
Resesi AS Bisa Jadi Berkah Bank RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) memberikan isyarat terjadinya pemangkasan suku bunga pada September 2024. Secara umum hal ini memberikan angin segar bagi pasar saham Indonesia tetapi perlu ada beberapa catatan penting.
Isyarat pemangkasan suku bunga semakin kencang setelah The Fed menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Juli lalu. Pemangkasan kini bahkan mengarah ke 50 bps setelah kondisi ekonomi AS memburuk dengan cepat.
Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan inflasi AS terus melandai dan kini sudah semakin mendekati target The Fed 2%.
"Dalam beberapa bulan terakhir ada kemajuan lebih lanjut menuju target inflasi 2%. Jika syarat tersebut terpenuhi, kebijakan pemangkasan suku bunga bisa menjadi opsi pada pertemuan berikutnya di September," kata Chairman The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers usai rapat Federal Open Meeting Committee (FOMC), dikutip dari CNBC International.
Selain itu, laju pengangguran pun mengalami peningkatan hingga 4,3% pada Juli 2024 dibandingkan periode sebelumnya yang menyentuh angka 4,1%, di tengah perlambatan signifikan dalam perekrutan tenaga kerja. Kenaikan ini memicu kekhawatiran akan memburuknya pasar tenaga kerja dan potensi kerentanan ekonomi terhadap resesi.
Ancaman resesi diperkuat oleh proyeksi Sahm Recession Indicator yang menjadi indikator adanya potensi resesi. Indiktor terpicu karena berada di atas level 0,5 poin persentase.
Hasil hitungan menunjukkan Sahm Rule Indicator pada Juli 2024 menunjukkan sebesar 0,53 poin persentase.
Jika pemangkasan suku bunga The Fed benar-benar terjadi dan diikuti dengan resesi di AS, hal ini tentu akan berpengaruh kepada negara-negara lainnya termasuk Indonesia dan pasar sahamnya.
Antisipasi Resesi AS
Ketika resesi di AS benar-benar terjadi, maka dikhawatirkan terjadi perlambatan ekonomi di AS dan dapat menyebar ke negara lainnya. Kondisi ini sudah pernah terjadi pada 2008/2009 di mana pertumbuhan global terkoreksi karena AS resesi.
"Pasar khawatir perlambatan ekonomi AS menyebar juga ke negara lain. The Fed terlambat memotong bunga. Data-data manufaktur dan pasar tenaga kerja AS sangat lemah," papar Pengamat Pasar Modal, Hans Kwee.
Lebih lanjut, secara historis jika AS mengalami resesi, maka pasar saham secara global mengalami koreksi, termasuk Indonesia.
Setidaknya sejak 2000, AS mengalami resesi sebanyak tiga kali, yakni pada 2001 (Dotcom Bubble), 2007-2009 (The Great Recession), dan 2020 (Pandemi Covid-19).
Pada momen tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 11,2% pada Dotcom Bubble, menurun 24,6% pada The Great Recession, dan ambles 20,6% pada Pandemi Covid-19.
Lebih lanjut, ekspektasi resesi di AS berpotensi berdampak buruk bagi harga komoditas secara global.
"Ekspektasi resesi di AS akan berdampak negatif pada harga komoditas (minyak, batu bara, Crude Palm Oil/CPO)," papar Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro.
Harga minyak dunia (WTI oil) melemah 26,55% pada 2001 (Dotcom Bubble), anjlok 32,16% pada The Great Recession, dan ambruk 57,55% pada Pandemi Covid-19.
![]() Sumber: Macrotrends |
Hal ini juga berlaku terhadap batu bara dan CPO yang masing-masing anjlok di tengah resesi AS.
Ketika harga komoditas mengalami depresiasi, maka harga saham yang mempunyai korelasi positif dengan komoditas berpotensi mengalami koreksi juga.
Pelemahan harga komoditas juga akan menekan ekspor Indonesia serta mengurangi pendapatan jutaan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari komoditas.
Selain itu, hal yang perlu diantisipasi yakni resesi gabungan antara AS dengan China yang berpengaruh besar bagi perusahaan eksportir di Indonesia.
Perusahaan yang berbasis ekspor memiliki peluang terdampak signifikan diikuti dengan pendapatan serta keuntungan perusahaan yang menipis. Hal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kurang perform pada laporan keuangan perusahaan dan berujung pada harga saham yang berpotensi menurun.
Tidak sampai di situ, bagi saham perbankan yang merupakan tulang punggung IHSG, ekspektasi pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) akan memberikan sentimen positif.
Kendati banyak mendatangkan tekanan, resesi AS juga bisa berdampak positif ke Indonesia. Di antaranya adalah pemangkasan suku bunga The Fed (FFR) bisa dipercepat sehingga ada harapan Bank Indonesia (BI) rate pun turun.
"Ekspektasi pemangkasan suku bunga FFR tahun ini akan memberikan sentimen positif, setidaknya untuk menurunkan suku bunga domestik di tengah persaingan ketat dalam mendapatkan pinjaman dan dana pihak ketiga (Third Party Fund/TPF)," papar Andry.
Namun demikian, risiko pada perbankan tetap ada khususnya pada kualitas aset di segmen konsumen dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang dipengaruhi oleh kerentanan permintaan domestik: berasal dari kelas menengah yang lebih kecil dan biaya hidup yang lebih tinggi.
Andry pun mengingatkan untuk tetap waspada terhadap aliran modal yang dapat tiba-tiba keluar jika ekonomi AS ternyata tidak seburuk yang dibayangkan dan inflasi dapat dikendalikan.
Ketika hal tersebut terjadi, maka mata uang negara berkembang dapat tertekan dan pada akhirnya likuiditas mata uang lokal domestik yang lebih ketat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)