketergantungan pada iklim. Fenomena iklim seperti El Nino yang berlangsung panjang berpotensi mengganggu masa panen tebu dan selanjutnya berdampak pada ketersediaan stok gula di dalam negeri.

Selain itu, penerapan teknologi yang mumpuni dalam industri gula belum efektif dilakukan di perkebunan tebu hingga pabrik gula Tanah Air. Apalagi, pabrik gula di Indonesia ternyata banyak yang usia-nya sudah tua,

Sebagai contoh saja pada sepanjang 2016, total pabrik gula yang dimiliki BUMN baik yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) sebagai holding company‎ dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) ada sebanyak 45 pabrik. Mirisnya, dari jumlah tersebut mayoritas pabrik sudah berusia di atas 100 tahun.

Oleh karena itu, diperlukan bantuan pemerintah guna menjalankan upaya revitalisasi pabrik gula dan penggilingan tebu yang harapannya bisa meningkatkan tingkat produktivitas agar Indonesia semakin mendekati swasembada pangan terutama dari gula.

Swasembada Gula Tampaknya Masih Lama Terjadi

Berbicara swasembada terutama untuk komoditas pangan gula, nampaknya masih akan lama terjadi, lantaran tingkat konsumsi yang tinggi Indonesia masih bertengger di posisi enam teratas secara global.

Impor gula Indonesia juga nilainya naik lebih dari dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Melansir laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), dengan pertumbuhan populasi Indonesia yang meningkat, disertai tingkat konsumsi yang tinggi akan terus meningkatkan permintaan gula.

"Konsumsi diperkirakan akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi dan peningkatan permintaan dari industri makanan dan minuman," tulis USDA dalam laporannya.

Berdasarkan data USDA, Indonesia kini menjadi negara dengan konsumsi gula global terbesar keenam di dunia, yang konsumsinya mencapai 7,8 juta metrik ton sepanjang tahun 2022 untuk akumulasi gula konsumsi dan industri.

Adapun negara dengan konsumsi gula terbanyak di dunia ditempati India, yang tercatat mengonsumsi gula sebanyak 29,5 juta metrik ton pada 2022. Kemudian diikuti Uni Eropa dan Tiongkok dengan konsumsi gula masing-masing sebesar 17 juta metrik ton dan 15,5 juta metrik ton pada periode yang sama.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation