Macro Insight

"Kiamat" Menjauh dari Amerika, RI Bisa Untung Banyak

Revo M, CNBC Indonesia
09 January 2024 09:40
WASHINGTON, DC - MAY 12: Flags at the base of the Washington Monument fly at half staff as the United States nears the 1 millionth death attributed to COVID May 12, 2022 in Washington, DC. U.S. President ordered flags to fly at half-mast through next Monday and said the nation must stay resolved to fight the virus that has “forever changed” the country. (Photo by Win McNamee/Getty Images)
Foto: Bendera Amerika Serikat (Photo by Win McNamee/Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen meyakini ekonomi AS hanya akan mengalami soft landing dan bukan hard landing. Kondisi ini tentu menjadi kabar baik bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. 

Amerika adalah motor utama ekonomi dunia serta pusat pasar keuangan global sehingga apapun perkembangan di AS akan sangat menentukan bagi dunia.

Yellen dalam sebuah wawancara  kepada CNN International mengatakan data pertumbuhan lapangan kerja Desember 2023 yang solid mencerminkan pola belanja konsumen menunjukkan kepercayaan terhadap perekonomian.

"Apa yang kita lihat sekarang, saya pikir bisa kita gambarkan sebagai soft landing dan harapan saya adalah hal ini akan terus berlanjut," kata Yellen, dikutip dari Reuters, Selasa (9/1/2024).

Bank sentral AS (The Fed) saat ini dianggap telah mampu mengatasi tekanan inflasi yang sempat melonjak tinggi khususnya mencapai puncaknya pada Juni 2022 di posisi 9,1% year on year/yoy.

Inflasi AS tercatat terus melandai dari waktu ke waktu dan saat ini telah mencapai posisi yang paling rendah dalam waktu dua tahun terakhir. Data pengangguran tetap rendah dan masyarakat AS terus melakukan pengeluaran, meskipun tingkat suku bunga tertinggi dalam 22 tahun.

Yellen menegaskan bahwa selalu ada risiko resesi pada tahun tertentu, dan tentu saja, akan selalu ada pakar yang bersikap bearish yang menyatakan bahwa malapetaka dan kesuraman akan segera terjadi. Namun, setelah 2023 yang luar biasa dan penuh gejolak, tren naik telah membangun alasan terjadinya soft landing pada tahun ini.

"Kami sedang menuju target 2% tersebut dan perekonomian masih bergerak maju, kami belum melihat adanya resesi, jadi pada dasarnya, sampai batas tertentu, Anda dapat mengatakan bahwa soft landing telah tercapai," Gregory Daco, kepala ekonom di EY -Parthenon, mengatakan kepada CNN.

"Pertanyaan kuncinya sekarang adalah apakah ada landasan yang cukup panjang dan stabil hingga 2024 sehingga kita dapat menghindari resesi yang telah lama dikhawatirkan itu," katanya.

Ketahanan merupakan kejutan terbesar perekonomian pada tahun 2023. Hal tersebut mungkin diperlukan agar The Fed dapat melakukan soft landing, namun pada akhirnya, hanya waktu yang akan membuktikannya.

Dalam perkembangan ekonomi sebuah negara, soft landing menunjukkan kondisi di mana ekonomi melambat tetapi tidak sampai mengalami resesi. Sementara itu, dalam hard landing, ekonomi sebuah negara tumbuh tinggi untuk kemudian mendadak turun tajam sehingga dampak negatifnya akan sangat terasa.

Kekhawatiran ekonomi AS akan mengalami hard landing sempat mengemuka karena The Fed tak kunjung memberi sinyal dovish. Jika suku bunga terus menerus dikerek maka bunga pinjaman akan naik dan ekonomi AS makin tertekan. Akibatnya, AS bisa mengalami resesi.

Data Historis Soft Landing dan Hard Landing di AS

Secara historis, pasca kenaikan suku bunga hingga mencapai puncaknya (terminal rate), biasanya akan diikuti dengan resesi.

Kendati demikian tidak semua resesi terjadi akibat langsung dari pengetatan moneter. Misalnya tahun 2020 resesi adalah akibat langsung dari pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap aktivitas ekonomi. Tidak semua pengetatan moneter telah mengakibatkan resesi.

The FedFoto: Federal Funds Rate and Inflation (January 1960 to September 2023)
Sumber: The Fed, Bureau of Economic Analysis

Contoh Situasi Hard Landing di AS

Inflasi tinggi terjadi pada tahun 1960an. Kebijakan moneter yang lebih longgar pada masa kampanye presiden tahun 1972 dan kenaikan harga minyak oleh The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada tahun 1973 mendorong inflasi hingga dua digit pada tahun 1974. Selama sisa tahun 1970an, para pembuat kebijakan berjuang untuk mengendalikan inflasi.

Pada tahun 1979, Presiden Jimmy Carter memilih Paul Volcker untuk menggantikan William Miller sebagai ketua The Fed. Volcker bertekad untuk menurunkan inflasi. Kemudian mencapai tingkat tahunan 11% dan memulihkan stabilitas harga.

Sejak bulan Juli 1980 hingga Januari 1981, Volcker menaikkan suku bunga The Fed menjadi lebih dari 19%. Hal ini menyebabkan resesi mendalam selama 16 bulan dari Juli 1981 hingga November 1982.

Di mana pengangguran mencapai puncaknya sebesar 10,8%. Volcker berhasil menurunkan inflasi menjadi sekitar 3% pada pertengahan tahun 1983, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang baik selama beberapa dekade dengan hanya gangguan kecil.

Contoh Situasi Soft Landing di AS

Contoh klasik dari soft landing adalah pengetatan moneter yang dilakukan di bawah pemerintahan Alan Greenspan pada pertengahan tahun 1990an. Pada awal tahun 1994, perekonomian mendekati tahun ketiga pemulihan setelah resesi tahun 1990 hingga 1991.

Pada bulan Februari 1994, tingkat pengangguran turun dengan cepat, dari 7,8% menjadi 6,6%. Inflasi CPI berada di 2,8%, dan suku bunga The Fed berada di sekitar 3%.

Dengan pertumbuhan ekonomi dan penyusutan pengangguran yang cepat, The Fed mengkhawatirkan potensi peningkatan inflasi dan memutuskan untuk menaikkan suku bunga terlebih dahulu.

Sebagai catatan, selama tahun 1994, The Fed menaikkan suku bunga sebanyak tujuh kali, menggandakan suku bunga dari 3% menjadi 6%. Pemerintah kemudian memangkas suku bunga utamanya sebanyak tiga kali pada tahun 1995 ketika perekonomian mengalami pelemahan lebih dari yang diperlukan untuk menjaga agar inflasi tidak meningkat.

Hasilnya sungguh spektakuler. Alan Blinder, mantan wakil ketua Federal Reserve, mencatat bahwa ini adalah "soft landing sempurna yang membantu menjadikan Alan Greenspan sebagai legenda bank sentral."

Kinerja perekonomian selama sisa dekade ini cukup baik: Inflasi rendah dan stabil, pengangguran terus mengalami tren menurun, dan pertumbuhan PDB riil rata-rata di atas 3% per tahun. Greenspan bahkan menulis dalam memoarnya bahwa "soft landing pada tahun 1995 adalah salah satu pencapaian The Fed yang paling membanggakan selama masa jabatan saya."

The Fed Pangkas Suku Bunga di 2024?

Harapan untuk terjadi soft landing pada 2024 tidaklah menjadi satu-satunya hal yang ditunggu pelaku pasar, namun juga memicu diskusi mengenai fase penting berikutnya dalam upaya melawan inflasi bersejarah The Fed yakni pemotongan suku bunga.

Sebanyak delapan anggota memperkirakan adanya pemangkasan suku bunga setidaknya 75 bps pada tahun 2024 sementara lima lainnya memperkirakan pemangkasan suku bunga lebih dari 75 bps. Median ekspektasi suku bunga ada di angka 4,6% dalam dot plot terbaru, turun dibandingkan 5,1% pada proyeksi September.

Pasar telah mengantisipasi secara luas keputusan untuk tetap mempertahankan suku bunga tersebut, yang dapat mengakhiri siklus kenaikan suku bunga sebanyak 11 kali, mendorong suku bunga The Fed ke level tertinggi dalam lebih dari 22 tahun.

Lebih lanjut, dalam dokumen tersebut, komite berekspektasi bahwa akan terdapat empat pemotongan lagi pada tahun 2025, atau satu poin persentase penuh (1 percentage point).

Masing-masing anggota FOMC menunjukkan ekspektasi mereka terhadap suku bunga di tahun-tahun berikutnya dalam dot plot.

The FedFoto: Assesment of FOMC Participant
Sumber: Dokumen Dot Plot The Fed

Sementara berdasarkan survei dari perangkat CME FedWatch pada 8 Januari 2024 pada 04:42:34 CT menunjukkan bahwa The Fed tampak akan melanjutkan penahanan suku bunganya pada pertemuan Januari 2024 dan mulai memangkas suku bunganya pada Maret 2024.

Pemangkasan suku bunga The Fed diproyeksi mulai dilakukan pada Maret 2024 sebesar 25 bps hingga Desember 2024 sebesar 150 bps hingga menjadi 3,75-4%.

CMEFoto: Meeting Probabilities
Sumber: CME FedWatch Tool

Dampak Soft Landing dan Cut Rate The Fed ke Indonesia

Pernyataan Yellen tentang soft landing mengindikasikan bahwa AS mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terkendali dan stabil. Kondisi stabil tersebut diperkirakan akan juga terjadi terhadap pasar saham Indonesia.

"Jika hal serupa terjadi pada perekonomian Indonesia, termasuk pasar sahamnya, itu bisa dianggap positif karena menunjukkan kemampuan untuk menghindari dampak negatif yang dapat timbul dari perlambatan ekonomi yang drastis," ujar Head of Equity Retail HP Sekuritas, Erwin Supandi kepada CNBC Indonesia.

Hal ini pun dipertegas oleh Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani yang mengatakan bahwa soft landing merupakan hal yang baik bagi pasar modal global termasuk pasar saham Indonesia.

"Kalau AS mengalami gejolak ekonomi dan pasar saham mereka turun itu berdampak negatif ke pasar saham lain termasuk pasar saham Indonesia. Dan sebaliknya kalau kondisi ekonomi AS stabil tidak terlalu volatile pasar saham global termasuk Indonesia juga mengalami kinerja yang lebih kondusif," kata Arjun.

Lebih lanjut, kendati inflasi AS saat ini sudah jauh lebih terkendali dibandingkan tahun sebelumnya, namun data ketenagakerjaan AS masih cukup ketat. Alhasil dapat disimpulkan bahwa data ekonomi AS saat ini masih cukup mix.

"Efek soft landing dan penurunan suku bunga The Fed akan ada koreksi ke pasar ekuitas secara jangka pendek, namun jangka panjang itu bagus (soft landing) bagi ekuitas termasuk IHSG," papar Hans Kwee selaku Pengamat Pasar Modal.

Ia juga menegaskan bahwa dengan data yang ada saat ini, potensi terjadinya hard landing di AS sangatlah kecil. Jikalau pun hard landing harus terjadi, maka The Fed akan pangkas suku bunga lebih besar lagi. Pada akhirnya, hal ini akan memberikan angin segar bagi risk asset termasuk pasar saham.

Soft landing yang dialami Amerika juga lebih menguntungkan bagi Indonesia dari sisi ekspor dan investasi dibandingkan jika AS mengalami hard landing.

Dengan ekonomi AS yang masih kuat maka permintaan impor barang dari Indonesia diharapkan meningkat. AS selalu masuk dalam lima besar mitra dagang terbesar Indonesia. AS banyak merupakan pasar utama bagi pakaian jadi, peralatan listrik, minyak sawit mentah, sepatu olah raga, dan furniture asal Indonesia.

Nilai ekspor Indonesia ke AS terus meningkat dari US$ 18,44 miliar pada 2018 menjadi US$ 28,18 miliar pada 2022. Namun, perlambatan ekonomi AS akibat suku bunga tinggi ikut menekan ekspor.

Pada Januari-Oktober 2023, nilai ekspor Indonesia ke AS turun 19,9% menjadi US$19,24 miliar.

AS juga menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia. Jumlah modal dari AS yang ditanam di Indonesia pada 2022 mencapai US$ 3,026 miliar dengan jumlah proyek mencapai 1.916. Bila ekonomi AS hanya mengalami soft landing dan terhindar dari resesi maka semakin banyak modal dari AS yang diharapkan masuk ke Indonesia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation