Review Kinerja 2023

Kinerja Bursa Asia-Pasifik di 2023, Siapa yang Paling Moncer?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
31 December 2023 19:45
A man in a business building is reflected on an electronic stock quotation board outside a brokerage in Tokyo, Japan, October 11, 2018.  REUTERS/Kim Kyung-Hoon
Foto: Ilustrasi Bursa Tokyo (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2023 akan berakhir dalam hitungan jam dan juga akan segera berganti ke tahun baru yakni 2024. Tentunya, banyak momen baik positif maupun negatif yang mewarnai pasar saham global terutama di kawasan Asia-Pasifik pada 2023.

Di 2023, kinerja indeks saham Asia-Pasifik secara mayoritas positif. Namun, ada beberapa indeks Asia-Pasifik yang juga berkinerja kurang baik di sepanjang 2023.

Terkhusus pasar saham Indonesia, yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), kinerjanya juga terbilang cemerlang, di mana IHSG mampu melesat 6,16% sepanjang 2023. Hal ini tentunya lebih baik dari posisi 2022 yang hanya melesat 4,09%.

Bahkan di 2023, IHSG berhasil menyentuh kembali level psikologis 7.300, meski pada level psikologis ini hanya berlangsung sehari saja yakni pada 28 Desember dan pada perdagangan terakhir di 2023 IHSG masih cukup baik ditutup di level psikologis 7.200.

Lalu, apakah kinerja IHSG lebih baik dari bursa Asia-Pasifik lainnya? Berikut kinerja bursa Asia-Pasifik pada 2023.

Jika dilihat data di atas, indeks Taiwan Weighted Index (TAIEX) menjadi yang paling baik kinerjanya pada 2023, di mana indeks bursa saham acuan Taiwan tersebut mampu terbang 26,83%.

Berikutnya ada Nikkei 225 Jepang yang melejit 18,85%. Adapun IHSG sendiri berada diurutan ke-7 dalam jajaran bursa Asia-Pasifik. Namun khusus di Asia Tenggara, Indonesia menjadi runner up atau terbaik kedua setelah indeks VNI Vietnam yang melesat 12,2%.

Namun, ada juga yang berkinerja buruk, di mana indeks Hang Seng Hong Kong dan Shanghai Composite China menjadi dua indeks yang berkinerja buruk di 2023.

Meskipun tahun 2023 merupakan tahun terbaik bagi saham-saham global sejak sebelum pandemi, dengan pasar di Amerika Serikat (AS), Eropa, Jepang, dan India menikmati reli yang kuat, tetapi tidak untuk pasar saham China.

Serangkaian masalah, termasuk krisis properti, lemahnya belanja konsumen, dan tingginya pengangguran kaum muda telah membuat negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Saham-saham telah bangkit kembali berkat turunnya inflasi, meningkatkan harapan investor bahwa bank sentral dunia akan segera menurunkan suku bunga, serta kegembiraan atas potensi kecerdasan buatan yang dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan.

India memperoleh keuntungan dari spekulasi bullish terhadap perekonomiannya, sementara saham Jepang sebagian diuntungkan oleh valuasi yang relatif murah dan melemahnya mata uang yen.

Namun, meskipun kebijakan lockdown ketat akibat virus Covid-19 sudah ditinggalkan pada akhir tahun 2022, perekonomian China nyatanya belum mencatatkan pemulihan kuat seperti yang diharapkan oleh banyak investor di 2023.

Di antara berbagai tantangan yang ada, lesunya permintaan telah membatasi harga konsumen hampir sepanjang 2023 dan terdapat risiko spiral deflasi. Perusahaan-perusahaan asing juga semakin waspada terhadap meningkatnya pengawasan Beijing dan meninggalkan negara tersebut.

Pada November lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan tingkat pertumbuhan China akan mencapai 5,4% pada 2023, dan secara bertahap turun menjadi 3,5% pada 2028 karena perekonomiannya bergulat dengan permasalahan mulai dari produktivitas yang lemah hingga populasi yang menua.

"Tantangan tahun 2024 bagi perekonomian China bukanlah pertumbuhan PDB, tetapi yang kemungkinan akan berada di atas 4,5%," kata Derek Scissors, peneliti senior di American Enterprise Institute, sebuah lembaga pemikir sayap kanan-tengah, dikutip dari CNN International bulan ini.

Hal ini tentunya berbeda dengan kondisi pasar saham Taiwan yang justru melesat pada 2023. Adapun wilayah Taiwan sendiri hingga 2023 juga masih cenderung diperebutkan antara AS dan China, sehingga konflik yang terjadi di Taiwan antar AS-China sempat kembali terjadi.

Di lain sisi, membaiknya sentimen pasar global menjelang akhir tahun membuat pasar saham Asia-Pasifik kembali bangkit di tahun ini.

Optimisme pasar akan berakhirnya era suku bunga tinggi pada tahun depan, di tambah kondisi pandemi yang semakin membaik membuat pasar kembali memburu saham-saham di Asia-Pasifik, setelah selama tiga tahun mereka cenderung menahan selera risikonya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation