Bos JP Morgan & Goldman Sach Kompak Sebut Ekonomi AS Bikin Was-Was

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
18 January 2024 16:00
The United State flag is silhouetted against the setting sun Sunday, May 28, 2017, in Leavenworth, Kan. (AP Photo/Charlie Riedel)
Foto: Bendera Amerika Serikat (AP Photo/Charlie Riedel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Amerika Serikat (AS) yang memanas bisa menahan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) untuk melakukan pivot kebijakan dari hawkish ke dovish. Kondisi ini ditambah risiko geopolitik yang bisa berimbas pada inflasi dan tingkat utang yang melonjak.

CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon mengatakan ia akan tetap berhati-hati terhadap perekonomian AS selama dua tahun mendatang akibat kombinasi risiko finansial dan geopolitik.

"Kita mempunyai kekuatan yang sangat kuat yang bisa mempengaruhi kita pada 2024 dan 2025" ungkap Dimon kepada Andrew Ross Sorkin pada Rabu (17/1/2024) dalam wawancara CNBC di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, kepada CNBC International.

Ekonomi AS Panas, Picu The Fed Belum Akan Dovish?

Bisa ditelisik kekuatan ini datang dari beberapa indikator yang masih mengindikasikan panas-nya ekonomi AS, diantaranya penjualan ritel yang naik lebih tinggi dari perkiraan membuat inflasi AS juga meningkat, ditambah pasar tenaga kerja masih ketat.

Menurut data Biro Sensus AS, penjualan ritel untuk periode Desember 2023 tumbuh 0,6% secara bulanan (month-to-month/mtm), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 0,3% dan konsensus pasar sebesar 0,4%.

Dalam basis bulanan, ini menjadi kenaikan terbesar dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Sementara dalam basis tahunan, penjualan ritel AS naik 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya dan konsensus pasar di 4%yoy. Peningkatan ini menjadi yang terbesar dalam sebelas bulan terakhir. 

Kencangnya penjualan ritel AS ini mencerminkan jika daya beli AS masih kencang dan ekonomi AS masih panas sehingga inflasi kemungkinan besar masih sulit turun dengan cepat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) AS, Inflasi konsumen pada Desember 2023 meningkat 3,4% yoy, lebih panas dibandingkan konsensus pasar yang proyeksi hanya naik 3,2% yoy dan bulan sebelumnya sebesar 3,1% yoy.

Sementara itu, pada periode yang sama untuk inflasi inti AS tumbuh melandai 3,9% dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4% yoy. Hanya saja, jika dibandingkan perkiraan pasar sebesar 3,8% yoy, inflasi inti saat ini masih lebih panas.

Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat the Fed lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.

 

Selain itu, pasar tenaga kerja juga masih cukup ketat lantaran pekerjaan yang dicatat di luar pertanian masih tinggi, mencapai 216.000. Angka ini di luar dugaan pasar yang memperkirakan bisa turun ke 170.000 pada Desember lalu. Ditambah juga, klaim pengangguran masih meningkat dan tingkat pengangguran masih berada di bawah 4%.

Gabungan dari berbagai indikator di atas yang mengindikasikan ekonomi AS masih panas, diperkirakan bisa memicu keraguan the Fed untuk melancarkan kebijakan longgar pada Maret mendatang.

Menurut perangkat FedWatch Tool oleh CME Group, saat ini ekspektasi pelaku pasar terhadap penurunan suku bunga The Fed pada pertemuan Maret mendatang turun jadi 55%, padahal dalam beberapa hari terakhir sudah mencatat peluang di atas 60%.

Risiko Geopolitik Masih Mengintai

Masalah selanjutnya yang harus diwaspadai juga datang dari risiko geopolitik yang masih mengintai. Dimon memperingatkan kehati-hatian lantaran adanya perang Ukraina-Rusia, kemudian perang Israel-Hamas yang berlanjut ada eskalasi perang baru di Laut Merah.

"Perang di Ukraina, lalu aktivitas teroris di Israel dan Laut Merah, kemudian ada pengetatan kuantitatif, yang saya masih mempertanyakan apakah kita benar-benar memahami cara kerjanya," kata Dimon.

Dimon juga menyatakan peringat agar pelaku pasar agar jangan terbuai pasar saham yang sudah naik kencang dalam beberapa waktu terakhir ini. Misalnya, indeks S&P 500 pada sepanjang 2023 lalu sudah naik 19% membuatnya mendekati level tertinggi sepanjang masa.

"Saat pasar saham sedang naik, ini seperti obat kecil yang kita semua rasakan sangat hebat. Tapi ingat, kita sudah mendapat begitu banyak rangsangan fiskal dan moneter, jadi saya sedikit lebih berhati-hati." tegas Dimon.

Goldman Sach Peringatkan Risiko Utang AS Cetak Rekor Tertinggi

Beralih ke risiko lain, CEO Goldman Sachs, David Solomon mengatakan pada Rabu (17/1/2024) bahwa Ia merasa terganggu dengan melonjaknya tingkat utang AS.

"Saya sangat prihatin dengan meningkatnya utang," kata Solomon. "Ini adalah masalah risiko besar yang harus kita tangani dan perhitungkan, hal ini mungkin tidak akan terjadi dalam enam bulan ke depan." kepada CNBC International.

Utang pemerintah AS pada 2023 kembali cetak rekor tertinggi sepanjang masa, ,mencapai US$ 34 triliun atau setara Rp 531,24 ribu triliun. Pencapaian ini terjadi tak lama setelah utang federal mencapai US$ 33 triliun pada September 2023 lalu karena defisit anggaran besar yang dipicu jomplangnya pengeluaran dan penerimaan pajak.

Presiden Komite Anggaran Federal AS Maya MacGuiness menyebut angka rekor tersebut sebagai 'prestasi' yang benar-benar menyedihkan

Sementara itu, para ekonom mengukur tingkat keparahan utang negara berdasarkan rasio utang pada Produk Domestik Bruto (PDB). Utang AS yang dipegang masyarakat mencapai 100% yakni di kisaran 129%.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation