
Bensin Bioetanol Takkan Ganggu Gula Konsumsi? Cek Datanya

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia, sebagai salah satu produsen tebu terbesar di dunia, kini tengah berupaya untuk menggencarkan pengolahan tebu menjadi bahan campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin atau dikenal dengan bioetanol.
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mendukung inisiatif ini dan menegaskan bahwa proses ini tidak akan mengganggu produksi gula untuk kebutuhan pangan.
Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen menjelaskan bahwa pengolahan tebu menjadi bioetanol melibatkan pemanfaatan tetes tebu atau molase, produk samping dari tebu.
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia belum lama ini, Soemitro menyatakan bahwa penggunaan molase untuk BBM tidak akan mempengaruhi produksi gula karena yang digunakan adalah produk samping.
Pentingnya program ini tidak hanya terletak pada pemanfaatan sumber daya tebu secara optimal, tetapi juga pada kontribusinya terhadap upaya mencapai green energy. Dengan menggunakan tetes tebu untuk menghasilkan bioetanol yang dapat dicampur dengan BBM, Soemitro mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam menjalankan program ini.
Meskipun Indonesia sudah mampu memproduksi bioetanol berbasis tebu, Soemitro menyebutkan bahwa produksi bioetanol saat ini baru mencapai 40 ribu kilo liter (kl), jumlah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan total kebutuhan BBM di seluruh Indonesia.
Sebagai informasi, penggunaan BBM Pertalite Indonesia masih tinggi mencapai 29,48 juta kl pada 2022. Artinya, semakin besar produksi bioetanol Indonesia, maka dapat semakin menekan tingkat konsumsi BBM berbasis fosil. Pada akhirnya, diharapkan bisa turut menekan angka impor minyak nasional.
Perlu diketahui, produksi bioetanol Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding produksi bioetanol Brasil sebagai negara produsen tebu terbesar dunia. Melansir US Department of Agriculture, produksi bioetanol Brasil yang merupakan negara berkembang penghasil bioetanol terbesar mencapai 31,66 juta kilo liter (kl) pada 2022.
Keberhasilan Brasil dapat menjadi panutan Indonesia dalam mencapai diversifikasi penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN). Hal ini menyebabkan perlu adanya komitmen dan konsistensi pemerintah dalam mengerjakan program ini untuk mencapai target green energy yang telah ditetapkan.
Volume Ekspor Gula dan Tetes Tebu Indonesia
Source: Statistik Tebu 2022
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat ekspor gula terus meningkat sejak 2019. Di sisi lain, tetes tebu juga terus mengalami peningkatan ekspor sejak 2019. Volume ekspor gula meningkat 5,7% menjadi 404 ribu ton dan tetes tebu meningkat 11,7% menjadi 605 ribu ton pada 2022.
Hal ini menunjukkan bahwa volume ekspor gula tetap dapat meningkat, di tengah kenaikan ekspor tetes tebu yang digunakan untuk bioetanol. Data ini dapat menjadi indikasi bahwa adanya pengolahan tetes tebu tidak mengganggu gula untuk konsumsi.
Kendati demikian, Indonesia masih perlu menggenjot produksi tebunya, mengingat negara kita yang masih mendapatkan gula melalui impor. Produksi tebu Indonesia mencapai 31 juta ton per tahun. Menurut Samadikoen, setiap 1 ton tebu bisa menghasilkan sebanyak 50 liter tetes tebu (molase).
Artinya, molase yang dihasilkan Indonesia saat ini hanya mampu mencapai 1,55 juta kilo liter (kl) molase, jika seluruh tebu di Indonesia diolah. Selanjutnya, setiap 100 liter molase dapat menjadi 25 liter bioetanol atau setara dengan 25%. Berdasarkan hal tersebut, potensi maksimal bioetanol Indonesia saat ini hanyalah 387, 5 ribu liter kilo liter.
Jumlah tersebut hanyalah 1,31% dari tingkat konsumsi BBM Pertalite saat ini. Perlu adanya usaha maksimal melalui intensifikasi dan ekstensifikasi lahan tebu, serta berbagai langkah yang dapat memajukan pertanian Indonesia.
Salah satu langkah penting untuk Indonesia mampu independen mengembangkan biofuel yakni melalui diversifikasi dari tanamannya. Hingga saat ini, BBN masih terfokus pada sawit (biodiesel) dan tebu (bioetanol) yang masih belum signifikan. Beragamnya pilihan tanaman biofuel seperti jagung dan sorgum akan menjadi peluang untuk memenuhi kebutuhan BBN.
Namun, salah satu aspek yang perlu diperhatikan ialah pengelola produk hasil tebu perlu berkomitmen untuk mengintegrasikan pengolahan hingga menjadi gula dan tetes tebu. Jika integrasi masih belum cukup kuat, terdapat kemungkinan produsen gula tidak mengolahnya menjadi tetes tebu dan begitu juga sebaliknya. Keberhasilan ini mendorong Pertamina agar para pengusaha tebu bisa semakin menggenjot pengelolaan produk hasil tetes tebu.
Salah satu produk yang telah dihasilkan oleh Pertamina dari bioetanol adalah Pertamax Green 95. Langkah ini menunjukkan bahwa upaya nyata dalam menerapkan BBN telah dimulai, bukan lagi hanya sebatas wacana.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, menjelaskan kolaborasi dengan PT Energi Agro Utama (Enero) untuk memasok bioetanol berbasis molase telah berhasil. Produksi bioetanol mencapai 30.000 kiloliter per tahun, sebagian digunakan untuk mencampur bensin Pertamax Green 95 dengan persentase 5% (E5).
Proses produksi molase menjadi bioetanol diakui tidak bersaing dengan produksi gula untuk pangan. Riva menegaskan bahwa produksi bioetanol dari tebu sesuai dengan upaya pemerintah untuk mencapai swasembada gula, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 40 tahun 2023.
Mengutip Food & Agriculture (FAO), Indonesia termasuk dalam 10 negara produsen tebu terbesar dunia pada 2021. Indonesia menempati posisi ke-9 dengan produksi 28,9 juta ton pada 2021. Posisinya ada di bawah Australia dengan produksi sebesar 30,3 juta ton.
Namun, pihak Pertamina tidak hanya terpaku pada tebu sebagai sumber bahan bakar nabati. Riset dan penelitian harus terus dilakukan untuk memanfaatkan tanaman lain, seperti jagung, sorgum, dan tandan sawit, sebagai potensi penghasil bioetanol.
Upaya ini sejalan dengan visi pemerintah untuk memperluas penggunaan bioetanol sebagai bahan baku dari bahan bakar nabati. Dengan berbagai jenis tanaman yang memiliki potensi menjadi sumber bioetanol untuk bahan campuran BBM, penelitian terus dilakukan untuk mengevaluasi manakah yang dapat memberikan nilai ekonomi paling baik.
Pertamina berkomitmen untuk mendukung transformasi energi Indonesia dan mencapai tujuan keberlanjutan di sektor energi.
Dalam keseluruhan, langkah-langkah ini menunjukkan potensi besar Indonesia dalam mencapai swasembada energi hijau dan berkontribusi pada pengurangan ketergantungan pada BBM konvensional.
Dengan konsistensi pemerintah, upaya transisi Pertamina, dan dukungan industri, Indonesia dapat membuka jalan menuju green energy yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sehingga dapat mengurangi emisi dan penggunaan bahan bakar fosil.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)